Selasa, 05 April 2011

Nyanyian Mistis (Jeritan Anak-Anak Dan Manusia Yang Meronta-Ronta)

Air menetes titik demi titik yang menerpa genting rumahku, cahaya kilat menyambar dan disertai suara gemuruh membuat suasana malam semakin khusyu’. Aku hanya membolak-balik buku yang kupinjam dari teman kemarin. Ternyata mataku sudah tak kuat membaca buku terlalu lama karena mataku sudah merasa pedas. Kunyalakan musik mp3 yang ada di atas meja.

Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai

Walaupun banyak negeri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan

Suara musik ciptaan Ibu Sud yang mengalun dalam kesunyian malam yang kudengarkan menjelang tidur membuatku meneteskan air mata. Apa yang terjadi dengan negeriku, dengan bangsaku, dengan Indonesiaku. Ketika para penguasa sibuk mempertahankan kekuasaanya, ketika para politikus sibuk dengan trik dan intrik politiknya. Tidakah mereka mereka tergugah dengan nasib negeri ini. Ah… mau tidur saja pikiranku kemana-mana. Mengapa hatiku tak pernah tenang dengan kondisi negeri ini. Ingin rasanya mata ini segera terpejam dan tidur lelap terbang ke dalam mimpi yang indah. Tapi, pikiranku masih kemana-mana. Ku coba pejamkan mata, kumatikan lampu dan musik mp3 yang sedang asyik bernyanyi ini. Segera kudekap erat-erat tubuh yang mulai mengigil kedinginan ini.
Dalam kegelapan malam aku hanya bisa berharap dan berdo’a sebelum tidur, “Ya Allah, hamba-Mu ini hanya bisa mengeluh seraya berdo’a kepada-Mu. Kami yang ada diseluruh nusantara ini tidak meminta ringanya beban cobaan yang kau berikan, tetapi tolonglah, kuatkan saja kaki dan pundak kami untuk menghadapi cobaan yang kau berikan.”

*****

Aku terus berjalan sendirian dalam kegelapan, tak kuketahui tempat apa ini. Semuanya hitam, gelap yang sangat pekat. Tanpa kulihat ujung dari tempat gelap ini, bahkan tak kutemukan setitik cahaya sedikitpun. Apakah di negeriku sudah tidak orang yang punya cahaya hati. Kulangkahkan kakiku setapak demi setapak hingga kaki ini lelah untuk melangkah, entah berapa jauh kaki ini berjalan, satu kilo meter, dua kilo meter, atau mungkin sudah ratusan kilo meter, bahkan ribuan kilo meter. Aku masih terus berharap tanpa henti dengan harapan akan menemukan ujung jalan ini dan bisa keluar dari tempat yang menakutkan ini.

Terus kupacu semangatku untuk mencari ujung dan setitik cahaya dari ruang hitam pekat ini. Aku pun istirahat sejenak untuk melepaskan rasa lelah ini. Setelah rasa lelah ini mulai sedikit berkurang, langsung aku berdiri dan ingin kumencari ujung dari jalan ini, sebelum kulangkahkan kaki ini, aku berteriak “Apakah ada orang di sana…?”. Tak ada yang menyahut sedikitpun. Mungkin teriakanku kurang keras. Aku mengulanginya lagi dengan suara yang lebih lantang “apa ada orang di sana…?”.. Lagi-lagi tak ada yang menyahut, mungkin perasaanku benar bahwa aku terjebak dalam ruang hitam pekat dan tak berujung ini sendirian.

Aku mulai melangkahkan kaki lagi setapak demi setapak. Sambil kuingat apa yang telah kuperbuat hingga aku terjebak dalam ruang yang menyesakan ini. Mungkin aku harus berlari. Aku sudah berjalan jauh. Mungkin saja ujung ruang hitam pekat ini sudah dekat.

Kupercepat jalanku, semakin lama semakin cepat dan aku berlari terus berlari tanpa henti. Biarpun dahaga terus menikam tenggorokanku, kelaparan terus menusuk-nusuk lambungku, aku terus berlari. Sampai lelah diri ini untuk melangkah tak kutemukan juga sedikit tanda ujung dari tempat ini. Aku masih terus berlari hingga aku terjatuh dalam kelelahan. Aku hanya terlentang dalam ketakutan dengan nafas yang tersenggal-sengal. Aku sudah putus asa, tapi teringat pesan yang disampaikan bapak kemarin “Le..wong urip kuwi mesti enek cobo, cobo kuwi diadepi gak dihindari, dadi jo sampek awaku putus asa”.

Dengan tubuh terlentang tiba-tiba aku seperti mendengar suara nyanyian dari kejauhan. Lalu aku bangun kucoba mendengarkan dengan seksama suara itu. Ya… suara nyanyian seperti paduan suara. Suara itu telah membuatku semangat lagi untuk terus berjalan. Sontak rasa lelah di tubuhku langsung hilang seketika. Aku langsung berdiri berlari dan terus berlari sekuat tenaga untuk menuju suara nyanyian itu. Semakin kudekati suara itu suaranya semakin jelas tetapi suara itu bukanlah nyanyian. Tapi aku terus berlari tanpa henti untuk mendekati suara itu. Semakin lama semakin jelas karena aku semakin dekat.

Tiba-tiba aku terjatuh dan suara itu sudah sangat jelas. Ternyata suara itu sangat aneh. Dari yang pertama kudengar suara air seperti ombak yang menabrak karang di tepi lautan luas. Suara itu kemudian berubah menakutan karena suara itu berubah menjadi ombak yang menerjang segala sesuatu ada di daratan. Suara itu kemudian menghilang.

Kuperhatikan lagi dengan seksama, tiba-tiba ada suara dari kejauhan semakin mendekat. Setelah kudengarkan ternyata ini bukan ombak tapi suara gemuruh seperti halilintar yang sangat dasyat hingga membuat bulu kuduku berdiri. Seketika suara itu hilang lagi. Tak lama kemudian ada suara yang datang lagi tapi suara ini berbeda dengan suara yang datang sebelumnya, kali ini suara itu seperti suara manusia setelah suara semakin keras ternyata itu adalah suara yang sangat gaduh, jeritan anak-anak, suara orang yang meronta-ronta, suara orang yang minta tolong. Dan setelah sekian lama suara itu menghilang.

Aku semakin bingung dalam kesendirian. Tiba-tiba suara-suara itu datang bersama-sama suara yang bercampur aduk antara suara ombak yang besar, suara gemuruh yang maha dasyat dan kedua-duanya telah meluluh lantahkan manusia sehingga seluruh manusia itu menjerit-jerit, meronta-ronta, suara tangisan anak-anak, bercampur aduk menjadi nyanyian yang sangat mengerikan dan memilukan. Aku hanya diam terpaku dan merana meratapi kondisi semua ini.

Dalam hati hanya berbisik, apa yang terjadi dengan semua ini. Aku tak mampu untuk memahami. Ketika aku masih terjebak di dalam ruang hitam pekat ini yang tanpa cahaya hati sedikitpun dari sudut-sudut ruang ini, sudah datang lagi nyanyian yang sangat mengerikan dan memilukan ini.

*****
Tiba-tiba ibu memanggilku dari balik pintu kamarku, “Le… tangi le. wes shubuh, sholat disek”. Sontak aku kaget langsung bangun dan kepala rasanya masih pusing. Aku hanya duduk sendiri dalam kamar dalam kesendirian dan ketakutan. Entah apa yang terjadi pada diri ini hingga nyanyian mistis itu masih terbayang-bayang dalam hatiku.

Aku langsung ke kamar mandi, kuambil air wudlu, ku basuh tanganku, ku bersihkan tanganku, ku siram mukaku, kurasakan kesegaran yang tiada tara walaupun dingin tapi sungguh menyegarkan. Sampai yang terakhir ku bersihkan kaki ini. Mungkin ini adalah pelajaran berharga bahwa seluruh bangsa ini harus membersihkan tangan, yang artinya perbuatannya, membersihkan hidung yang berarti membersihkan penciumnya, membersihkan mulut yang berarti perkataanya yang sering menyebar fitnah, membersihkan muka yang wajahnya yang sering berpura-pura, membersihkan dahi yang berarti pikiranya yang sudah terbalik, membersihkan telinga yang berarti pendengarnya. Ah… aku hanya mengkhayal saja.

Setelah selesei sholat aku langsung melihat HPku, kulihat ada sms dari Hari, temenku, setelah ku buka ternya berisi “Lihatlah gejolak alam yang terjadi, alam sudah tak mapu lagi menoleransi dan menerima kedzaliman, kemaksiatan dan kesombongan manusia, setelah tsunami Mentawai langsung disusul Merapi, tidakah ini cukup untuk peringatan atau masihkah kurang keras lagi peringatan”. Sungguh aku kaget ketika melihat semua ini, rupanya Indonesia sedang merintih.

Langsung aku menyalakan televisi untuk mengetahui kabar terbaru tentang negeri, ternyata negeriku sedang berduka. Mata ini sudah tak kuat lagi untuk menahan rintihan ibu pertiwi.

Blitar, 2 November 2010



Menjadi salah satu karya yang diterbitkan di dalam Antologi Kemanusiaan SERAT DUKA NEGERI (Tinta kasih untuk Mentawai-Merapi) yang diterbitkan pertama kali oleh Pena Ananda Indie Publishing pada November 2010.