Jumat, 06 Agustus 2010

RIWAYAT K.H. HASYIM ASY’ARI DAN KETELADANAN SERTA KARYA-KARYANYA


A. Biografi K.H. Hasyim Asy’ari

1. Silsilah K.H. Hasyim Asy’ari

Darah biru merupakan sebutan untuk bangsawan yaitu orang-orang yang pada masa kerajaan yang ada di Indonesia. Demikian juga seorang ulama besar Indonesia yang satu ini merupakan keturunan darah biru. Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari dilahirkan pada hari Selasa Kliwon, tanggal 14 Februari 1871 Masehi. Atau dalam kalender hijriah beliau lahir pada tanggal 24 Dzulhijjah 1287 Hijriah. Kelahirannya bertempat di Jombang tepatnya di kediaman kakeknya, Kiai Ustman di Pesantren Gedang desa Tambak Rejo.

Beliau adalah putra ketiga dari sebelas bersaudara pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah yaitu, Nafi’ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hasan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, dan Nahrawi. Dari jalur ayah, nasab Kiai Hasyim bersambung kepada Maulana Ishak hingga Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir. Sedangkan dari jalur ibu, nasabnya bersambung kepada Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng), yang berputra Karebet atau Jaka Tingkir. Jaka Tingkir adalah Raja Pajang pertama (tahun 1568 M) dengan gelar Sultan Pajang atau Pangeran Adiwijaya. Jika dilihat dari silsilahnya K.H. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan orang-orang yang berpengaruh. Dari buku lain menyebutkan bahwa dalam silsilah keturunanya terutama dari pihak ayah terdapat kerancuan meskipun beliau seorang tokoh besar.
Namun dari informasi yang berikan sejumlah kalangan, diperoleh data bahwa silsilah Kiai Hasyim dari jalur ayah dua versi: Versi pertama, bersambung kepada Maulana Ishaq melalui putranya, Abdul Fattah, yang ibunya berasal dari Samudra Pasai.

Sedang versi kedua, menyebut bahwa Kiai Hasyim merupakan keturunan dari menantu Sunan Gunung Jati yang bernama Sayyid Abdurrahman bin Umar bin Muhammad bin Abu Bakar Basyaiban. Beliau berasal dari Hadlramaut Yaman, dan setelah tinggal di Jawa digelari Sunan Tajuddin.

Dalam pendapat lain dari silsilah jalur ayah, yang paling banyak menyebutkan bahwa K.H. Hasyim merupakan keturunan dari Jaka Tingkir (Raja Pajang). Yang silsilahnya Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrahman (Jaka Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda), Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, K.H. Asy'ari (Jombang), K.H. Hasyim Asy'ari (Jombang)
Sedangkan jika silsilah diruntut dari jalur ibu beliau termasuk darah biru karena beliau termasuk keturunan dari Brawijaya VI (Lembu Peteng). Lembu Peteng mempunyai anak yang kemudian diberi nama Mas Karebet atau Jaka Tingkir yaitu Raja Pajang pertama. Nyai Halimah selama kecilnya biasa dipanggil dengan Winih. Winih artinya bibit atau benih yang diharapkan akan memberi keturunan banyak.

2. Dalam Kandungan Dan Kelahiranya

Masa kehamilan Nyai Halimah sudah terdapat tanda-tanda bahwa bayi yang dikandungnya akan menjadi seorang tokoh yang besar. Hal ini terbukti dengan tanda-tanda yang ada. Diantaranya adalah masa kehamilan yang berlangsung relatif lama. Biasanya masa kelahiran adalah sembilan bulan tetapi masa kehamilan K.H. Hasyim Asy’ari adalah empat belas bulan. Demikian juga tanda-tanda yang lain, bahwa Nyai Halimah selama mengandung anak ketiga ini pernah bermimpi bahwa perutnya kejatuhan bulan purnama.

Akhirnya pada tanggal 14 Februari 1971 M, lahirlah seorang anak laki-laki yang kelak menjadi tokoh nasional. K.H. Hasyim Asy’ari dilahirkan di tengah-tengah meningkatnya Islamic Revivalisme, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia Islam yang berpusat di Timur Tengah, khususnya di Mekah, dan beliau meninggal pada tahun 1947. Jadi rentang umurnya di dunia adalah sepanjang 76 tahun. Suasana sosial kemasyarakatan yang berkembang ketika itu adalah perasaan anti kolonial, Nasionalisme Arab, dan Pan Islamisme di dunia Islam. Dalam kelahiranya pun juga banyak yang kagum terutama dukun beranak yang membantu kelahiranya merasa heran. Karena ia tidak pernah melihat kelahiran bayi yang begitu lancar. Dan setelah melihat wajah dari bayi yang telah lahir itu, ia mengatakan bahwa anak itu akan menjadi orang besar dan sering menjadi pengantin baru.

3. Masa Kecil

Masa kecil K.H. Hasyim Asy’ari tidak lepas dari kehidupan pesantren karena beliau memang dilahirkan di lingkungan pesantren. Oleh sebab itu, beliau melewati masa kecilnya berada di pesantren. Atau bisa dikatakan dengan kata-kata sederhana bahwa kehidupanya “dari pesantren ke pesantren”.

Principle of early learning (sulit tergantikan dari unsur-unsur asing), teori ini layak disandang oleh beliau, berdasarkan kehidupan beliau yang mendukung yaitu hidup di lingkungan pesantren, sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagaimana ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan kepada santri, dan bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling membantu.

Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.

Sejak lahir sampai berumur enam tahun K.H. Hasyim Asy’ari tumbuh di bawah asuhan ayah dan ibunya serta kakeknya di Gedang. Kemudian Pada tahun 1293 H/ 1876 M, Hasyim bersama kedua orang tuanya pindah ke Desa Keras, sekitar delapan km ke selatan Kota Jombang. Kepindahan mereka adalah untuk membina masyarakat di sana. Di Desa Keras, Kiai Asy’ari diberi tanah oleh Sang Kepala Desa, yang kemudian digunakan untuk membangun rumah, masjid, dan pesantren. Di sinilah Hasyim kecil dididik dasar-dasar ilmu agama oleh orang tuanya. Hasyim juga dapat melihat secara langsung bagaimana ayahnya membina dan mendidik para santri. Hasyim hidup menyatu bersama santri. Ia mampu menyelami kehidupan santri yang penuh kesederhanaan dan kebersamaan. Semua itu memberikan pengaruh yang sangat besar pada pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di kemudian hari. Hal ini ditunjang oleh kecerdasannya yang memang brilian.
Tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, tiga belas tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri.

Disamping cerdas, Hasyim juga dikenal rajin bekerja. Watak kemandirian yang ditanamkan sang kakek, mendorongnya untuk berusaha memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Itu sebabnya, Hasyim selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar mencari nafkah dengan bertani dan berdagang. Hasilnya kemudian dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal menuntut ilmu.

4. Masa Muda K.H. Hasyim Asy’ari dalam Menuntut Ilmu dan

Pernikahanya Yang Pertama

Pada usia lima belas tahun, remaja Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya untuk berkelana memperdalam ilmu pengetahuan. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonorejo Jombang, lalu pesantren Wonokoyo Probolinggo, kemudian Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Trenggilis Semarang. Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Hasyim melanjutkan rihlah ilmiahnya ke Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan Kiai Kholil bin Abdul Latif yang terkenal waliyullah itu.

Setelah lima tahun menuntut ilmu di Bangkalan, pada tahun 1307 H/ 1891 M. Kiai Hasyim kembali ke tanah Jawa dan belajar di pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub. Dan K.H Hasyim Asy’ari merasa menemukan sumber pengetahuan yang diinginkan.

Hadratussyekh belajar di sana selama lima tahun. Lalu pada usia dua puluh satu tahun, dia dinikahkan dengan Nafisah, salah seorang putri Kiai Ya'qub. Ia diminta menikah dengan putri Kiai Ya’qub karena kedalaman ilmunya. Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/ 1308 H.

Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Mekah guna menunaikan ibadah haji. Kesempatan di tanah suci juga digunakan untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu hadits.

Setelah mendapat istri, K.H. Hasyim Asy’ari juga mendapat hadiah lain dari mertuanya berupa naik haji bersama istrinya di Mekah. Di sini pulalah beliau juga belajar kembali. Beliau juga belajar kembali ilmu hadits pada ulama kondang Syeh Ahmad Khatib Minangkabau. Syekh Ahmad Khatib Minangkabau ini adalah menantu syekh Shaleh Kurdi, seorang hartawan yang mempunyai hubungan baik dengan pihak penguasa di Mekah. Syekh ini berhasil menjadi ulama dan guru besar yang terkenal di Mekah dan menjadi salah satu imam di Masjidil Haram untuk penganut Mazhab Syafi’i. Bahkan menurut Abdul Karim Hasyim, guru-gurunya bukan hanya itu, tetapi juga Syekh Al-‘Alamah Abdul Hamid Al-Darustany dan Syekh Muhammad Syu’aib.

Tujuh bulan telah berlalu, Nyai Nafisah pun melahirkan seorang putera yang diberi nama Abdullah. Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya sangat bahagia dengan kelahiran bayi mungil tersebut.

Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih berganti. Demikian juga yang dialami Kiai Hasyim. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia di tanah suci Mekah.

Empat puluh hari kemudian putra beliau, Abdullah, menyusul sang ibu. Kesedihan Kiai Hasyim nyaris tak tertahankan. Namun beliau selalu ingat kepada Allah dengan melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya. Beberapa bulan kemudian, Kiai Hasyim kembali ke Indonesia untuk mengantar mertuanya pulang.

5. Kembali Ke Tanah Suci Mekah

Kerinduan akan tanah suci mengetuk hati Kiai Hasyim untuk kembali lagi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/ 1893 M, beliau berangkat kembali ke Mekah bersama adik kandungnya, Anis. Namun Allah kembali menguji kesabaran Kiai Hasyim, karena tak lama setelah tiba di Mekah, Anis dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.

Peristiwa ini tidak membuat Kiai Hasyim hanyut dalam kesedihan. Kiai Hasyim justru semakin mencurahkan seluruh waktunya untuk belajar dan mendekatkan diri kepada Allah. Sejak saat ini beliau menetap di Mekah. Pada saat menetap di Mekah inilah, beliau benar-benar memfokuskan diri untuk menuntut ilmu.

Di tengah-tengah kesibukan menuntut ilmu, beliau menyempatkan diri berziarah ke tempat-tempat mustajab, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, termasuk ke makam Rasulullah SAW. Setiap Sabtu pagi beliau berangkat menuju Goa Hira’ di Jabal Nur, kurang lebih sepuluh km di luar Kota Mekah, untuk mempelajari dan menghafalkan hadits-hadits Nabi. Setiap berangkat menuju Goa Hira’, Kiai Hasyim selalu membawa al-Qur’an dan kitab-kitab yang ingin dipelajarinya.

Kiai Hasyim juga rajin menemui ulama-ulama besar untuk belajar dan mengambil berkah dari mereka. Guru-guru Kiai Hasyim selama di Mekah, antara lain: Syekh Mahfudzh at-Turmusi, Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said al-Yamani, Syekh Rahmatullah, dan Syekh Bafaddhal. Sejumlah sayyid juga menjadi gurunya, antara lain: Sayyid Abbas Alaliki, Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Mekah. Di antara mereka, ada tiga orang yang sangat mempengaruhi wawasan keilmuan Kiai Hasyim, yaitu Sayyid Alwi bin Ahmad al-Segaf, Sayyid Husain al-Habsyi, dan Syekh Mahfudzh al-Turmusi.

Ada hal yang menarik yang pernah dilakukan Kiai Hasyim bersama teman-teman beliau yang sama-sama belajar di tanah suci yang tidak hanya dari Indonesia tetapi dari seluruh penjuru dunia.

Beliau menyadari bahwa orang yang mengerti atau berilmu tidak cukup hanya tahu dan ilmu itu dimiliki sendiri. Bagaimanapun, penjajahan adalah penindasan atas satu sama lain dan dilarang oleh agama yang diyakinnya, sehingga kita harus bergerak. Oleh sebab itu, pada suatu malam di bulan Ramadhan yang mulia, pelajar-pelajar yang terdiri dari berbagai kebangsaan mulai dari Afrika, negara-negara Asia Selatan, Asia Tengah, dan negara-negara Arab berkumpul mngadakan pertemuan dan refleksi atas keilmuan mereka dalam rangka mencari bagaimana cara untuk mentransformasikanya menjadi sebuah gerakan yang lebih berguna. Mereka semua berdiri di depan Multazam di Ka’bah suci dan berikrar dengan sumpah demi Allah akan melakukan perjuangan di jalan Allah untuk meninggikan kalimah Islam, mempersatukan umat Islam dengan menyebarkan ilmu dan kesadaran, serta memperdalam agama demi mendapatkan ridla Allah tanpa mengharapkan harta, kedudukan, ataupun jabatan bagi diri sendiri.

Pada tahun ketujuh di Mekah tepatnya tahun 1899 (1315 H) datang rombongan jamaah haji dari Indonesia. Diantara rombongan terdapat Kiai Romli dari Desa Karangkates Kediri, beserta putrinya yang bernama Khadijah. Kiai Romli yang bersimpati kepada Kiai Hasyim mengambilnya sebagai menantu untuk dijodohkan dengan Khadijah. Setelah pernikahan itu, Kiai Hasyim bersama istrinya pulang kembali ke tanah air.

6. Mendirikan Pesantren Tebu Ireng dan Menikah Lagi

Setibanya di Indonesia Tahun 1313 H/1899 M, Kiai Hasyim langsung menuju Pesantren Gedang yang diasuh oleh Kiai Utsman, dan tinggal di sana membantu sang kakek. Setelah itu beliau membantu ayahnya, Kiai Asy’ari, mengajar di Pondok Keras.
Tahun 1899, Kiai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih satu km masuk Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil yang berukuran 6 X 8 yang terdiri dari barak inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kiai Hasyim mengajar dan shalat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Dusun Tebu Ireng yang pada saat itu merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanya besar di kalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannaya.

Setelah dua tahun membangun Tebu Ireng, Kiai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khadijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan. Berangsur-angsur masyarakat yang dulunya kurang menerima akhirnya sudah mulai banyak yang menerima keberadaan Pondok Pesantren Tebi Ireng. Pada tanggal 6 februari 1906 belanda mengakui resmi berdiri.
Kiai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kiai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu:

a. Hannah, yang lahir dan meninggal tahun 1905 karena umurnya tidak ada satu tahun.
b. Khoiriyah, dilahirkan tahun 1908. yang setelah dewasa menikah dengan Kiai Maksum Ali.
c. Aisyah, Setelah dewasa menikah dengan Kiai Ahmad Badawi.
d. Azzah (Ummu Abdul Haq), setelah dewasa menikah dengan Kiai Idris dari Cirebon Jawa Barat.
e. Abdul Wahid, Lahir pada tanggal 1 Juni 1914, meninggal 15 April 1952. Ia menjadi tangan kanan ayahnya dan pernah menjabat sebagai Menteri Agama RI dan RIS. Yang sampai sekarang lebih dikenal dengan sebutan Wahid Hasyim.
f. Abdul Hafiz, yang lebih dikenal dengan A. Khalik, yang lahirkan tahun 1917 beliau mantan anggota konstituante dan menjadi pimpinan pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang.
g. Abdul Karim, Lahir 1919 dan menjadi dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya.
h. Ubaidillah, Lahir dan juga meninggal tahun yang sama yaitu 1925.
i. Mashuroh, lahir tahun 1926.
j. Muhammad Yusuf. Yang dilahirkan tahun 1929, lebih akrab dengan sebutan Yusuf Hasyim, pernah menjadi DPR-RI dan pernah juga menjabat sebagai ketua PBNU.

Pada akhir dekade 1920-an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kiai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kiai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu:

a. Abdul Qodir,
b. Fatimah,
c. Khotijah,
d. Muhammad Ya’kub.

Sebenarnya menurut beberapa pendapat K.H. Hasyim pernah menikah tujuh kali tetapi tidak ada informasi mengenai istri-istrinya yang lain. Karena selama ini sulit dicari yang terkait dengan istri-istrinya yang lain.

7. Komite Hijaz Dan Mendirikan NU
Penjajahan oleh kolonial yang panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional yang di tandai dengan berdirinya organisasi Boedi Oetomo. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.

Dibentuknya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagai kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian Tafwirul Afkar adalah, K.H. Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh P.P. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid Hadratussyekh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.

Taswirul Afkar adalah wadah bagi kalangan pesantren terutama Kiai karena di dalam Taswirul Afkar menitik beratkan pada budaya olah pikir yang juga berfungsi membendung arus pikiran-pikiran pembaruan (modernisasi) Islam. Secara singkat dapat dijelaskan organisasi ini sebagai reproduksi kebudayaan dan reproduksi sosial.

Ada kabar bahwa akan ada Muktamar Khilafah oleh raja Saudi Arabia, Ibnu Saud. Ibnu Saud menginginkan adanya Khilafah Islamiyah yang akan menggantikan Khilafah Utsmaniyah di Turki. Karena Turki Utsmani mengalami kemunduran dan pada saat itu Turki manjadi negara sekuler yang di pelopori oleh Mustafa Kemal Pasha Attarturk.

Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, yang saat itu menggantikan Sjarif Husein, berencana menjadikan Madzhab Wahabi sebagai madzhab resmi negara. Madzab Wahabi ini menimbulkan permasalahan dikalangan para ulama ahlus sunnah wal jamaah karena menyinggung akidahnya. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah. Bahkan makam nabi Muhammad mau dihancurkan.

Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kiai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai K.H. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya.

Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hal itu ditandai dengan balasan surat dari Ibnu Saud yang dalam surat balasan tersebut berisi tidak ada larangan untuk bermadzab. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Setelah komite Hijaz berhasil, keinginan semua pihak menginginkan pendirian sebuah organisasi yang berhaluan ahlus sunnah wal jamaah. Dan beberapa tokoh sudah merintisnya seperti K.H. Ridlwan membuat lambang, para kiai meminta bantuan Mas Sugeng yang saat itu menjadi sekretaris mahkamah tinggi untuk membuat AD/ART.

Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy'ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan shalat istikharah, menohon petunjuk dari Allah. Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kiai Hasyim sangat gelisah. Sementara Kiai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kiai Hasyim. Kiai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh P.P. Salafiyah Syafi’iyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tongkat kepada Kiai Hasyim di Tebuireng. As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kiai Hasyim. Hadratussyekh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/ jam’iyah.

Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926 M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’ , yang artinya kebangkitan ulama. Kiai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.

Terbukti organisasi ini pada tahun-tahun berikutnya menjadi bahan kajian yang menarik bagi para Indonesianis salah satunya adalah Mitsuo Nakamura dari Chiba University, Jepang. Karena sejak perkenalanya dengan NU semakin menarik mendalami Indonesia dan banyak memberikan pelajaran bagi Nakamura.

8. K.H. Hasyim Asy’ari Dan MIAI

Perbedaan pandangan tentang madhzab yang terjadi saat itu menyebabkan rawan perpecahan di tubuh umat Islam yang ada di Indonesia. Akhirnya beliau menulis surat terbuka yang berjudul Al-Mawaizh yang dibaca pada saat pembukaan Muktamar NU ke XI di Banjarmasin tahun 1935.

Hadratussyekh mempunyai keinginan untuk menyatukan umat Islam yang ada di Indonesia. Maka atas prakarsa beliau dan sejumlah tokoh umat Islam lainya dibentuk sebuah wadah yang bernama Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Akhirnya pada tanggal 23 September 1937 beliau mendirikan MIAI yang menghimpun partai-partai, ormas, dan perkumpulan Islam dalam berbagai aliran dan tujuan. Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kiai Hasyim dengan putranya Kiai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).

Selama menjabat ketua MIAI Hadratussyekh sangat berperan dalam penggabungan MIAI dengan GAPPI (Gabungan Partai Politik Indonesia). Pada tahun 1941 MIAI dan GAPPI menyelenggarakan agenda besar yaitu meningkatkan hak politik untuk menuju Indonesia yang merdeka.

Dari sinilah kemudian MIAI dan GAPPI membentuk KORINDO (Kongres Rakyat Indonesia).Walaupun setelah beberapa lama terjadi gap communicatian antara MIAI dan GAPPI.

Pada tahun 1943 MIAI dibubarkan karena saat itu yang berkuasa adalah Jepang. Karena dianggap tidak mendukung kebijakan Jepang dan setelah itu diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI).

9. Akhir Hayat KH. Hasyim Asy’ari

Tanggal 7 Ramadhan 1366 H, bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947 M. jam 9 malam, Kiai Hasyim baru saja selesai mengimami salat Tarawih. Seperti biasa, beliau duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman. Kiai Hasyim menemui utusan tersebut didampingi Kiai Ghufron (Pimpinan Laskar Sabilillah Surabaya).

Sang utusan membawa surat untuk disampaikan kepada Hadratussyekh. Bung Tomo memohon Kiai Hasyim mengeluarkan komando jihad fi sabilillah bagi umat Islam Indonesia, karena saat itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak dari rakyat Indonesia yang menjadi korban.

Tak lama berselang, Hadratussyekh mendapat laporan dari Kiai Ghufron (Pemimpin Sabilillah Surabaya) bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa kota Singosari Malang (sebagai basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah) telah jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berujar, ”Masya Allah, Masya Allah…” sambil memegang kepalanya. Lalu Kiai Hasyim tidak sadarkan diri.
Menurut hasil pemeriksaan dokter, Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak (hersenbloeding) yang sangat serius. Pada pukul 03.45 dini hari, bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366 H, Hadratuyssyekh K.H. M. Hasyim Asy'ri dipanggil yang Maha Kuasa.

B. Potret Keteladan KH. Hasyim Asy’ari

1. Pendidik Sejati

Masa awal perjuangan Kiai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan menyingkirkan segala sesuatu yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda.

Tebu Ireng adalah tempat yang jauh dari kota Jombang. Daerah yang berdekatan dengan Pabrik Gula Cukir ini daerah yang sangat rawan dengan kejahatan. Dekat pabrik gula dipenuhi dengan rumah-rumah prostitusi, warung minuman keras. Bisa dikatakan jika melihat kondisi saat itu akan sia-sia mendirikan lembaga pendidikan untuk merubah moral masyarakat. Dari sinilah tekad untuk berjuang dan menjadi pendidik sejati semakin mantab.

Kegiatan sehari-hari beliau tidak pernah berhenti untuk mengajar santri-santrinya. Dari bangun tidur sampai tidur lagi tak ada waktu yang terbuang sia-sia.

2. Dekat Kepada Allah

Ketika Hadratussyekh merasa amat letih karena siang harinya menghadiri kongres Nahdatul Ulama’ di Malang, beliau tidak bisa memberikan pelajaran di malam hari kepada para santri. Sehabis shalat Isya beliau beristirahat tidur sangat pulas. Kiai Hasyim baru bangun pada pukul setengah tiga malam. Beliau langsung mengambil air wudhu, berpakaian rapi dan menjalankan shalat tahajjud. Meskipun pada siang harinya belum makan, beliau tidak juga makan di malam hari, padahal persediaan makanan masih ada.

Selesai shalat tahajjud diiringi dengan wirid dan doa yang panjang, beliau mengambil al-Qur’an lalu dibacanya dengan perlahan-lahan sambil menghayati maknanya. Ketika sampai pada surat Ad-Dzariyat ayat 17-18:
“Adakah mereka itu sedikit tidur pada malam hari. Dan di waktu sahur (dini hari) mereka itu meminta ampun kepada tuhan".

Seketika itu beliau menghentikan bacaannya. Lalu terdengar suara tangis terisak-isak. Tak lama kemudian kemudian air mata telah membasahi jenggotnya yang sudah memutih. Kiai Hasyim merasa bahwa pada malam itu beliau terlalu banyak tidur. Sambil menengadahkan tangan, beliau berdo’a,”Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang lemah ini, dan berilah hamba kekuatan serta ketabahan untuk melaksanakan segala perintah-perintah-Mu”. Kemudian beliau bangkit dari tempat duduknya menuju tempat shalat, lalu bersujud kepada Allah memohon ampun. Lisannya terus membaca tasbih.

Peristiwa yang semacam ini tidak hanya terjadi sekali dalam diri Hadratussyekh, bahkan berkali-kali. Jika membaca al-Qur’an yang menerangkan siksa, ancaman, dan perintah Allah yang selalu dilupakan orang, ia selalu meneteskan air mata.
Dalam kejadian lain juga pernah terjadi hal yang sama. Suatu malam, Kiai Hasyim berniat tidur sejenak guna mengistirahatkan badan. Ketika sampai di tempat tidur, terdengar suara seorang santri dari masjid sedang membaca al-Qur’an surat al-Muzammil: 1-9

“Hai orang yang berselimut (Muhammad). Sembahyanglah pada malam hari, kecuali sedikit (dari padanya). (yaitu) separoh malam atau kurangkanlah sedikit dari padanya. Atau lebih dari padanya dan bacalah Al Quran dengan perlahan-lahan (terang huruf-hurufnya). Sesungguhnya kami menurunkan kapada engkau perkataan yang berat (Qur'an). Sesungguhnya beribadah pada malam, lebih tetap dalam hati dan lebih lurus bacaanya. Sesungguhnya bagi engkau pada siang hari ada pekerjaan (urusan) yang banyak. Sebutlah nama Tuhanmu, dan berbaktilah kepada-Nya sebenar-benarnya berbakti. (Dia) Tuhan timur dan barat, tidak ada Tuhan kecuali Dia, Sebab itu ambillah Dia sebagai wakil (menyerahkan urusan kepada-Nya)”.

Mendengar ayat itu, Kiai Hasyim yakin bahwa ini adalah teguran dari Allah SWT. melalui santrinya. Allah menegurnya agar tetap beribadah, jangan bermalas-malasan menuruti hawa nafsu. Akhirnya keinginan untuk tidur dibatalkan.

3. Tokoh Nasionalisme

Dedikasi pemikiran kepada Negara, K.H.Hasyim Asy’ari tidak perlu diragukan lagi tentang keinginanya berjuang untuk negeri. Pada saat itu di negara-negara Islam banyak hal-hal baru yang muncul baik itu istilah, simbol, maupun institusi-institusi. Seperti juga istilah nasionalisme yang tidak ada rujukanya dalam kitab klasik. Orang Turki memakai nasionalisme dengan Milyati, dari kata Millah, sedangkan NU yang merupakan yang pada saat itu dibawah kepemimpinan Hadratussyekh menggunakan Wathan atau Wathaniyah. Walaupun konsep dasar Millah dan Wathan berbeda. Kalau Millah translokal sedang Wathan bersifat lokal.

Masa awal perjuangan Kiai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda.

Bahkan Kiai Hasyim selalu gigih dan selalu bersikap keras terhadap penjajah. Oleh sebab itu beliau selalu diawasi intelejen-intelejen Belanda. Bahkan pernah belanda memporak-porandakan pesantrenya tetapi tidak pernah menyurutkan semangatnya.
Pada tahun 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represif dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.

Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratussyekh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kiai Hasyim menolak melakukan seikerei dan juga menolak mengibarkan bendera jepang dan juga menyanyikan lagu Kimigayo.

Akibatnya, Kiai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah-pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratussyekh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kiai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.

Tanggal 18 Agustus 1942, setelah empat bulan dipenjara, Kiai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para kiai dan santri. Selain itu, pembebasan Kiai Hasyim juga berkat usaha dari Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang.

Ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kiai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.

Resolusi jihad itu berisi, kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus harus dipertahankan, Pemerintahan RI sebagai pemerintahan yang sah harus dipertahankan dengan harta nyawa sekalipun, bagi warga NU yang berjarak radius 94 km dari tempat musuh hukumnya fardlu ‘ain untuk berjihad sedang yang berada diluar jangkauan wajib membantu segala sesuatu yang diperlukan dalam perjuangan.

Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.

C. Karya-Karya K.H. Hasyim Asy’ari

Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga penulis yang produktif. Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi hari, antara pukul 10.00 sampai menjelang dzuhur. Waktu ini merupakan waktu longgar yang biasa digunakan untuk membaca kitab, menulis, juga menerima tamu.

Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah.
Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan keadilan, dll.

Karya-karya K.H. M. Hasyim Asy'ari yang dapat di telusuri hingga saat ialah seperti yang telah dituliskan Zuhairi Misrawi dalam bukunya Hadratussyekh Hasyim Asy'ari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan:

1. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial. Selesai ditulis hari Senin, 20 Syawal 1360 H., penerbit Maktabah Al-Turats Al-Islami Ma’had Tebuireng.

2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’. Berisikan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan Nahdhatul Ulama’ dan dasar-dasar pembentukannya disertai beberapa hadis dan fatwa-fatwa Kiai Hasyim tentang berbagai persoalan.

3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat. Berisi tentang perlunya berpegang kepada salah satu diantara empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali). Di dalamnya juga terdapat uraian tentang metodologi penggalian hukum (istinbat al-ahkam), metode ijtihad, serta respon atas pendapat Ibn Hazm tentang taqlid.

4. Mawaidz. Beberapa Nasihat. Berisi fatwa dan peringatan tentang merajalelanya kekufuran, mengajak merujuk kembali kepada al-Quran dan hadis, dan lain sebagainya. Testament keagamaan ini pernah disiarkan dalam kongres Nahdhatul Ulama’ ke XI tahun 1935 di Kota Bandung, dan pernah diterjemahkan oleh Prof. Buya Hamka dalam majalah Panji Masyarakat no.5 tanggal 15 Agustus 1959, tahun pertama halaman 5-6.

5. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. 40 hadits Nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama’.

6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman, mentaati, meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad SAW. Memuat biografi singkat Nabi SAW mulai lahir hingga wafat, dan menjelaskan mu’jizat shalawat, ziarah, wasilah, serta syafaat. Selesai ditulis pada 25 Sya’ban 1346 H.

7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran. Ditulis berdasarkan kejadian yang pernah dilihat pada malam Senin, 25 Rabi’ al-Awwal 1355 H., saat para santri di salah satu pesantren sedang merayakan Maulid Nabi yang diiringi dengan perbuatan mungkar, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, permainan yang menyerupai judi, senda gurau, dll. Pada halaman pertama terdapat pengantar dari tim lajnah ulama al-Azhar, Mesir. Selesai ditulis pada 14 Rabi’ at-Tsani 1355 H., dicetak oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng.

8. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah.

9. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir. Di dalamnya juga terdapat banyak pasal berbahasa Jawa dan merupakan fatwa Kiai Hasyim yang pernah dimuat di Majalah Nahdhatoel Oelama’.

10. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah secara syar’i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan. Kitab ini biasanya dicetak bersama kitab Miftah al-Falah karya almarhum Kiai Ishamuddin Hadziq.

11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Berisi kajian tentang wali dan thariqah dalam bentuk tanya-jawab sebanyak 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh Dr. KH. Thalhah Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf Hasyim, dierbitkan oleh percetakan Menara Kudus. Di dalamnya memuat catatan editor setebal xxxiii halaman. Sedangkan kitab aslinya dimulai dari halaman 1 sampai halaman 29.

12. Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H./1937M. Dicetak bersama kitab Kiai Hasyim lainnya yang berjudul Risalah fi at-Tashawwuf serta dua kitab lainnya karya seorang ulama dari Tuban. Risalah ini ditash-hih oleh syeikh Fahmi Ja’far al-Jawi dan Syeikh Ahmad Said ‘Ali (al-Azhar). Selelai ditash-hih pada hari Kamis, 26 Syawal 1356 H/30 Desember 1937 M.

13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa, dicetak bersama kitab al-Risalah fi al-‘Aqaid.

14. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih. Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah. Diterbitkan oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng. Di akhir kitab terdapat banyak pengantar dari para ulama, seperti: Syeikh Sa’id bin Muhammad al-Yamani (pengajar di Masjidil Haram, bermadzhab Syafii), Syeikh Abdul Hamid Sinbal Hadidi (guru besar di Masjidil Haram, bermadzhab Hanafi), Syeikh Hasan bin Said al-Yamani (Guru besar Masjidil Haram), dan Syeikh Muhammad ‘Ali bin Sa’id al-Yamani.

15. Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syeikh al-Islam Zakariya al-Anshari.

16. Ar-Risalah at-Tawhidiyah

17. Al-Qala’id fi Bayan ma Yajib min al-Aqa’id

18. Al-Risalah al-Jama’ah

19. Tamyiz al-Haqq min al-Bathil

20. al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus

21. Manasik Shughra

Dahulu hanya beberapa kitab yang bisa ditemukan, karena memang karya Kiai Hasyim Asyari kurang mendapat perhatian. Tetapi sekarang telah terbit kitab yang berisi seluruh kumpulan karya K.H. Hasyim Asy’ari yang diterbitkan oleh al-Maktabah Turats al-Islamy Tebu Ireng Jombang yang diedit oleh K.H. Ishomuddin Hadziq.