Selasa, 24 Juni 2025

The Jongos III: Cerita Rumah Bordil dan Merana Karena Cinta

Aktifitas saat Ground Check


Kisah ini, jujur aja, sudah agak basi. Kejadiannya beberapa bulan lalu, pas masuk bulan Ramadan 1446 H. Tapi ya sudahlah, toh cerita yang terlambat bukan berarti kehilangan makna. Malah kadang, justru makin matang untuk diceritakan. Siapa tahu bisa jadi pelajaran atau minimal hiburan.

Puasa Ala The Jongos

Ramadan tahun jadi momen spesial buat kami—The Jongos. Bukan karena banyak menu takjil gratisan (walau itu juga menyenangkan), tapi karena di bulan inilah kami merasa benar-benar menjalani puasa yang "asli".

Maksudnya gimana? Ya puasa sambil tetap kerja seperti biasa. Aktivitas tetap jalan, hanya waktunya aja yang berubah. Kalau hari biasa sarapan sebelum berangkat kerja, pas Ramadan diganti sahur. Makan siang diganti buka puasa. Makan malam? Ya tetep, siapa juga yang mau lepas jatah makan malam.

Yang paling berat itu nahan haus, lapar, dan emosi. Tapi di situlah tantangannya. Nah, pas Ramadan itu juga kami dapet penugasan baru. Rasanya seneng banget karena puasa kali ini jadi lebih bermakna—ada perjuangannya.

Saya sendiri walaupun peran saya di The Jongos udah agak beda dari cerita di The Jongos I dan II, tetap berusaha profesional. Meski tugas saya lebih sedikit dari teman-teman, tetep aja harus kelar tepat waktu. Dan seperti biasa, kalau dikerjakan dengan niat dan agak telat sedikit, insya Allah... ya tepat waktu juga. Hehe.

Dan di sinilah cerita bermula—tentang kepolosan saya yang bikin geli sendiri kalau diingat-ingat.

*****

Rumah Bordil

Waktu itu saya lagi jalan untuk GC alias ground check. Karena sudah lama nggak turun ke lapangan, saya butuh pemandu lokal biar nggak nyasar. Jadilah saya ditemani Bu Binti, ketua kelompok setempat.

Rumah demi rumah kami datangi. Semuanya lancar, sampai akhirnya kami tiba di rumah seorang lansia. Di sebelah rumah itu ada warung. Saya sih positive thinking aja. Walaupun puasa, warung itu tetap buka mungkin buat orang-orang yang berhalangan atau musafir.

Saya parkir motor di depan warung dengan percaya diri. Di dalam warung kelihatan ada mbak-mbak cantik udah dandan rapi, dan dua orang pelanggan asyik ngopi. Dalam hati saya bilang, “Maaf mbak, saya lagi puasa, nggak bisa ngopi. Cuma numpang lewat aja mau ke rumah mbah di sebelah.”

Setelah masuk, kami ngobrol sama si Mbah, saya jelasin maksud kedatangan, ambil data, cek KK, KTP, rumah, dan sebagainya. Semua berjalan mulus. Tapi saat asyik ngobrol, dari dalam rumah terdengar suara, “Mbak, kopi satu!”

Saya ngintip, ternyata ada motor baru parkir deket motor saya. Tapi nggak keliatan siapa orangnya. Saya penasaran, lalu pas keluar, saya tanya ke Bu Binti, “Bu, itu tadi siapa ya? Kayaknya motornya masih di situ tapi orangnya nggak keliatan.”

Dengan wajah tenang tapi nahan senyum, Bu Binti jawab, “Mas… itu rumah bordil.”

Saya, masih polos dan bego-begonya, jawab, “Oh… jadi dia ngejahitin baju ya, Bu?”

Bu Binti ketawa pelan, “Rumah bordil itu rumah esek-esek, Mas. Tempatnya mucikari.”

Saya: 😶

Diam. Terpaku. Merasa seperti bocah baru tahu dunia.

Dan ternyata nggak cuma satu. Warung-warung di deretan itu ada tiga, dan... semuanya rumah bordil.

Beberapa hari kemudian, saya kebagian GC di warung yang tengah. Kali ini saya udah dapat info lebih dulu. Dan naluri sebagai penulis (ya walau belum jadi penulis besar juga sih) sempet pengen cari info lebih dalam. Tapi, ya sudahlah. Demi kebaikan semua pihak, cerita rumah bordil ini cukup sampai di sini aja. 😅

*****

Merana Karena Cinta

Cerita lain yang nggak kalah mengaduk hati datang dari GC di rumah seorang pemuda, sebut saja Mas Jo (bukan nama sebenarnya). Orangnya bersih, putih, kumisnya tebal, wajahnya lembut. Dari penampilan, nggak ada yang aneh.

Sebelum ke rumahnya, saya sempat dapat bisikan info dari keluarganya kalau Mas Jo ini masuk kategori "anomali". Waktu saya masuk dan menyapa, dia menjawab seperti biasa. Tapi sesekali senyum sendiri.

Rumahnya agak berantakan, tapi saya maklum. Yang bikin hati saya terenyuh, di pojok ruang tamu ada sajadah terbentang, tasbih tergeletak di atasnya. Saya tanya, “Mas, itu sajadah buat apa ya?”

“Buat sholat malam, Mas,” jawabnya pelan.

Deg.

Entah kenapa saya langsung diam. Dalam hati kecil berkata "Pikirannya boleh lupa siapa dirinya, tapi hatinya ternyata masih sangat tahu siapa Tuhannya." Ada keheningan yang tiba-tiba membuat saya merasa kecil.

Saya lanjut ke rumah tetangganya, dan dari situ saya dapat cerita lengkap. Dulu Mas Jo punya kekasih, dan mereka mau menikah. Tapi orang tua Mas Jo nggak setuju. Hubungan mereka dipaksa kandas. Bahkan sampai orang tuanya meninggal pun, restu itu tak kunjung datang.

Dan akhirnya, sang kekasih menikah dengan orang lain.

Mas Jo tidak pernah pulih sepenuhnya. Sejak saat itu, hidupnya berubah. Tapi entah kenapa, ia tetap setia dengan sajadahnya, dengan malam-malamnya yang mungkin penuh bisik doa dan luka lama.

*****

Penutup yang Gantung

Begitulah... The Jongos III kali ini bukan cuma cerita tugas dan kertas-kertas administrasi. Tapi juga soal tempat-tempat yang tak disangka, wajah-wajah yang menyimpan cerita, dan hati-hati yang pernah luka.

Lucu iya, ngenes juga ada. Tapi yang pasti, semua cerita ini bikin saya sadar: hidup itu bukan cuma soal kerjaan, tapi juga soal memahami. Memahami tempat, keadaan, bahkan orang-orang yang tampaknya jauh, tapi kalau kita dekati... ternyata hatinya nggak beda jauh dari kita.

Malam semakin larut, saya sudahi cerita ini. Mungkin nanti ada The Jongos IV, kalau semesta mengizinkan.




Sabtu, 21 Juni 2025

Gabut XIII; (Lintang Waluku) Ketika Langit Jadi Kalender Petani Jawa

 

Gubuk Inspirasi

Kurang lebih dua minggu yang lalu --- malam itu seperti kebiasaan ngopi digubuk sambil meramu racikan sisa makanan untuk vitamin Jalu, Jely, dan Kely (nama dombaku). Dengan santai mendengarkan alunan musik jawa. Kebetulan musik yang saya dengarkan saat itu musik jawa versi piano, karena berputar sesuai algoritma sesudah musik yang judulnya Sang Guru masuk ke playlist otomatis. Kebetulan lagunya Manthous yang berjudul Nyidam Sari

Sabtu, 21 September 2024

Healing 4; Masjid Agung Demak Bintoro

 

Foto di atas sebenarnya saya tidak sendiri, walaupun gambarnya sendiri tentu ada yang memfotokan. Tentu saja itu istri tercinta yang menjepret. Kalau dilihat dari bangunan sudah bisa di ketahui dimana letaknya. Sengaja foto juga saya crop bagian bawah karena sarung menceng alias tidak presisi.

Saat jalan-jalan bersama istri di masjid agung Demak, tentu bernostalgia dulu saat masih pacaran. Saya mengklaim gaya pacaran kami sangat islami. Setiap kali janjian ketemu pasti jamnya tepat sebelum masuk sholat dan janjian di sebuah masjid. Ketika sudah sampai masuk waktu sholat. Muadzin akan mengkumandangkan adzan.

Nah setelah itu ikut sholat berjamaah, ketika selesei langsung saja tidak lupa makan bareng. Biasanya paling sering makan bakso berdua sambil bercerita mimpi-mimpi masa depan yang indah. Setelah baksos habis kemudian pulang.

Sampai saat ini biasanya saat healing bareng-bareng keluarga kecil, masih menjadi kebiasaan jalan-jalan nyarkub nyantai, dan tentu akan beristirahat di masjid-masjid yang kian hari kian indah.

Dan kali ini sebenarnya tidak berdiri tetapi satu rombongan menghadiri haul sang guru Almaghfurllah KH. Ahmad Muthohar Allahu yarham di Mranggen Demak, tepatnya di pondok pesantren Darul Ma’wa (Futuhiyah ndalem) Mranggen Demak. Tentu sengaja datang lebih awal biar bisa mampir ke masjid Agung Demak sekaligus biar bisa nyarkub di Makam Raden Patah.

Masjid Agung Demak dan Saka Tatal

Yang saya tahu Masjid Agung Demak salah satu masjid tertua di Indonesia. Bahkan bisa jadi masjid yang pertama kali berdiri secara resmi dalam peradaban Islam di Jawa. Masjid Agung Demak adalah pusat kerajaan Demak Bintoro. Makanya tak heran jika di Masjid Agung Demak terdapat komplek pemakaman raja pertama kerajaan Demak Bintoro yaitu Raden Patah. 

Menurut sumber lain gelar dari raja Demak pertama adalah Kanjeng Sultan Syah Alam Akbar Sirrullah Kalimatul Rasul Amiril Mukminin Sirajudin Kamitan. Patah berasal dari kata bahasa arab fattah yang berarti pembuka. Karena akan membuka beridirinya kerajaan Islam di Jawa.

Saat membangun masjid Demak, layaknya bangunan jawa, ada yang khas yaitu saka guru yang berjumlah empat. Empak saka guru merupakan penyangga utama bangunan. Kalau Tajug Loro (joglo) biasanya para bangsawan yang punya karena luas dan untuk tempat belajar ilmu dan musawarah. Sedangkan Tajug lebih di gunakan untuk bangunan Masjid atau tempat suci. Dan saat proses pembangunan kurang satu. Proses pembuatan saka guru diserahkan kepada para wali saat itu. Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijogo.

Sakaguru Masjid Agung Demak ceritanya sudah sangat melegenda. Empat saka guru versi para wali saat adalah empat pedoman hidup manusia yaitu Alquran, Hadist, Ijma’, dan Qiyas. 

Cerita menarik dari Masjid Agung Demak adalah tentang cerita saka tatal. Saka tatal adalah bentuk dari karamah dari Sunan Kalijogo. Saat itu saka guru kurang satu kemudian Sunan Kalijogo mengumpulkan ranting-ranting dan serpihan kayu di jadikan satu dan di ikat, kemudian Sunan Kalijogo berdoa dan jadilah kayu besar yang kuat dan utuh. Tetapi Berdasarkan cerita dari Babad Demak, saka tatal dibuat dari serpihan kayu dengan cara dipasak dan diikat menjadi batang tiang besar menggunakan perekat damar. 

Kalau membicarakan Masjid Agung Demak tentu tidak aan ada habisnya, menurut saya Masjid Agung Demak adalah Masjid Seribu Cerita.


 
Demak, 16 September 2024M/ 12 rabiul awal 1446H

Jumat, 30 Agustus 2024

REFLEKSI (DI) BULAN AGUSTUS

 


Tak terasa bulan agustus sudah berada di penghujung. Tentu kalau berbicara bulan agustus yang teringat bagi kita semua adalah hari kemerdekaan Indonesia. Tentu saja acara peringatan hari kemerdekaan bangsa ini akan berfokus dan akan selalu di adakan semeriah mungkin. Ini salahsatu rasa hormat dan rasa nasionalisme untuk negeri tercinta ini. Walaupun saya bersama sahabat-sahabat saya berencana akan mengadakan kegiatan peringatan di hari kemerdekaan di bulan September karena semua berfokus pada kegiatan yang sudah diadakan oleh instansi dan lembaga lain di bulan agustus

Kita semua tidak merasakan panahnya timah panas menembus tubuh kita, sakitnya tusukan pedang mengenai dada kita. Dan kita tidak merasakan betapa hati rasa ketakutan setengah mati hanya dengan semangat jihat berada digaris terdepan dengan bambu runcing melawan melawan Kolonial Belanda dengan senjata meriamnya. Tapi komitmen sebagai anak bangsa ikut menjaga dan memeriahkan kemerdekaan tentu salahsatu wujud dari rasa cinta kita.

Dari semua acara peringatan kemerdekaan mulai dari panjat pinang, Tarik tambang, voli terpal, sepakbola daster dan juga sarung, dan segala jenis kegiatan saya merasakan dan mengamati hanya pawai kebudayaan yang paling ramai dan banyak penontonnya.

Saya bukanlah pecinta pawai kebudayaan yang setiap ada even pawai kebudayaan akan selalu menghadiri untuk melihatnya. Tapi hanya yang yang terjangkau dan ada waktu dan yang terpenting bagi saya menarik, baru saya akan meluangkan waktu untuk menonton. Kadang saya tidak sengaja saat perjalanan ada pawai sering saya berhenti sebentar menikmati suasana keramaian pawai. Kalau menarik saya menonton lebih lama. Kalau menurut saya hanya monoton ya saya teruskan perjalanan. Tapi yang terakhir ini yang sering saya alami. hihihi

Acara pawai kemerdekaan, tentu acara ini panitia berbeda-beda sebagai pelaksana, ada yang tingkat kabupaten, kecamatan, bahkan desa. Untuk di desa tentu pesertanya adalah di tingkatan rukun tetangga (RT) Saya mencoba untuk mengobrol setiap bertemu dengan orang yang saya temui ketika mereka antusias ngomong tentang ini. Hasil kesimpulan saya ternyata banyak anggapan masyarakat bahwa rasa nasionalisme hanya ditentukan partisipasi keikutsertaan di pawai kebudayaan. Pernah saya ngobrol dengan salahsatu orang, pas pelaksanaan pawai orang tersebut tidak bisa ikut karena sesuatu hal tidak bisa di tinggal, akhirnya tetangga mengucilkannya dan menuduhnya tidak punya rasa nasionalisme

Tapi pandangan pribadi saya untuk mengisi kemerdekaan yang paling utama dimulai dari kita sendiri untuk menjadi lebih baik. Itu pandangan pribadi saya lo ya…

Sound Horeg dan Pargoy

Sound Horeg dan pargoy ibaratnya dua sisi mata uang, jika ada pawai keduanya selalu melekat. Sebelum berbicara lebih lanjut kita simak dulu ulasan sound horeg dan pargoy. Pertama sound horeg, Menurut Kamus Bahasa Jawa-Indonesia (KBJI) oleh Kemendikbud, kata horeg memiliki arti bergerak atau bergetar. horeg merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Jawa kuno. Istilah horeg memiliki arti gempa atau berguncang. sound horeg merupakan sebuah fenomena yang berkembang di kalangan masyarakat dengan memanfaatkan alat penghasil suara dengan volume yang cenderung tinggi.

Kedua pargoy, Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pargoy tidak dapat ditemukan. Istilah ini muncul dari bahasa gaul yang dipakai dalam obrolan di masyarakat dan media sosial. Tapi berdasarkan ilmu otak-atik-gatok dan meneurut teman pargoy singkatan dari Party goyang. joget pargoy ini ditandai dengan goyangan menonjolkan kelenturan tubuh yang diiringi musik remix DJ.

Pawai dengan dengan penampilan ini tentu saja menjadi pro dan kontra di tengah masyarakat. Bahkan beberapa ada yang mengatakan perlu ada aturan jam dan spesifikasinya agar tidak membuat kegaduhan atau minimal tidak menggagu yang kurang menyukai tentang hal ini.

Bukan saya anti dengan sound hereg dan juga pargoy dalam setiap pawai kebudayaan. Tapi saya lebih sepakat dengan yang di atur tadi. Agar semua tidak ada yang merasa dirugikan dan tetap terwadahi. Apalagi kalau dalam pawai hanya menampilkan sound horeg dengan jogetannya tanpa tema. Dan untuk tahun ini yang saya lihat hamper 90% jenis pawai yang seperti ini. Adapun yang bertema hanya sedikit itupun dari lembaga pendidikan.

Tapi harus seperti itu karena membawa nama lembaga pendidikan. Yang menurut saya unuik adalah ketika walau tetap memakai sound horeg tapi kapasitasnya di atur sedemikian rupa agar tidak membuat dada sesak ketika dekat. Dalam pakaian juga lebih bertema misalnya kerajaan Indonesia dahulu, adajuga para pejuang. Lagu juga tidak melulu music DJ. Ada juga walapun tanpa menghilangkan jedug-jedug juga memutar lagu-lagu daerah, perjuangan, dan juga lagu budaya asli Indonesia. Kadang masih diselingi tearikal tentang perjuangan para pahlawan, ada juga yang memberikan tetrikal sumpah palapa Gajah Mada. Tentu dengan seperti ini saya mengapresiasi yang sangat dalam.

Ada juga yang kadang bikin jengkel, bukan saya menganggap diri ini sok suci. Naluri kelelakian, tentu mata akan dimanjakan mungkin dengan model pargoy yang ada dancer dengan pakaian seksi. Tapi saya sendiri kadang juga bingung, pernah saat buka facebook ada video yang menampilkan Pawai dengan sound horeg, tentu dengan pargoy yang ada dancernya memakai baju kebaya, tapi bawahan pakai celana pendek dan dibalut kain batik yang sama pendeknya dengan celana.

Bahkan yang meprihatinkan ketika ada yang nyawer dengan cara memasukan uang di dalam celana bagian paha. Dan yang bikin bingung sang dancer sangat senang dan malah tertawa. Saya tidak tahu ini masuk kategori pelecehan terhadap perempuan atau bukan? Dan yang lebih membingungkan adalah banyak anak-anak kecil yang melihat itu semua.

Pemahaman Islam dan Budaya Arab

Untuk sub bab ini lebih detai dari yang awal. Ini lebih mengerucut pada pawai kebudayaan yang di lingkup lembaga pendidikan. Yang meneurt hemat saya lebih menarik dan lebih edukatif karena tidak hanya sekedar hiburan. Inipun masih ada beberapa catatan, dan catatan ini bisa dikatakan sebagai bahan evaluasi dan kritik terhadap pemahaman agama terutama Islam.

Sebenarnya pemahaman Islam dalam lembaga pendidikan bisa dilihat jika ada pawai yang menampilkan tema agama. Yang saya amati dari pawai tahun ini, jika ada lembaga pendidikan jika bertema tentang Islam, ada juga busana berjubah untuk laki-laki, dan memakai pakaian gamis yang serba hitam dengan di ikat sorban di kepala. Kalau mengamati lebih pasnya bukan budaya ala Islam tetapi budaya timur tengah.

Tentu beda antara ajaran Islam dan Budaya timur tengah. Masih banyak persepsi Islam berarti timur tengah, padahal memakai sarung dan baju surjan serta blangkon itu bagian dari Islam. Bahkan dulu orang-orang islam di Nusantara ya tidak lepas dari itu semua. Tentu tidak semua berpemahaman seperti ini. Untuk sekolah-sekolah yang berbasis agama (Islam) dalam hal pawai sudah bisa memahami antara Islam dan budaya sehingga dalam menampilkan dalam pawai sudah bisa mengakulturasi ketika dengan budaya Indonesia dan menyesuaikan.

Dan rata-rata penampilan dengan tema Islam sama dengan budaya arab berada pada sekolah-sekolah umum. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah bersama.

 

Blitar, 30 Agustus 2024

Kamis, 30 Mei 2024

Tentang "Kepada Noor"



Mungkin saya, bagian orang yang terlambat mengetahui lagu viral yang dinyayikan Panji Sakti yang berjudul “Kepada Noor”. Malam itu belum bisa tidur ku buka Instagram ada sebuah story foto yang backsoundnya lagu ini. Karena suasana malam yang sangat hening, lagu yang bikin tenang dan merinding dan mengingat tentang kerinduan kepada Tuhan.

Kuulangi terus-menerus tanpa bosan, akhirnya saya baca tulisan kecil keterangan dari backsound tersebut, tertulis Panji Sakti, Kepada Noor. Langsung ku buka youtube dan ku ketik kepada noor munculah lagu tersebut dan kuputar versi lengkapnya.

Benar-benar merinding mendengarnya, apalagi ada lirik yang menurut saya seperti mantra sangat membius.

Kepada Noor

Seperti burung yang sedang membuat sarang
Dari rumput dan ilalang
Kususuri setiap keindahan
Di wajah-Mu kusematkan


 Rindu adalah perjalanan mengurai waktu

Menjelma pertemuan demi pertemuan
Catatannya tertulis di langit malam
Di telaga dan di ujung daun itu


 Rindu mengekal menyebut nama-Mu berulang-ulang

Rindu mengekal menyebut nama-Mu berulang-ulang
Rindu mengekal menyebut nama-Mu


Kudalami lebih lanjut tentang lagu ini. Dan ternyata lagu ini adalah musikalisasi puisi, puisi yang ditulis oleh M. Syarif Hidayat untuk istrinya yang bernama Siti Nurbaya yang memang paggilannya Nur. Tetapi dalam ceritanya Panji sakti tergerak hatinya untuk menciptakan musikalisasi puisi ini karena ada dorongan rohani dalam memaknai puisi itu.

Mungkin bagi penulis puisi itu untuk istrinya tapi bagi panji Noor dimaknai bagi Noor sang pemilik semesta. Apakah hal itu salah? Tidak salah karena ketika sebuah karya puisi ketika sudah terpublish entah tercetak di media massa, buku, atau bahkan medsos. Interpretasi diserahkan kepada masing-masing pembaca.

Tapi bagi saya memang musikalisasi antara nada dan lirik sangat luar biasa. Bagi saya ini bukan sekedar musik biasa tapi ajaran sufi. Bagai kerinduan seorang hamba kepada penciptanya.


30 Mei 2024

Selasa, 20 Februari 2024

Singkong & Kesederhanaan


Singkong itu ajaran tentang kesederhanaan. Singkong itu bisa eksis di mana saja. Tapi tetap rendah hati, tetap tak mau menampakkan buahnya. Singkong tetap tumbuh di kala panas atau hujan. Tetap tegar dan menebar manfaat.

Sabtu, 03 Februari 2024

Mulutmu Dirimu


Semua perkataan yang terlontar dari mulut manusia menunjukan kepribadian dan prilakunya.

Sabtu, 27 Januari 2024

Rabu, 17 Januari 2024

Secangkir Kopi Hitam III


Bulan sabit menampakan sinarnya di pintu rumahku

Seakan mengucapkan salam "Assalamu'alaikum"

Aku pun mempersilahkan masuk

Ku buat secangkir kopi hitam

Kitapun berdiskusi tentang alam

Tentang sejarah kehidupan

Tentang kekuasaan

Namun semua tak ada yang lebih penting

Selain rasa kemanusiaan


15 Januari 2016