Aktifitas saat Ground Check
Kisah ini, jujur aja, sudah agak basi. Kejadiannya beberapa bulan lalu, pas masuk bulan Ramadan 1446 H. Tapi ya sudahlah, toh cerita yang terlambat bukan berarti kehilangan makna. Malah kadang, justru makin matang untuk diceritakan. Siapa tahu bisa jadi pelajaran atau minimal hiburan.
Puasa Ala The Jongos
Ramadan tahun jadi momen spesial buat kami—The Jongos. Bukan karena banyak menu takjil gratisan (walau itu juga menyenangkan), tapi karena di bulan inilah kami merasa benar-benar menjalani puasa yang "asli".
Maksudnya gimana? Ya puasa sambil tetap kerja seperti biasa. Aktivitas tetap jalan, hanya waktunya aja yang berubah. Kalau hari biasa sarapan sebelum berangkat kerja, pas Ramadan diganti sahur. Makan siang diganti buka puasa. Makan malam? Ya tetep, siapa juga yang mau lepas jatah makan malam.
Yang paling berat itu nahan haus, lapar, dan emosi. Tapi di situlah tantangannya. Nah, pas Ramadan itu juga kami dapet penugasan baru. Rasanya seneng banget karena puasa kali ini jadi lebih bermakna—ada perjuangannya.
Saya sendiri walaupun peran saya di The Jongos udah agak beda dari cerita di The Jongos I dan II, tetap berusaha profesional. Meski tugas saya lebih sedikit dari teman-teman, tetep aja harus kelar tepat waktu. Dan seperti biasa, kalau dikerjakan dengan niat dan agak telat sedikit, insya Allah... ya tepat waktu juga. Hehe.
Dan di sinilah cerita bermula—tentang kepolosan saya yang bikin geli sendiri kalau diingat-ingat.
*****
Rumah Bordil
Waktu itu saya lagi jalan untuk GC alias ground check. Karena sudah lama nggak turun ke lapangan, saya butuh pemandu lokal biar nggak nyasar. Jadilah saya ditemani Bu Binti, ketua kelompok setempat.
Rumah demi rumah kami datangi. Semuanya lancar, sampai akhirnya kami tiba di rumah seorang lansia. Di sebelah rumah itu ada warung. Saya sih positive thinking aja. Walaupun puasa, warung itu tetap buka mungkin buat orang-orang yang berhalangan atau musafir.
Saya parkir motor di depan warung dengan percaya diri. Di dalam warung kelihatan ada mbak-mbak cantik udah dandan rapi, dan dua orang pelanggan asyik ngopi. Dalam hati saya bilang, “Maaf mbak, saya lagi puasa, nggak bisa ngopi. Cuma numpang lewat aja mau ke rumah mbah di sebelah.”
Setelah masuk, kami ngobrol sama si Mbah, saya jelasin maksud kedatangan, ambil data, cek KK, KTP, rumah, dan sebagainya. Semua berjalan mulus. Tapi saat asyik ngobrol, dari dalam rumah terdengar suara, “Mbak, kopi satu!”
Saya ngintip, ternyata ada motor baru parkir deket motor saya. Tapi nggak keliatan siapa orangnya. Saya penasaran, lalu pas keluar, saya tanya ke Bu Binti, “Bu, itu tadi siapa ya? Kayaknya motornya masih di situ tapi orangnya nggak keliatan.”
Dengan wajah tenang tapi nahan senyum, Bu Binti jawab, “Mas… itu rumah bordil.”
Saya, masih polos dan bego-begonya, jawab, “Oh… jadi dia ngejahitin baju ya, Bu?”
Bu Binti ketawa pelan, “Rumah bordil itu rumah esek-esek, Mas. Tempatnya mucikari.”
Saya: 😶
Diam. Terpaku. Merasa seperti bocah baru tahu dunia.
Dan ternyata nggak cuma satu. Warung-warung di deretan itu ada tiga, dan... semuanya rumah bordil.
Beberapa hari kemudian, saya kebagian GC di warung yang tengah. Kali ini saya udah dapat info lebih dulu. Dan naluri sebagai penulis (ya walau belum jadi penulis besar juga sih) sempet pengen cari info lebih dalam. Tapi, ya sudahlah. Demi kebaikan semua pihak, cerita rumah bordil ini cukup sampai di sini aja. 😅
*****
Merana Karena Cinta
Cerita lain yang nggak kalah mengaduk hati datang dari GC di rumah seorang pemuda, sebut saja Mas Jo (bukan nama sebenarnya). Orangnya bersih, putih, kumisnya tebal, wajahnya lembut. Dari penampilan, nggak ada yang aneh.
Sebelum ke rumahnya, saya sempat dapat bisikan info dari keluarganya kalau Mas Jo ini masuk kategori "anomali". Waktu saya masuk dan menyapa, dia menjawab seperti biasa. Tapi sesekali senyum sendiri.
Rumahnya agak berantakan, tapi saya maklum. Yang bikin hati saya terenyuh, di pojok ruang tamu ada sajadah terbentang, tasbih tergeletak di atasnya. Saya tanya, “Mas, itu sajadah buat apa ya?”
“Buat sholat malam, Mas,” jawabnya pelan.
Deg.
Entah kenapa saya langsung diam. Dalam hati kecil berkata "Pikirannya boleh lupa siapa dirinya, tapi hatinya ternyata masih sangat tahu siapa Tuhannya." Ada keheningan yang tiba-tiba membuat saya merasa kecil.
Saya lanjut ke rumah tetangganya, dan dari situ saya dapat cerita lengkap. Dulu Mas Jo punya kekasih, dan mereka mau menikah. Tapi orang tua Mas Jo nggak setuju. Hubungan mereka dipaksa kandas. Bahkan sampai orang tuanya meninggal pun, restu itu tak kunjung datang.
Dan akhirnya, sang kekasih menikah dengan orang lain.
Mas Jo tidak pernah pulih sepenuhnya. Sejak saat itu, hidupnya berubah. Tapi entah kenapa, ia tetap setia dengan sajadahnya, dengan malam-malamnya yang mungkin penuh bisik doa dan luka lama.
*****
Penutup yang Gantung
Begitulah... The Jongos III kali ini bukan cuma cerita tugas dan kertas-kertas administrasi. Tapi juga soal tempat-tempat yang tak disangka, wajah-wajah yang menyimpan cerita, dan hati-hati yang pernah luka.
Lucu iya, ngenes juga ada. Tapi yang pasti, semua cerita ini bikin saya sadar: hidup itu bukan cuma soal kerjaan, tapi juga soal memahami. Memahami tempat, keadaan, bahkan orang-orang yang tampaknya jauh, tapi kalau kita dekati... ternyata hatinya nggak beda jauh dari kita.
Malam semakin larut, saya sudahi cerita ini. Mungkin nanti ada The Jongos IV, kalau semesta mengizinkan.