Sabtu, 21 Juni 2025

Gabut XIII; (Lintang Waluku) Ketika Langit Jadi Kalender Petani Jawa

 

Gubuk Inspirasi

Kurang lebih dua minggu yang lalu --- malam itu seperti kebiasaan ngopi digubuk sambil meramu racikan sisa makanan untuk vitamin Jalu, Jely, dan Kely (nama dombaku). Dengan santai mendengarkan alunan musik jawa. Kebetulan musik yang saya dengarkan saat itu musik jawa versi piano, karena berputar sesuai algoritma sesudah musik yang judulnya Sang Guru masuk ke playlist otomatis. Kebetulan lagunya Manthous yang berjudul Nyidam Sari

Umpomo sliramu sekar melati,

aku kumbang nyidam sari.

Umpomo sliramu margi wong manis,

aku kang bakal ngliwati.

Seneksen lintange luku,

semono janji prasetyaning ati.

Tansah kumanthil ing netro rinoso,

kroso rasaning ndriyo.

Mibero sak jagad royo,

kalingono wukir lan samudro.

Ora ilang memanise,

aduuh, dadi ati sak lawase

Nalika niro ing wengi,

atiku lamlamen marang sliramu.

Nganti mati takkan biso lali,

lha kae lintange mluku

Lagi-lagi ingatanku dalam lagunya fokus pada Lintang Luku lengkapnya Lintang Waluku. Kemudian saya semakin penasaran dan terus mencari tentang Lintang Waluku. Sebenarnya siapa itu Lintang Waluku. Apakah ia wanita cantik bak bidadari. Kalupun iya akan kukenalkan kepada teman-temanku yang masih jomblo siapa tahu berjodoh.

***** 

Pernah nggak sih kamu menatap langit malam dan melihat bintang-bintang membentuk pola? Nah, di antara sekian banyak rasi bintang yang ada, orang Jawa punya satu yang cukup spesial: Lintang Waluku. Namanya terdengar unik, ya. Tapi kalau kamu berasal dari keluarga petani atau tinggal di desa-desa Jawa, bisa jadi kamu pernah dengar nama ini disebut-sebut waktu musim tanam tiba.

Di balik namanya yang nyentrik, Lintang Waluku bukan cuma rasi bintang biasa. Ia jadi penanda musim bagi masyarakat Jawa zaman dulu, yang hidup sangat selaras dengan alam. Bahkan, pranata mangsa—sistem penanggalan khas Jawa untuk bercocok tanam—sangat bergantung pada kemunculan bintang ini.

Yuk, kita ngobrol bareng soal Lintang Waluku ini. Siapa tahu setelah baca, kamu jadi pengen lihat langit malam dan nyari si bintang bajak ini!

Apa Itu Lintang Waluku?

Secara astronomis, Lintang Waluku adalah rasi bintang Orion, yang juga dikenal secara internasional. Tapi dalam budaya Jawa, Orion dikenal sebagai "Waluku", karena bentuknya yang menyerupai waluku atau bajak tradisional petani. Bayangin bajak sawah yang ditarik sapi, bentuknya melengkung dan punya bagian menyerupai tongkat yang diarahkan ke tanah—nah, seperti itulah Lintang Waluku kalau dilihat dari langit malam.

Orang Jawa nggak cuma lihat bentuknya, tapi juga menaruh makna dalam pergerakannya. Karena posisi Lintang Waluku berubah sepanjang tahun, masyarakat tradisional mengamatinya sebagai penunjuk waktu dan musim. Jadi bukan lihat kalender di dinding, tapi lihat langit malam.

Bintang yang Bicara Tentang Musim

Zaman dulu, sebelum ada internet, aplikasi cuaca, atau berita pertanian, nenek moyang kita mengandalkan langit sebagai penunjuk waktu. Termasuk buat bertani. Dan di sinilah Lintang Waluku berperan.

Ketika Lintang Waluku mulai tampak di langit timur saat subuh, itu jadi pertanda bahwa musim penghujan akan segera datang. Waktunya petani mulai menyiapkan lahan, menanam padi, dan bersiap menghadapi musim tanam.

Sebaliknya, ketika Lintang Waluku menghilang dari langit malam, itu menandakan bahwa musim kemarau akan tiba. Artinya, saatnya panen dan membersihkan lahan.

Kalau kita analogikan, Lintang Waluku itu semacam “notifikasi langit” versi masyarakat agraris.

Pranata Mangsa: Kalender Tertua di Tanah Jawa

Nah, di sinilah hubungan antara Lintang Waluku dan pranata mangsa makin terasa kuat.

Pranata mangsa adalah sistem penanggalan musiman tradisional Jawa, yang dibagi dalam 12 musim (mangsa). Beda dari kalender Masehi yang berbasis peredaran matahari, atau kalender Hijriyah yang berbasis bulan, pranata mangsa berdasarkan perubahan cuaca dan posisi bintang, terutama Lintang Waluku.

Setiap mangsa punya ciri khas cuaca, perilaku hewan, arah angin, dan pola pertanian tertentu. Misalnya:

Mangsa Kapat (sekitar Oktober-November): Waktunya tanam padi, karena hujan mulai datang.

Mangsa Kanem (sekitar Januari-Februari): Saat padi mulai tumbuh subur, tapi hama juga mulai muncul.

Mangsa Kasanga (sekitar Mei): Puncak musim kemarau, saatnya panen dan menyiapkan musim tanam berikutnya.

Pengetahuan ini diwariskan turun-temurun, bahkan masih digunakan sampai sekarang di beberapa daerah yang pertaniannya masih tradisional.

Lintang Waluku: GPS Langit Ala Petani Jawa

Di era sekarang, kita mengandalkan Google Maps buat nyari arah. Tapi orang Jawa zaman dulu punya “GPS” mereka sendiri di langit. Bintang-bintang, termasuk Lintang Waluku, jadi penunjuk arah dan waktu.

Bahkan, ada ungkapan dalam masyarakat Jawa:

“Nalika Waluku katon ing wetan, tandhane udan bakal rawuh.”

Artinya: ketika Lintang Waluku terlihat di timur, itu tanda hujan akan datang.

Bayangkan betapa cermatnya pengamatan orang Jawa zaman dulu terhadap langit. Mereka tahu kapan musim tanam terbaik, kapan waktu panen, bahkan kapan harus mulai menyimpan hasil bumi.

Dan semua itu cukup dengan melihat bintang.

Kenapa Disebut “Waluku”?

Satu hal yang menarik adalah penamaan rasi bintang ini. Dalam budaya lain, seperti Yunani Kuno, rasi Orion adalah sosok pemburu. Tapi orang Jawa justru melihat alat pertanian. Ini menunjukkan bahwa budaya kita sangat terikat dengan dunia agraris.

Waluku sendiri adalah bajak tradisional dari kayu yang digunakan untuk membalik tanah sebelum ditanami. Bentuknya melengkung, agak mirip dengan susunan tiga bintang sejajar di Orion’s Belt (dalam astronomi), plus dua bintang terang di sisi atas dan bawahnya.

Mungkin, buat kita sekarang yang lebih sering main HP daripada cangkul, agak sulit membayangkan bentuknya. Tapi kalau kamu lihat gambar rasi Orion dan perhatikan bentuk waluku, mirip banget!

Lintang Lain dalam Pranata Mangsa

Selain Lintang Waluku, sebenarnya masyarakat Jawa juga mengenal beberapa lintang lain dalam pranata mangsa, seperti:

Lintang Kidang (rasi Capricornus): pertanda musim tanam palawija.

Lintang Kartika (rasi Pleiades): munculnya pertanda musim penghujan mulai merata.

Lintang Gubug Penceng (rasi Crux/Southern Cross): digunakan untuk menentukan arah selatan.

Tapi, tetap saja, Lintang Waluku punya posisi paling penting karena berhubungan langsung dengan musim padi—komoditas utama pertanian Jawa.

Relevansinya di Zaman Sekarang

Mungkin kamu bertanya, “Emangnya masih relevan ya lihat bintang buat bertani?” Jawabannya: iya dan tidak.

Di satu sisi, kita sekarang sudah punya teknologi canggih—dari prakiraan cuaca satelit sampai drone pertanian. Tapi di sisi lain, kearifan lokal seperti pranata mangsa tetap penting, terutama buat petani yang masih mengandalkan alam secara langsung.

Bahkan, beberapa peneliti dan komunitas agrikultur organik mulai kembali ke sistem pranata mangsa untuk menentukan siklus tanam yang lebih alami dan berkelanjutan. Ini karena kalender konvensional kadang nggak bisa menyesuaikan dengan mikroklimat lokal—sementara pranata mangsa lebih akurat secara kontekstual.

Menjaga Warisan Langit

Saat ini, pengetahuan tentang Lintang Waluku dan pranata mangsa mulai jarang dikenal generasi muda. Sayang banget, ya. Padahal ini warisan budaya sekaligus ilmu alam yang terbukti akurat selama ratusan tahun.

Beberapa komunitas budaya, pesantren ekologi, dan kelompok tani di Jawa mulai menghidupkan lagi pengetahuan ini—mengajarkan cara membaca langit, mencatat musim berdasarkan perubahan angin, dan menggabungkannya dengan pertanian modern.

Kamu juga bisa mulai ikut melestarikan. Coba sesekali lihat langit malam, cari Lintang Waluku, dan bayangkan bagaimana nenek moyang kita mengandalkannya untuk hidup. Siapa tahu, itu jadi langkah awal kamu belajar sesuatu yang sangat berharga.

Dari Langit ke Sawah

Lintang Waluku bukan sekadar bintang di langit. Ia adalah simbol pengetahuan, ketekunan, dan harmoni antara manusia dan alam. Dalam budaya Jawa, melihat langit berarti membaca waktu, musim, dan kehidupan. Dari sana, kita belajar bahwa teknologi tak harus berupa mesin—kadang, cukup dengan menatap langit malam dan mendengarkan cerita dari para leluhur.

Jadi, lain kali kamu lihat langit dan menemukan tiga bintang sejajar yang terang, ingatlah: itu bukan sekadar Orion. Itu adalah Waluku—bajak sawah langit yang pernah (dan masih bisa) membimbing kehidupan manusia di bumi.