Sabtu, 14 Agustus 2021

GABUT IV; Nang Ning Nung Neng Gung

 


"Luwih becik nuthuk saron tinimbang nuthuk ndasmu” kata-kata ini bagi yang aktif ikut pengajinnya KH. Emha Ainun Najid atau yang lebih dikenal dengan nama Cak Nun tentu sudah tidak asing di telinga. Kata-kata ini kembali mencuat setelah ada salah satu mantan pemain musik di salah satu band menyatakan bahwa musik haram. Bagi saya musik sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Ulama telah membahasnya dan memang sudah menjadi iktilaf di kalangan para ulama. Tinggal kita mempatkan posisi musik dimana dan bagaimana.

Dalam kegabutan saya sendiri juga sangat menikmati musik. Apalagi musik-musik yang mempunyai nilai-nilai kehidupan. Seperti halnya saat membuat coretan ini. Ditemani dengan secangkir kopi, menambah suasana syahdu. Berbicara tentang musik jadi teringat dengan Sunan Bonang. Sunan Bonang adalah salah satu Wali Songo yang dikenal berjasa besar dalam penyebaran Agama Islam di Nusantara. Dalam banyak cerita dan beberapa buku, Sunan Bonang dikenal sebagai seorang yang mahir dan menguasai banyak ilmu, seperti fikih, tasawuf, ushuludin, arsitektur, sastra, seni, dan berbagai ilmu kesaktian, serta kedigdayaan.

Dalam banyak hal Sunan Bonang memiliki sistem pendekatan melalui kesenian dan budaya yang ternyata juga ditiru oleh muridnya, yakni Sunan Kalijaga. Sunan Bonang paham betul mengenai kesusastraan Jawa, terutama tembang-tembang jenis macapat, yang kemudian ia gunakan sebagai media dakwah. Selain tembang, Sunan Bonang bisa dibilang peletak dasar gamelan yang kekinian pada masa itu.

Gamelan adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Musik yang tercipta pada Gamelan Jawa berasal dari paduan bunyi gong, kenong, dan alat musik Jawa lainnya. Irama musik umumnya lembut dan mencerminkan keselarasan hidup, sebagaimana prinsip hidup yang dianut pada umumnya oleh masyarakat Jawa.

Kalau kita lihat secara detail tentu kita akan menemukan salah satu bagian dari gamelan yang bernama Bonang. Mungkin karena Sunan Bonang adalah sang maestro musik jawa pada zamannya sehingga ada alat musik yang diberi nama sesuai dengan identitas "Bonang"

Gamelan Jawa ada dinamakan Kempul atau Kenong, Bonang dan Gong yang menimbulkan bunyi; nang ning nung neng gung. Suara dalam gamelan tidak hanya menjadi suara yang menjadi indah nan lembut tetapi menjadi prilaku dan falsafah hidup dalam mencari Tuhan Sejati. Dalam suara gamelan ada sebuah laku untuk menuju dan menyatu makhluk dengan Rabb-nya. Kemudian laku itu dikiaskan dalam bunyi atau suara nang, nang ning nung neng gung.

Yang pertama Nang, artinya weNANG atau tenang. Nang mengajarkan seseorang berusaha untuk sadar diri dengan rutin melakukan tirakat. Yang kedua Ning artinya weNING atau hening. Dalam hal ini manusia berusaha mengheningkan. Kemudian manusia lebih banyak mengamati daripada bebicara. Yang ketiga Nung artinya keNUNGan. Ketika manusia bisa melakukan nang dan ning makan akan menjadi Nung, atau punya rasa empati yang tinggi. Dampaknya manusia akan berperilaku konstruktif dan hidupnya selalu bermanfaat untuk orang banyak.

Yang keempat adalah Neng artinya heNENG. Secara bahasa heneng itu berarti ketenangan, tapi NENG tidak sama dengan NANG atau wenang atau tenang. Heneng berarti puncak dari tawakkal (berserah diri), kemerdekaan dan kebebasan diri seseorang. Jika wenang atau tenang itu berarti awal mula dan prosesnya, maka heneng di sini adalah tujuan dan hasilnya. Karena itulah ia pun berada pada tahapan setelah nang, ning dan nung, bisa dilalui oleh seseorang.  Dan bisa dikatakan pula bahwa jika sudah sampai di titik ini adalah dikenal sebutan nafsul muthmainnah (jiwa yang tenang).

Yang terakhir adalah Gung artinya aGUNG, keagungan, atau kemuliaan. Ini adalah puncak dari perjalanan. Manusia mengenal siapa dirinya. Dengan mengenal diri, maka akan mengerti siapa Tuhannya (gung). Karena itulah ia bisa hidup mulia dengan memberikan manfaat untuk seluruh makhluk dan alam semesta (rahmatan lil `alamiin). Dengan begitu ia juga bisa meraih kehidupan yang sejati, selalu merasa kecukupan, tenteram lahir batin, dan tetap menemukan keberuntungan dalam hidupnya. Dan pada tahapan inilah seseorang baru akan menemukan jawaban yang benar tentang siapakah dirinya dan siapa pula Tuhannya yang sejati.

Tak terasa kopi sudah habis dan semakin malam, Karena semakin larut malam yuk, mendengarkan nang, ning, nung, neng, gung. 


Blitar, 14 Agustus 2021