Apabila ada kesamaan nama tokoh, tempat, kejadian dan peristiwa ini memanglah disengaja.
Apa Kata Dunia?
Stasiun Bekasi 08.34 WIB
Aku dengan temanku, Rofi’i, terburu-buru turun dari angkot untuk menuju loket kereta api. “Mbak tiket ke Stasiun Pasar Senen dua?”. Setelah tak berapa lama petugas memberikan dua tiket kereta Commuter Line. “Berapa Mbak?” Tanya Rofi’i. “Tiga belas ribu mas”. Langsung aku memberikan uang lima puluh ribuan dan dengan cekatan petugas loket mengambil uang kembalianya. Setelah selesei kami langsung dengan terburu-buru menuju tempat tunggu di stasiun.
Ternyata jadwal keberangkatan kereta api Commuter Line menuju Stasiun Pasar Senen jam 09.13 WIB. Maka kamipun harus menunggu sampai kereta dating. Sebenarnya aku dan temanku mau pulang ke Blitar --- setelah beberapa hari di Bekasi--- selesei mengurusi motor yang akan dibawa pulang ke Blitar. Biasanya kereta yang kami naiki adalah Mata Remaja, karena hanya inilah satu-satunya kereta ekonomi yang menuju langsung ke Blitar. Tetapi karena loket yang menyediakan tiket Mata Remaja hanya berada di Pasar Senen, kamipun harus menju dulu Stasiun Pasar Senen.
Akupun duduk sendiri di kursi tunggu karena Rofi’i sedang mengangkat telfon dari keluarganya yang di Blitar yang menanyakan tentang kepulanganya kapan. Kini Asrofipun duduk sendirian sambil termenung? Tampak kelihatan wajahnya yang murung.
Dari belakang terdengar suara sepatu seorang tua yang mendekatiku yang duduk sendiri. “Ada apa anak muda” tanyanya. Dalam hati bertanya-tanya, suara ini orang tua ini seperti tidak asing di telingaku. Entah sia siapa aku sendiri jadi bingung.
“Lho… Lho… ditanya kok diam saja?” tanyanya lagi
“Gak ada apa-apa pak?” jawabku
“Gak ada apa-apa gimana, dilihat dari raut wajahmu kelihatan kalau kamu sedang ada masalah yang membebani pikiranmu, ada sesuatu yang kamu sembunyikan”. Akupun sekarang tak bias mengelak kalau sebenarnya memang ada sesuatu yang membebani pikiranku. Akupun menduga-duga apa benar orang tua ini orang yang biasanya kulihat hamper setiap hari itu.
Dengan pelan-pelan kumenoleh ke belakang. Sekarang kulihat sendiri bahwa sekarang memang benar dugaanku tadi bahwa orang tua ini adalah? Ah tak mungkin tapi tapi setalah kumelihat dengan jelas, bahwa itu itu memang benar-benar Om Dedi Mizwar, seorang sutradara dan pemain film dan film-filmnya selalu bertemakan dari realita sosial yang ada dalam film-film karyanya.
“Mengapa kau anak muda wajahmu kok sedih seperti itu, ada ada masalah? Tanyanya
Sekarang akupun menjawab hanya mengangguk. Akupun tahu kalau aku jawab tidak, ia pun pasti tahu kalau aku berbohong. Sebab ia seorang sutradara film yang biasa mengajari orang berakting dengan wajah sedih, susah, senang, yang menjadi wajah-wajah manusia dalam hidupnya.
Ia lanjutkan lagi pertanyaanya “Masalahmu apa? diputus pacar?” akupun menjawab mengangguk asal mengangguk.
“Namamu Asrofi, berasal dari Blitar, iya kan?” mendengar pertanyaan itu akupun kaget. Kok Om Dedi bisa tahu.
“Sudah ndak usah kaget seperti itu, aku tahu siapa kamu. Siapa yang tak tahu pemuda seperti kamu, semua orang juga tahu siapa kamu” Dalam hati aku menjadi sedikit GR.
“Sekarang aku tanya lagi, mengapa kamu masih bersedih, berwajah murung? Apakah dalam organisasi pergerakanmu kader-kader mendapat didikan seperti itu? Apakah dalam sekolahmu dulu diajari cengeng dengan setiap permasalahan?”
Sambil menghela nafas akupun menjawab hanya menggelengkan kepala.
“Makanya ayo angkat kepalamu” sahutnya. “Kalau kamu masih seperti ini berarti kamu salah orang yang terhegemoni oleh acara-acara televisi yang konyol itu. Acara-acara yang mendidik generasi mudanya menjadi generasi yang lemah dan cengeng. Kalau kamu kalah dengan semua yang terjadi, berarti kamu termasuk salah satu orang dalam gerombolan orang-orang yang terhegemoni dan tersesat” tambahnya sambil menepuk-nepuk bahuku.
Akupun berdiri dan sambil memejamkan mata menghela nafas yang panjang. Lal kubuka mataku sedikit demi sedikit.
“Lihatlah dunia ini sangat luas”. Akupun hanya menganggukan kepala.
“Saya kasih tahu, untuk pemuda seperti kamu haram hukumnya jika air matamu mebasahi bumi pertiwi hanya karena masalah seperti ini. Keluarkan air matamu untuk membasahi bumi pertiwi jika kamu melihat penindasan, ada saudara-saudara kita yang kelaparan, ketidakadilan, anak-negeri tidak bisa memperoleh pendidikan. Dan satu lagi teteskan air matamu saat kau tank sanggup untuk merubah tu, setelah itu mohonlah padaNya setitik kuasanya untuk memperoleh kemenangan bagi mereka yang ditindas”. Om Dedi diam sejenak setelah itu melanjutkan bicaranya, “Setelah ini kamu mau ke Stasiun Pasar Senenkan?”
Lagi-lagi akupun hanya menjawab dengan mengangguk.
“Lihatlah nanti sebelum sampai di Stasiun Pasar Senen kamu akan melihat dipinggiran rel-rel kereta, kamu akan lihat rumah-rumah kardus milik rakyat ini, banyak anak gelandangan. Pemerintah yang seharusnya bertanggng jawab dengan kondisi mereka malah lebih suka membangun kebun binatang yang megah daripada membantu mereka mencari tempat yang lebih layak untuk mereka. Kalau kamu seperti ini terus-terusan mau berharap pada siapa lagi mereka. Mereka sangat berharap para generasi muda lebih progresif dalam memperjuangkan nasib mereka”.
Akupun hanya berdiri terdiam sambil menunduk.
“Yakinlah masalah ini akan membuatmu jauh lebih dewasa dari sebelumnya. Jika pemuda seperti kamu trus-terusan begini, tidak hanya peradaban yang ikut bersedih tapi para malaikatpun jga akan bersedih karena akan kehilangan harapanya untuk msa depan semua bangsa yang lebih baik” tambah Om Dedi.
Akupun langsung tersentak dengan sindiran Om Dedi Mizwar.
“Sekarang angkat kepalamu dan tersenyumlah pada dunia” perintahnya.
Akupun membuka mataku dan mulai tersenyum.
“Nah itu baru Asrofi yang aku tahu, seorang pemuda harapan bangsa”. Kamipun tertawa bersama-sama dan Om Dedipun memelukku sambil membisikan sesuatu, “Kalau kamu menyerah dengan semua permasalahan, apa kata dunia?” kamipun melanjutkan tertawa bersama-sama lagi.
*****
Stasiun Pasar Senen 10.14 WIB
“As... Asrofi jangan melamun saja, ni dah sampai Stasiun Pasar Senen, ayo turun beli tiket dulu baru nunggu kereta datang dan kita pulang” Ajak Rofi’i sambil membuyarkan lamunanku dan akupun kaget.
Jakarta, 21 Agustus 2011