Kamis, 05 Januari 2012

Mengenang Sosok Guru Bangsa --- Gus Dur


Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya apa agamamu
Gus Dur --- (Di ungkap kembali oleh Hermawi Taslim)

Boleh dikata tidak ada ranah ilmu humaniora atau ilmu-ilmu sosial yang tidak merasakan pengaruh pemikiran Gus Dur. Dia adalah bapak pluralisme baik dari segi kedalaman maupun keluasan pemikirannya.

Sumbangsih Gus Dur bagi filsafat dan psikologi, ilmu politik dan sosiologi, sejarah dan teori sosial tidak hanya istimewa dari cakupannya, namun juga karena kesatuan perspektif yang dipengaruhinya. Kesatuan ini berasal dari visi Gus Dur tentang manusia, sejarah dan masa depan yang berakar pada tradisi muslim Jawa yang dianutnya.

Dalam budaya masyarakat kita yang cenderung analitik dan melihat sesuatu berdasarkan empiris, di sini pemikiran seorang Gus Dur selalu “berseberangan”. Bahkan, di lain waktu dianggap nyeleneh. Namun secara inheren antara nalar kritik yang dimilikinya dengan perhitungan melihat ke depan bisa dianggap sebagai pemikiran genius.

Fenomenologi orang seperti Gus Dur ini jarang sekali dimiliki oleh anak bangsa sekarang. Ketika kita mencoba menjawab sanggahan pikiran nyelenehnya, kita hanya mampu berdiri pada sejengkal pemikiran yang kadang-kadang bisa berisiko memperkeruh persoalan, bahkan bisa memancing polemik baru.

Perbedaan pendapat akibat perbedaan pengalaman, perbedaan intelektualitas, perbedaan situasi sosial, mengakibatkan pemikiran orang banyak selalu berbenturan dengan pemikiran-pemikirannya.

Kalau begitu, tetap masuk akal kalau kita menyatakan bahwa klaim kebenaran dapat dijunjung tinggi ketika kita memperbaikinya dengan argumentasi. Argumentasi bahwa yang salah itu salah dan harus ditinggalkan dan yang benar itu benar dan harus dipertahankan. Tetapi pada nyatanya hal-hal yang bersifat kebenaran dari hasil argumen tidak akan bisa bertahan di antara nafsu-nafsu yang bersifat subjektif semata.

Khusus persoalan bangsa ini setelah sepeninggalnya --- yang jadi pertanyaan adalah --- adakah sosok yang mampu mewarisi kemumpunian intelektual seorang Gus Dur terhadap pembelaan pluralisme, toleransi, dan berbagai persoalan sosial.

Setting Sosio-Historis

Ia lahir dengan nama Abdurrahman Ad-Dakhil. "Ad-Dakhil" berarti "Sang Penakluk". Kata Ad-Dakhil tidak cukup dikenal dan diganti nama Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati abang atau mas.

Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau dikenal sebagai Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 7 September 1940. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.

Gus Dur sempat kuliah di Universitas Al Azhar di Kairo-Mesir (tidak selesai) selama 2 tahun dan melanjutkan studinya di Universitas Baghdad-Irak. Selesai masa studinya, Gus Dur pun pulang ke Indonesia dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971. Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai kaum ‘cendekiawan’ muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat. Pada masa yang sama, Gus Dur terpanggil untuk berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Hal ini dilakukan demi menjaga agar nilai-nilai tradisional pesantren tidak tergerus, pada saat yang sama mengembangkan pesantren. Hal ini disebabkan pada saat itu, pesantren berusaha mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah.

Pada sisi pemikiran, sejak terpilih sebagai Ketua Umum Tanfidhiyyah PBNU pada tahun 1984, Gus Dur telah menjadi salah seorang intelektual muslim Indonesia yang sangat berpengaruh dan diperhitungkan. Hal ini bukan saja didukung oleh posisinya di NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, melainkan juga karena percikan-percikan pemikirannya yang progresif tentang Islam, pluralisme, Pancasila, dan demokrasi. Douglas E Ramage, Greg Barton, Adam Schwarz, Mitsuo Nakamura, dan Einar M. Sitompul, secara umum—meskipun tersirat—sepakat menyebutnya sebagai salah seorang intelektual Indonesia yang paling berpengaruh dalam diskursus pemikiran Islam kontemporer dengan corak pemikiran Islam yang kritis dan progresif. Dalam penjelasan mereka, Gus Dur pada satu sisi dipandang dan dikenal banyak orang sebagai figur genius dan karismatik setingkat wali, namun pada sisi lain, ia ditafsirkan oleh banyak orang, khususnya kelas menengah terdidik Indonesia, sebagai politisi yang sekular atau sebagai intelektual liberal. Kedua posisi inilah yang, dalam perjalanan sosial Gus Dur, menjadi kekuatan sekaligus juga sasaran kritik dari banyak kalangan Islam sendiri.

"Kontroversial" dan kenylenehan" menjadi fokus, karena titik-titik inilah yang telah banyak dijelaskan para ahli pada bidangnya, yakni oleh agamawan, budayawan, politikus, politisi, feminis, ekonom, dan ahli tasawuf. Pencatatan ini penting dilakukan, setidak-tidaknya, sebagai pintu masuk (entry point) kita dalam memahami Gus Dur melalui pendekatan antropologis.

Disadari, memang tidak mudah merumuskan pokok-pokok pemikiran Gus Dur. Karena pemikirannya tersebar ke berbagai media massa dan ditulis dalam waktu yang berlainan secara singkat-singkat, jika tidak hanya berupa lontaran-lontaran gagasan belaka. Kesulitan demikian diakui sendiri oleh Gus Dur ketika memulai kata pengantarnya untuk dua buah buku bunga rampainya, Bunga Rampai Pesantren (1978) dan Muslim di Tengah Pergumulan (1983). Dia menyadari bahwa betapa sukarnya untuk mengumpulkan tulisan-tulisannya itu ke dalam sebuah tema atau susunan yang utuh, bukan saja bagi pembaca tapi juga bagi dirinya sendiri.

Kata Barton, peneliti tulisan-tulisan Gus Dur dari Australia, pengakuan Gus Dur tersebut merupakan ekspresi dari kenyataan yang ada, bahwa kedua bukunya itu memuat sejumlah artikel yang ditulis untuk maksud serta audiens yang berbeda. Meski begitu, tidak berarti bahwa pemikiran-pemikiran Gus Dur tak memiliki tema pokok yang dapat memayunginya sebagai sebuah tawaran pemikiran alternatif. Tulisan-tulisan yang berjumlah lebih dari 500 buah itu jika dilakukan klasifikasi dan reformulasi secukupnya kiranya bisa membuahkan satu bangunan pemikiran yang relatif utuh. Karena itu, seperti dikatakan Barton, pengakuan yang disampaikan Gus Dur secara terang-terangan itu sebenarnya hanyalah ungkapan halus dari sikap rendah hatinya kepada para pembaca. Buktinya, secara konsisten, Gus Dur tetap berada pada mainstream paradigma pemikiran makronya, meski dengan gaya zig-zag dalam implementasi partikularnya. Ingin dikatakan, bahwa gaya zig-zag inilah yang sering disalahpahami dan menjadi sasaran kontroversi di tingkat publik.

Sketsa Pemikiran Gus Dur

Dari studi bibliografis, ternyata ditemukan ada 493 buah tulisan Gus Dur sejak awal 1970-an hingga awal tahun 2000. Hingga akhir hayatnya (2009) bisa jadi telah lebih dari 600 buah tulisan Gus Dur. Karya intelektual yang ditulis selama lebih dari dua dasa warsa itu kami klasifikasikan ke dalam delapan bentuk tulisan, yakni tulisan dalam bentuk buku, terjemahan, kata pengantar buku, epilog buku, antologi buku, artikel, kolom, dan makalah. Rincian jumlah dari setiap klasifikasi tersebut sebagai berikut:

Jumlah Tulisan Gus Dur dengan Berbagai Bentuknya Tahun 1970-an hingga Tahun 2000)

No.
Bentuk Tulisan
Jumlah
Keterangan

1.
Buku
12 buku
Terdapat pengulangan tulisan

2.
Buku Terjemahan
1 buku
Bersama Hasyim Wahid

3.
Kata Pengantar Buku
20 buku
-

4.
Epilog Buku
1 buku
-

5.
Artikel
41 buku
-

6.
Antologi Buku
263 buku
Di berbagai majalah, surat kabar, jurnal, dan media masa

7.
Kolom
105 buku
Di berbagai majalah

8.
Makalah
50 buku
Sebagian besar tidak dipublikasikan


Jumlah: 493 buku


Dari data di atas jelaslah bahwa Gus Dur tidak sekadar membuat pernyataan dan melakukan aksi-aksi sosial politik, kebudayaan, dan pemberdayaan civil society belaka, melainkan juga merefleksikannya ke dalam tulisan, baik dalam bentuk artikel, kolom, makalah, maupun kata pengantar buku, yang sebagian tulisan tersebut belakangan diterbitkan dalam bentuk buku. Hanya saja, karena buku-buku yang diterbitkan itu dalam bentuk bunga rampai, tanpa ada rekonstruksi dari Gus Dur sendiri, maka kesan ketidakutuhan bangunan pemikiran menjadi tidak bisa dihindari. Tetapi itulah barangkali cermin dari latar intelektual Gus Dur yang bukan dari tradisi akademik "sekolah modern" di mana setiap tulisan mesti terikat dengan suatu metodologi dan referensi formal.

Gus Dur adalah seorang intelektual bebas (independen), atau mungkin —meminjam istilah Antonio Gramsci— "intelektual organik" dari tradisi akademik pesantren, sehingga tulisan-tulisannya cenderung bersifat reflektif, membumi, terkait dengan dunia penghayatan realitas, bahkan senantiasa bermotifkan transformatif. Referensi formal akademis dan pengikatan diri terhadap satu metodologi tidaklah menjadi penting, sepenting substansi yang disampaikannya.

Sejumlah karya tulis ini membuktikan intelektualisme Gus Dur yang kaya dengan gagasan dan pemikiran yang kreatif-transformatif dan inovatif. Tulisan-tulisan ini juga mungkin suatu bukti bahwa gerakan atau aksi Gus Dur tidak hampa teori atau tidak tanpa visi, yang suatu waktu bisa terjerumus pada oportunisme dan pragmatisme politik. Ketajamannya membaca realitas dan kekritisannya mengambil keputusan bisa dilihat dari kecenderungan tulisan-tulisan tersebut.

Sebanding dengan waktu dan kepentingan tulisan-tulisan tersebut dibuat, tema pembicaraan atau wacana yang dikembangkannya pun sangat beragam dan kompleks: mengenai apa saja. Mulai dari wacana fikih praktis di pesantren hingga wacana global "rekayasa masa depan" disinggung oleh Gus Dur. Jenis tulisannya pun beragam. Mulai dari bentuk tulisan yang serius-akademis hingga tulisan ringan-populer, semuanya dilakukan Gus Dur. Namun begitu, untuk kepentingan pemahaman makro pemikiran Gus Dur, secara simplifikasi tulisan-tulisan tersebut saya kelompokkan ke dalam tujuh tema pokok.

Ketujuh tema pokok ini juga menandai gagasan besar yang menjadi perhatian Gus Dur selama ini, baik melalui tulisannya maupun visi gerakannya. Tujuh hal yang dimaksud adalah:


1. Pandangan-dunia pesantren,
2. Pribumisasi Islam,
3. Keharusan demokrasi,
4. Finalitas negara-bangsa Pancasila,
5. Pluralisme agama,
6. Humanitarianisme universal, dan
7. Antropologi kiai.

Ketujuh tema pokok ini secara umum menjelaskan keluasan wawasan dan besarnya perhatian Gus Dur terhadap tema-tema kontemporer yang menjadi isu global abad XX, yakni demokrasi, HAM, lingkungan hidup, dan gender. Tema-tema pokok inilah barangkali yang melandasi seluruh gerakan Gus Dur selama ini, baik dalam wilayah keagamaan, politik, kebudayaan, maupun ekonomi. Semua tema tersebut, dalam banyak tulisan, dibidik Gus Dur dari pemahaman keagamaan (Islam) melalui kekayaan intelektual dan kebudayaan pesantren. Ini tidak lain karena pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren yang sangat akrab dengan budaya lokal. Lembaga inilah yang membentuk karakter keberagamaan Gus Dur. Sementara pengembaraannya di Timur Tengah dan di Barat telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai isu-isu mondial yang membuat Gus Dur harus berpikir kosmopolit dan progresif.

Hal-Hal Positif dari Gus Dur

Mantan Ketua DPP PKB, Hermawi Taslim yang selama 10 tahun terakhir turut bersama Gus Dur dalam segala aktivitasnya mengungkapkan tiga prinsip dalam hidup Gus Dur yang selalu ia sampaikan kepada orang-orang terdekatnya.
Pertama: Akan selalu berpihak pada yang lemah.
Kedua: Anti-diskriminasi dalam bentuk apa pun.
Ketiga: Tidak pernah membenci orang, sekalipun disakiti.
Gus Dur merupakan salah tokoh bangsa yang berjuang paling depan melawan radikalisme agama. Ketika radikalisme agama sedang kencang-kencangnya bertiup, Gus Dur menantangnya dengan berani. Dia bahkan mempersiapkan pasukan sendiri bila harus berhadapan melawan kekerasan yang dipicu agama. Gus Dur menentang semua kekerasan yang mengatasnamakan agama. Dia juga pejuang yang tidak mengenal hambatan.

Gus Dur dalam pemerintahannya telah menghapus praktik diskriminasi di Indonesia. Tak berlebihan kiranya bila negara dan rakyat Indonesia memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas darma dan baktinya. Layaknya kiranya Gus Dur mendapat penghargaan sebagai Bapak Pluralisme dan Demokratisasi di Indonesia.

Selamat Jalan Guru Bangsa --- Gus Dur

Gus Dur wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, terutama gangguan ginjal, yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur. Gus Dur di makamkan di Jombang Jawa Timur.

Selamat jalan Gus Dur. Terima kasih atas pengabdian dan sumbangsihnya bagi rakyat dan bangsa ini. Jasa-jasamu dalam perjuangan Demokrasi dan Solidaritas antar umat beragama di Indonesia tidak akan kami lupakan. Semoga amal-jasa-ibadahnya mendapat tempat yang ‘agung’.

Blitar, 30 Desember 2011