Alkisah, sebuah pesantren kecil di daerah Tegalrejo sedang mengadakan pemilihan lurah pondok yang baru karena lurah pondok yang lama telah pulang kampung. Pemilihan lurah ini memang tergolong unik, sebab bukan dengan cara aklamasi atau voting, atau penunjukan langsung dari sang kiai. Akan tetapi, dimulai dari sebuah teka-teki yang diajukan sang kiai. Cara pemilihan lurah pondok semacam ini telah berlangsung dari generasi ke generasi semenjak pondok itu berdiri.
“Aku akan mengajukan sebuah masalah kepada kalian,” sang kiai memulai, “Dan orang pertama memecahkan masalah itulah yang akan menjadi lurah pondok yang baru.” Sang kiai meletakkan sebuah meja kecil di tengah-tengah aula. Di atasnya telah tergeletak sebuah sorban warna hitam bergaris putih memanjang dan membentuk gambar lingkaran dunia.
“Sorban adalah lambang keindahan yang kerap dipakai oleh para kiai. Lambang kehormatan, juga melambangkan ketulusan dalam beribadah. Lambang ketekunan dalam thalabul ilmi. Juga lambang ketaatan kepada guru. Apa rahasia terdalam dari semua lambang ini?”.
Semua santri mulai berpikir untuk memecahkan teka-teki tersebut. Jawaban atas pertanyaan itu tak ada dalam lembaran kitab kuning. Dan, sepanjang sejarahnya, sang kiai memang tidak pernah mengajukan pertanyaan yang normatif.
Beberapa santri telah memberikan jawaban. Akan tetapi, tak satu pun dari jawaban mereka yang dinilai benar. Sang kiai memberi batas waktu tiga hari. Anehnya, selama batas waktu itu semua santri diwajibkan puasa.
Hari ketiga tiba, dan maghrib menjelang. Para santri berkumpul di aula. Wajah mereka menyimpan rasa lelah, keputus asaan, dan kekhawatiran yang mendalam. Jika pada hari terakhir ini tak kunjung ada jawaban maka sang kiai mewajibkan mereka untuk mandi tobat di sungai terdekat tepat pada pukul 12 malam, dan hari berikutnya sang kiai akan memberi teka-teki baru dengan aturan yang sama.
Akan tetapi, beberapa saat sebelum bedug maghrib bertalu, seorang santri berumur belasan tahun maju ke tengah aula. Ia menyambar sorban itu. Di pandanginya sesaat dan menimang-nimangnya. Ia pegang pucuknya yang cuma sebatas dada dan menggelambirkannya hingga menyentuh lantai aula. Semua santri termangu heran. Tapi sang kiai memperhatikan dengan seksama dan menunggu apa yang akan diperbuat santrinya itu.
Tiba-tiba santri itu mengeluarkan korek api dari saku baju kokonya. Sejurus kemudian, sebatang korek api sudah menyala, lalu tanpa menunggu adegan basa-basi lainnya, ia menyulut sorban itu hingga lantak. Semua santri berdiri dan berdengung ribut sendiri. Sang kiai terpana. Seolah di sekujur tubuhnya berdesiran hawa gaib yang menerbangkan pikirannya.
Kemudian santri itu membuka mulut, “Selama tiga hari ini aku telah berpikir keras. Demi kehormatan tradisi pemilihan lurah ini. Teka-teki sungguh membuat saya merasa benar-benar kosong. Bagi saya, teka-teki ini adalah sebuah masalah, dan masalah harus segera diselesaikan. Setelah dipikirkan mtang-matang, kita tidak bisa menunggu terlalu lama untuk sebuah perubahan. Perubahan harus bergerak cepat sebab waktu senantiasa melenakan diri kita dalam kubangan kemalasan. Dan, orang yang malas akan menjadi bantalnya setan. Pak kiai, maafkan saya, sorban kesayangan panjenengan ku bakar. Inilah wujud ijtihad saya. Jika ijtihad saya salah, saya bersedia di hukum”
“Kualah. Kaulah yang jadi lurah baru di pondok ini,” jawab sang kiai.
Cerita ini pernah diceritakan secara lisan oleh Mbah Sualiaman (pengakuanya) kepada Fahrudin Nasrullah. Dan kemudian oleh beliau ditulis dan diterbitkan dalam buku yang berjudul “Syekh Branjang Abang”. Yang diterbitkan oleh Pustaka Pesantren, 2007.