Jumat, 06 Agustus 2010

Demi Harga Diri


Masih teringat dengan jelas dikepalaku peristiwa tiga belas hari yang lalu. Mungkin saat itu saya sedang berada pada detik-detik yang menegangkan. Entah ini senang atau keresahan. Bahagia karena studi selama empat tahun menjadi mahasiswa akan purna, resah karena bingung setelah ini mau apa? Tetapi yang paling dominan adalah keresahan, kegalauan, dan juga kegundahan.

Peristiwa itu adalah ujian skripsi. Detik-detik ini mungkin bagi semua orang yang mengalami rata-rata menegangkan. Tapi bagiku… ah biasa saja. Tak ada rasa tegang sedikitpun. Tapi malah keresahan yang kurasakan.

Yang kutahu skripsi adalah tugas akhir selama menjadi mahasiswa untuk menyeleseikan studinya. Tugas ini hasil penelitian dalam bentuk karya tulis ilmiah. Sebelum seseorang status sosialnya naik menjadi sarjana pasti melewati yang namanya skripsi. Dan yang paling menegangkan adalah waktu ujianya.

Kampus adalah tempat yang sangat sakral yang semakin elit. Karena biayanya makin lama juga ikut-ikutan elit. Mahasiswa pun juga ikut-ikutan elitis. Lalu apa yang tidak elit? (kagaknyambung.com)

Ujian skripsi merupakan pembuktian studinya selama empat tahun karena pada waktu inilah hendaknya mahasiswa bisa memunculkan gagasan-gagasan baru terhadap segala sesuatu yang ada di masyarakat. Tapi sayang tidak semua memunculkan gagasan-gagasan cerdasnya. Tapi berharap saja jika semua sudah naik status sosialnya menjadi sarjana semua bisa mempertanggung jawabkan status sosial yang disandang.

Ketika status sosial sudah naik alias sudah wisuda apa yang akan dilakukan? Mungkin keresahanku sama denagn semua orang ketika status sosialnya sudah naik apa yang akan saya lakukan? Terang saja, mencari pekerjaan sangat sulit, apalagi jaman sekarang. Ketika sudah menyandang gelar sarjana status mahasiswa yang profesinya adalah belajar sudah gugur. Dan di masyarakat status sarjana adalah status yang wach….! Masyarakat Indonesia dalam mindsetnya ketika seseorang belajar dalam perguruan tinggi setelah lulus ia akan mendapatkan pekerjaan yang layak dan mendapat materi yang banyak. Bahkan biasanya akan berkata buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau nantinya tetap sama jadi tukang ngaret. Hal ini bisa dimaklumi karena memang mindset yang tertanam di masa orde baru semua pembangunan diarahkan kepada hal-hal yang bersifat materi. Termasuk juga dalam dunia pendidikan. Dan hal ini didukung dengan orang-orang yang sekolah di era tahun 60-an banyak yang ke kota dan ketika pulang ke kampung saat mudik lebaran membawa mobil-mobil mewah serta cerita-cerita kesuksesan di kota. Mulai saat itu mindset masyarakat Indonesia tujuan sekolah adalah untuk memperoleh materi sebanyak-banyaknya kelak dikemudian hari.

Inilah yang menjadi keresahanku…! Sebentar lagi status mahasiswa akan berganti. Tapi saya sendiri bingung mau ngapain? Kalau sudah begini jadi teringat juga peristiwa dua tahun lalu ketika di desaku ada pembuatan KTP (Kartu Tanda Penduduk) massal. Semua warga desa dapat formulir untuk diisi sebagai persyaratan membuat KTP. Mulai dari nama, tempat dan tanggal lahir, alamat lengkap, golongan darah bahkan juga tak luput tentang status pernikahan. Tapi ada satu baris yang di situ saya menulis dengan yakin betul dan PD (percaya diri) yaitu pada baris pekerjaan. Karena pada saat itu saya masih menjadi mahasiswa. Maka sayapun dengan semangat menulis mahasiswa. Walapun saya sendiri juga bingung mahasiswa ini profesi atau bukan, karena yang namanya pekerjaan pasti berkaitan dengan profesi.

Masyarakat juga banyak yang tahu. Mahasiswa adalah orang-orang terpelajar yang selalu membuat perubahan. Walapun kenyataanya mahasiswa sekarang menjadi lebih hedonis, pragmatis, juga elitis. Kalau ada pembuatan KTP lagi apa yang yang harus saya tulis dalam baris pekerjaan? Kalaupun saya menulis mahasiswa, saya sudah bukan mahasiswa lagi tetapi sarjana. Kalaupun saya menulis sarjana, sarjana bukanlah pekerjaan tetapi gelar status sosial.

Jadi teringat tulisanya seorang kolumnis Indonesia, Mahbub Djunaidi. Seorang aktivis di era 60-an yang juga merupakan Ketua Umum nasional pertama kali organisasi dibawah naungan NU. Organisasi ini adalah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia biasanya lebih familiar di telinga kita dengan sebutan PMII. Tulisanya ini terbit di KOMPAS 17 juli 1988. Kebetulan tanggal dan bulanya sama saat saya menulis tulisan ini dan tulisanya mempersoalkan hal yang sama.

Tiap KTP punya baris “pekerjaan” yang mesti diisi. Seorang Dirjen, Manager, akan dengan mantab dan yakin betul menulisnya. Karena semua orang mafhum makhluk apa Dirjen dan juga Manajer itu. Seorang Broker, Makelar baik itu itu makelar kasus atau juga makelar barang dan jasa, Koruptor, sekarang tidak bingung lagi dan merasa risih mencantumkan profesinya dalam baris “pekerjaan” dalam KTP. Karena profesi ini sudah sah dan jadi profesi penunjang pembangunan bangsa ini seperti Komisioner. Lalu sekarang apa yang harus diisi oleh seorang pengangguran yang banyak sekali jumlahnya di negeri ini? Tidak menuntut kemungkinan salah satu dari jutaan orang itu saya sendiri. Demi harga diri dan tidak dicurigai mustahil seorang penganggur akan mengisi baris “pekerjaan” dalam KTP dengan yakin betul dan apa adanya. Karena jenis pekerjaan harus tercantum, maka apa yang meski ditulis penganguran yang tidak punya pekerjaan?

Dan yang saya ketahui kebanyakan orang-orang yang bernasib seperti ini akan menuliskan “swasta” atau “wiraswasta”. Saya berani bertaruh tidak ada KTP dan KK yang yang menuliskan terus terang dan apa adanya. Kalaupun ada pasti dengan petugas yang membuat KTP ataupu KK akan diganti dengan “swasta” atau “wiraswasta”. Selain demi harga diri dan tidak dicurigai mereka kurang enak dan memilih menghindar dari pengakuan pengangguran karena sungkan kepada pihak pemerintah dan takut dianggap menyindir.

Mungkin masih ada yang bingung, mengapa jujur saja kok dianggap menyindir? Bagaimana tidak seperti menyindir, semua tahu Indonesia dalam konstitusinya pasti mengenal UUD 45 yang dalam pasal 27 berbunyi “Tiap warga Negara berhak mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Bayangkan jika seorang pengangguran seperti saya nanti terus terang keberadaan saya yang sebenarnya, nanti pasti dikira menyindir. Karena seakan-akan pemerintah sudah tidak mampu menyediakan pekerjaan yang layak?

Mungkin nasib yang sama seperti anak-anak terlantar dan orang-orang miskin/ pengemis. Pasal 34 UUD berbunyi “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Tapi ketika ada anak-anak jalanan dan pengemis di jalanan kota akan diuber-uber dan dibersihkan oleh Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja). Karena keberadaan mereka yang menyindir secara terang-terangan kepada pemerintah yang dianggap tidak menjalankan perananya.

Padahal sebenarnya pemerintah bisa menjalankan perananya kepada rakyat atau tidak saya serahkan kepada pribadi masing-masing. Saya tidak akan menulisnya karena takut dianggap memprovokasi.

Berharap saja UUD itu tidak di amandemen karena memang seharusnya pemerintah yang mengikuti UUD atau UUD yang mengikuti pemerintah. Semua orang juga tahu bahwa UUD telah diamandemen sebanyak tujuh kali.

Mungkin jika KTP saya masa berlakunya sudah habis dan harus ganti yang baru, demi harga diri, dan juga agar tidak dianggap menyindir pemerintah dalam baris pekerjaan saya akan menulisnya dengan kata “swasta” atau “wiraswasta” walau itu tidak jujur dan terus terang. Walaupun juga profesi “swasta” dan juga “wiraswasta” tidak semua orang mafhum makhluk apa itu? Tapi, tak apalah demi harga diri……….


Blitar, 17 juli 2010