Minggu, 01 Agustus 2010

Pengemis

Suara adzan menggema seluruh alam jagad raya. Rasanya mata masih sulit untuk membuka. Ah....dingin selalu mengusikku untuk tidak segera bangun. Tapi pagi ini aku harus segera bangun karena seperti kebiasaan aku harus menjalankan aktivitas rutin berangkat kuliah dengan sepeda ontel warisan bapakku. Dengan PD aku selalu menyapa setiap orang yang kutemui di jalan. Karena aku orang jawa bapak dan emak selalu menasehati agar aku selalu sumeh dan blater .

Segera saja aku ke kamar mandi mengambil air wudlu dan menjalankan kewajiban sebagai hamba ciptaan Allah. Walaupun airnya dingin tak kuhiraukan. Aku tak mau kalah dengan ayam yang selalu bangun pagi yang selalu berkokok. Ayam hari ini menang melawan aku dengan bangun lebih pagi. Tapi setidaknya aku tidak kalah dengan mengambil air untuk sholat. Karena pagi ada ujian aku mandi pagi-pagi buta supaya nanti tidak berebut kamar mandi dengan adikku.

Aku berdiri di depan cermin memakai baju kesayangan kumasukkan bajuku agar kelihatan rapi. Kadang aku sendiri bingung dengan teman-teman. Aku selalu dibilang lugu dan ndeso. Karena penampilanku yang culun. Pakai kemeja model tahun 80-an dengan rambut kelimis.

Ku gayuh sepeda ontelku dengan tenaga yang baru saja ku isi dengan sepiring nasi. Tiba-tiba di jalan saat mendayuh sepeda, aku berpapasan dengan pak Karto. Pak Karto adalah guru ngajiku di mushola ”Al-Huda”. ”Pak karto badhe tindak teng saben?” sapaku dari kejauhan.

”Yo le, kowe arep budal kuliah” jawab pak karto yang agak kaget karena kurang menyadari keberadaanku dan ia kurang menyadari kalau ia berpapasan dengan aku.

”Ngeh pak, monggo kulo rumiyen”

”Yo le ngati-ngati neng dalan akeh motor, lek golek ngilmu sing tenanan mugo-mugo ilmune manfaat”

”Amiin” sahutku sambil meneruskan menggayuh sepedaku.


Suasana hari ini tidak seperti biasanya, pagi kelihatan lebih cerah seperti biasanya. Beberapa hari ini sang surya tampak menampakkan senyumnya saat kutatap. Aku pun membalas senyuman dari sang surya walau hanya dalam hati. Tak terasa aku sudah melewati pematang sawah jalan menuju kota tempatku kuliah. Jarak rumah dengan kampus kira-kira 7 km.

Sekarang sudah mulai memasuki kota, di depan ada trafic light. Lampu menyala berwarna merah tandanya aku harus berhenti. Aku berhenti tepat sebelum garis. Disampingku juga berhenti motor-motor gede. Ah....seperti mau balapan saja, dengan aba-aba lampu hijau berarti start sudah mulai seperti yang kulihat di TV. Tapi ada yang beda di tempat ini pagi ini dengan biasanya. Kemarin aku masih sempat melihat seorang pengemis yang masih anak-anak yang harusnya sekolah tapi masih disibukan untuk mencari makan. Ada yang yang aneh. Aku tak tahu ini salah siapa? Salah para wakil rakyatkah yang hanya mengobral janji dan tidak bisa memenuhi janjinya. Atau mungkin juga mereka anak-anak yang kurang beruntung saja harus hidup di jalanan, tidak ada yang memperdulikanya. Andai saja semua orang di negeri ini punya kepedulian dengan sesama pasti tidak ada anak-anak yang keluyuran waktu jam sekolah. Sekolah bagaimana yang seharusnya sekolah merupakan penyelaseian masalah tapi sekarang malah menambah masalah baru, karena sebagai bentuk penindasan baru yang dilakukan anak negeri. Karena yang pintar hanya menjadi penjajah baru dengan ilmu yang diterimanya.

Tapi rupanya pengemis itu telah berganti nama menjadi peminta-minta. Meminta receh, mengaku pengamen, meminta belas kasih. Kapankah segala persoalan negeri ini akan dapat terseleseikan?. Tapi sekarang anak ini sudah tidak tampak lagi? Mungkinkah sudah ada mau memperhatikanya dan mau mengasuhnya.

Ah....aku ternyata hanya melamun hingga sudah di bel mobil yang berada di belakang agar segera berjalan mendayuh sepedaku. Karena lampunya sudah hijau berarti waktunya untuk jalan. Dengan senyum kecil ku lanjutkan perjuanganku hari ini. Dengan menyanyikan lagu-lagu yang sesuai dengan suasana hati.

Saat melintas di pasar aku melihat yang aneh lagi. Kulihat pengemis yang berganti nama peminta-minta lagi. Tapi kali ini berbeda dengan lamunanku yang berada di trafic light tadi. Kali kulihat dengan mata kepalaku sendiri, Preman-preman memalak pedagang-pedagang di pasar. Dalam hati hanya berbisik, rupanya pengemis meniti karir, dengan minta sedikit memaksa. Melotot lalu mengancam kepada setiap pedagang di pasar dengan alasan keamanan. Mengaku preman, meminta-minta tanpa terima kasih.

Negeri yang aneh, mau berbuat apa lagi ya....ah tahu ah.

Musim ini semua orang lagi euforia dengan kebebasan berpolitik dan kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan dalam seni. Tapi sayang kebebasan itu kadang-kadang digunakan untuk orang-orang yang berkepentingan. Rupanya negeri ini belum siap dengan kebebasan yang sebebas-bebasnya. Karena kebebasan itu kadang sampai kebablasan. Tak ubahnya dalah berpolitik.


Sambil ku lihat jam tanganku ternyata sudah siang. Lalu ku gayuh sepedaku lebih cepat, sang surya sudah mulai tersenyum menyambut datangnya pagi untuk Indonesia. Ah aku tak tahu kenapa pikiranku selalu kemana-mana, aku tak heran dengan situasi perpolitikan yang memanas seperti akhir-akhir ini. Apalagi sekarang menjelang momen pilkada masing-masing partai yang merasa besar saling adu gengsi. Saat ku lewat jalan Gatot Subroto dilapangan sudah ada persiapan tempat seperti panggung untuk hiburan atau konser. Tapi pikiranku bukan tertuju konser tetapi panggung untuk kampanye. Karena tidak mungkin jika konser ada atribut partai dan gambar-gambar calon yang di usung. Aku tahu calon ini sudah sowan kepada tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat.

Kemarin setelah dari musholla kudengar pembicaraan orang di kampungku. Bahwa mereka sudah mantab mendukung Ir. Sarjono karena katanya sudah mendapat restu dari Kyai mahfudz. Kyai mahfudz adalah kyai yang paling di sungkani di daerah ini. Tetapi apakah orang-orang dikampungku tidak mendengar juga bahwa Drs. Maghrur lawan politik Ir. Sarjono dalam pencalonan pilkada tahun ini juga sowan ke rumah kyai Mahfudz. Tujuanya juga sama.

”Rupanya pengemis sekarang ini sedikit kelimis, selalu meminta-minta kepada semua orang termasuk juga para kyai. Yang diminta dukungan, yang diminta restu, yang diminta petunjuk, yang diminta jabatan. Meminta-minta tanpa risih”.Gumamku sendiri, aku tak peduli kalau dijalan tadi disebut sudah gak waras.

Rupanya sudah tiba di kampus untung saja tidak terlambat, karena waktunya ujian kalau terlambat bisa-bisa waktuku tersita untuk mengerjakan soal ujian w. Tak terasa acara perkuliahan sudah selesei dan sudah siang waktunya untuk ke musholla sholat dzuhur. Aku langsung menuju masjid dekat kampus saja sekalian nanti langsung pulang.

Hari ini sungguh hari yang aneh kali ini di dalam masjid pun masih ku temukan keanehan. Aku melihat orang yang tadi pagi naik mobil dengan ngebut tanpa memperhatikan keselamatan pengguna jalan yang lain. rupanya juga sedang ada di masjid yang sama. Rupanya dia sedang ada masalah. Perusahaanya terancam pailit. Dan kali ini ia berdoa dengan memohon memaksa kepada Allah agar perusahaanya tidak pailit.

Bukankah kalau ada yang meminta padamu,
Kau memberinya sesuai kehendakmu
Atau bahkan kadang tidak memberinya sama sekali?
Mengapa kalau kau memohon pada-Nya,
Ia haruskan memberimu sesuai kehendakmu?
Memohonlah pada-Nya.
Ia pasti memberimu
Dan biarlah Ia memberimu sesuai kehendak-Nya .

Itulah kata-kata sederhana yang kuingat saat membaca salah satu buletin sastra kemarin. Sungguh aneh orang-orang di negeri ini. Tapi akan ku tunggu kejadian aneh yang lain esok hari. Yang penting aku akan berbuat sesuatu yang berguna untuk negeri ini walau hanya sebutir debu.