Ketika sang fajar mulai muncul tubuhku masih kelelahan dan kuteruskan tidurku, sang fajar terus berlalu karena seiring berjalanya waktu . Tiba-tiba terdengar suara adzan menambah suasana yang damai di desa ini semakin komplit. Desa kramajati dengan jumlah penduduk kurang lebih ada empat ribu lima ratus jiwa. Suasana yang sangat tenag dan dingin terdengar pula suara ayam yang berkokok dipagi hariketika sang rembulan masih belum tenggelam oleh pancaran sinar matahariyang menandakan semangat dan tak pernah patah semangat dalam menjalani kehidupanya. Seakan-akan menyindirku yang masih berkerubut selimut. Kubiarkan tubuhku terdiam dengan mata terpejam. Tapi aku jadi teringat waktunya sholat shubuh. Langsung kubuka selimutku. Kepalaku agak terasa pusing karena tadi malam tidak tidur . Tidurpun pagi sekitar jam setengah tiga. Hari ini di desa yang tenang ini akan akan ada istighosah akbar dalam rangka menyambut tahun baru hijriah.Itulah sebabnya badanku pagi ini terasa capek dan kepalaku pusing. Langsungku ke kamar mandimengambil air wudlu.Ku ikat rambutku yang panjang , dan langsung saja aku sholat subuh. Setelah selesei aku langsung kembali lagi merebahkan tubuhku di atas kasur dengan penuh harap agar pusing dan capek tubuhku cepat hilang.
Dalam ruangan cahaya redup ini aku sempat berfikir dengan keadaanku hari ini. Rambutku yang gondrong dan sekilas wajahku tampak menyeramkan menimbulkan persepsi yang bermacam-macam kepadaku. Banyakanak kecil takut padaku. Aku kurang begitu tahu sebabnya. Tetapi banyak anak-anak yang dengan polos mengatakan bahwa ku ini menyeramkan. Bahkan aku sempat berfikir bahwa aku ini menyeramkan sekaligus kejam seperti preman. Tapi….ah mana mungkin aku kejam seperti preman aku gak pernah menyakiti orang lain apalagi bertindak kejam seperti preman. Tapi bagiku tampang bukanlah hal yang penting. Yang terpenting “aku adalah aku”. Aku juga tidak ingin jadi seperti orang lain, aku ingin jadi diriku sendiri.
Tetangga-tetangaku persepsinya juga sama seperti anak-anak yang melihat dari penampilanku hari ini. Yang gondrong dan sekilas menyeramkan. Perkataan tetanggaku yang selalu membayang-bayangiku adalah “Ho alah le…le… we ki di sekolahne sing duwur ra mundak mbeneh malah koyo wong stres” (nak-nak kamu ini di sekolahkan yang tinggi tidak menjadi baik tapi menjadi orang gila). Tapi untungnya orang tuaku menerimaku apa adanya dan memahami jalan pikiranku. Dan yang [aling penting adalah selalu memberikan perhatianya kepadaku. Dan berfikir pula bahwa akan kubuktikan bahwa mereka tidak keliru dalam mendidikku. Dan akan kubuktikan pada semua orang bahwa stigma yang mereka berikan adalah salah terhadapku.
Teman-teman di Kampus pun juga cukup banyak yang tak suka kepadaku karena aku selalu selalu di anggap kaku. Tapi menurut teman dekatku mereka tak suka karena eksistensinya terancam dengan keberadaanku. Aku memang kaku ykarena aku selalu memegang teguh prinsipku. Banyak ku ikuti seminar-seminar dan pelatihan bahwa setiap orang harus punya prinsip. Tetapi ketika prinsip ini ku pegang kuat malah aku di anggap kaku.
Tak terasa ternyata matahari sudah menyapaku melalui celah ventilasi kamarku. Kumatikan lampu yang berda dipojok kamarr. Dan ku buka jendela “Selamat pagio Indonesia raya”. Gumamku dalam hati. Apalagi yang akan terjadi negeri tercinta hari ini. Korupsi, kejhatan criminal, ah…..sudahlah aku tak mau berfikir masalah itu hari ini. Aku ingin focus pada kegiatanku hari ini. Aku ingin memberikan yang terbaik dari yang sebelumnya. Aku ingin acara istighasah hari ini berjalan lancer.
Beberpa minggu lalu saat aku libur kuliah, aku pulang. Kebetulan di desa ada rapat karang taruna tentang Hari besar islam tahun baru Hijriah. Ketika teman-temanku tahu kalau aku sedang pulang mereka mengajakku untuk mengikuti rapat itu. Apalagi sewaktu teman kuliahku kemarin juga pernah berkunjung ke rumah dan menceritakan kegiatan dikampus. Aku usulkan acara istighosah akbar dengan sedikit retorika dan menyatakan dengan alasan-alasan yang rasionallangsung disetujui usulanku ini. Dan mereka jga langsung menunjukku sebagai ketua panitia.
Siang ini adalah acara puncaknya. Dan semua sudah dipersiapka tadi malam. Aku khawatir acaranya kurang maksimal. Biasanya aku tak seperti ini. “Optimis...optimis....optimis....” aku harus optimis.
Tiba-tiba Suherman datang “Assalamu ‘alaikum”.
“Wa’alaikum salam” Sahut ibuku yang lagi memasak.
“Bima ada bu….?”
“Ada tadi masih di kamar, Bima....dicari suhermn”
“Ya sebentar” Jawabku sambil menuju pintu rumah
Rupanya suherman mengajakku untuk mengecek kembali persiapan acara siang nanti. Suherman juga memberitahukan siang nanti Bupati akan hadir. Mudah-mudahan datang bukan untuk menarik massa untuk mendukung dalam Pilkada tahun depan karena menurut beberapa informasi akan mencalonkan bupati lagi.
Setelah selesei semua akan dipersiapkan semua pemuda yang hadir pagi itu pulang untuk mandi. Siang ini agak mendung Tapi, tak apalah. Orang-orang mulai berdatangan dari desa-desa tetangga ternyata banyak yang datang. Aku tahu bahwa bahwa teman-teman disini bisa bekerja sama mereka selalu solid sehingga sosialisasinya sangat maksimal.
Ngak sia-sia memepersiapkan acara di lapangan desa Didukung dengan cuaca yang bersahabat, walau sudah ada terop biasanya kalau matahari terik suasana tetap panas. Tetapi entah mengapa hari ini suasana lain dari pada yang lain. Ternya benar apa yang dikatakan Suherman tadi bahwa acara akan berjalan maksimal, tua, muda, ibu, bapak, tak ketinggalan Bupati ikut datang beserta beberapa pegawai kecamatan.
Waktunya acara dimulai. Seperti adat orang desa selalu ada opening ceremony. Dari pembukaan dan sampai kepada pembacaan ayat-ayat suci al-qur’an yang diharapkan hatinya bisa bergetar saat mendengar lantunan kebenaran yang haq dan bukan hanya sebagai ritual tapi bisa menjalankan isi dari al-qur’an. Tiba-tiba setelah selesei namaku disebut untuk memberikan sambutan dari panitia sekaligus perwakilan dari pemuda desa. Dengan langkah tenang aku berjalan langkah demi langkah menuju ke depan. Kupegang microphone. Denga rambut gondrong yang ikat membuat orang selalu membicarakanku.
“Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuhu”
tiba-tiba aku melihat ibuku dengan wajah cemas duduk di depan jamaah. Ibuku ternya berangkat lebih awal sehingga menempati tempat duduk di depan. Ibuku tak tahu kalau aku sebagai ketua panitia dalam acara ini. Yang ia tahu bahwa aku tidak bisa dalam hal-hal yang beginian.
Kutatap wajahnya dengan penuh harapan dan cemas kalau nanti aku tidak bisa untuk menyampaikan sambutan. Dalam hati ingin ku buktikan pada ibuku bahwa aku tak seburuk penampilanku hari ini. Aku ingin membuktikan pada semua orang bahwa persepsi merka salah tentang diriku. Kulihat lagi ibuku wajahnya semakin cemas, aku tahu kalu ibuku sedang khawatir kalau….kalau….ah inlah waktunya.
Taterasa sudah lama aku berpidato maka harus ku akhiri pidatoku dengan retorikaku ternya semua orang tercengang gaya pidatoku yang tidak muluk-muluk tetapi kata-katanya mudah dicerna. Setelah kututup semua tepuk tangan. Sambil melangkahkan kakiku kembali ke tempatku kulihat wajah ibuku. Ibuku meneteskan air mata. Aku tak kuat lagi menatapnya hatiku tersentuh denga wajahnya yang ternyata selalu memperhatikanku.
Ketika acara selesei semua membereskannya badan tersa capek, aku ingin segera pulng untuk istirahat. Ketika sampai dirumah ternya ibuku menungguku di rrumah. Aku dipeluknya dan ibuku kjali meneteskan air mata lagi dan kurasakan air mata kebahagiaan yang keluar bukan kesedihan. Kurasakan kasih sayang yang sesungguhnya….kurasakan cinta yang begitu dalam….tanpa minta balasan, tanpa minta imbalan. Ternya ibuku ibuku tetap memberikan kasih sayangnya, cintanya, perhatianya kepada anakanya ini. Walapun bagaimana keadaanku ibuku tetap tidak peduli. Aku tak kuat lagi membendung air mata ini.