“Dari ramalan badan meteorolgi dan geofisika menyebutkan bahwa untuk beberapa tahun akan terjadi lalina di Indonesia sehingga untuk curah hujan akan lebih sedikit dari tahun-tahun yang sebelumnya” Langsung saja kumatikan radio karena aku merasa ngantuk dan ingin segera tidur.
Gila. Sudah beberapa tahun ini saat musim hujan, hujan turun tidak pernah deras. Semua sumur-sumur yang ada di setiap rumah kekeringan yang ada tinggal satu yaitu mbelik mahoni. Mbelik Mahoni merupakan satu-satunya mata air yang masih mengeluarkan air. Sumber ini terletak di bawah perbukitan dan terletak dibawah puthuk cilek tepatnya diapit oleh pohon mahoni besar. Seluruh masyarakat dusun sukunraame selalu mengantri untuk mengambil air disini dari pagi sampai sore tempat ini tetap rame.
Sawah-sawah juga sudah 2 tahun tidak pernah ditanami padi karena hujan yang intensitasnya sedikit tidak cukup untuk membuat sawah-sawah di dusun ini tergenang air. Maklum, sawah di sini adalah sawah tadah hujan. Maka untuk pengairan mengandalkan hujan yang turun. Karena sudah 3 tahun saat musim penghujan hujan tidak begitu deras kalaupun ada hujan tidak dapat untuk menanam padi, yang bisa hanya untuk menanam jagung. Itu pun tidak satu tahun sekali, satu tahun hanya bisa panen jagung satu kali. Itu pun hanya saat musim hujan. Saat musim kemarau maka sawah terlihat gersang dan hawanya sangat panas.
Sebenarnya ada beberapa LSM yang sudah beberapa kali melakukan survey di tempat ini sambil mencari data dan kata orang-orang itu untuk membuat proposal untuk pengajuan program penanganan paceklik di desa ini. Para aktivis LSM juga sudah berjanji akan membantu, tetapi sampai sekarang tidak pernah terealisasi dan tak ada kabarnya sama sekali. Aku juga mendengar dari orang-orang kata pak lurah saat ada pertemuan dengan seluruh kades sekabupaten dan langsung dipimpin oleh bupati pak lurah sudah mengeluhkan dan bupati saat itu langsung menanggapi akan segera membuat kebijakan untuk penanganan paceklik yang terjadi di daerah ini.
Tapi rasanya pak bupati hanya ngomong saja tanpa realisasi. Ya maklumlah mungkin pak bupati lagi sibuk dengan persiapan pilkada karena yang aku dengar pak bupati mau mencalonkan lagi maka perlu untuk mengatur strategi untuk menarik simpati masa. Sedangkan daerah ini bukanlah daerah yang strategis untuk menarik masa, selain tempatnya yang terpencil, daerah ini juga bukan daerah basis pendukung partai yang akan menjadi kendaraan pak bupati untuk mencalonkan lagi di pilkada yang tinggal menunggu bulan ini. Jadi pastilah daerah ini akan mendapat diskriminasi dalam hal pemerataan pembangunan. Namanya juga politik ada hitung-hitunganya, mana yang lebih bisa digunakan untuk kepentingan ya itu yang didahulukan. Misalnya saja masalah pembangunan irigasi, daerah ini tak pernah terjamah pembangunan untuk irigasi sedangkan untuk daerah lain sudah mulai dibangun terutama yang masanya dapat dikondisikan untuk mendukung dalam pencalonan.
Mungkin juga masyarakat desa ini juga tidak pernah ada kesadaran untuk menjaga hutan. Mereka lebih menganggap bahwa hutan yang ada didesa ini adalah warisan dari nenek moyang yang harus dimanfaatkan secara eksploitatif sehingga sekarang gundul, sumur-sumur warga jadi kering karena sudah tidak ada daya serap air. Sungai alam watuloh yang dulu banyak air dan biasanya ku gunakan untuk mandi bersama teman-teman waktu kecil dulu juga ikut-ikutan kering karena sumber mata air aliran sungai watuloh yang berada di bukit saren juga kering, pohon besar yang menutup mata air juga tak luput terkena hantaman gergaji mesin pemotong.
Teringat masa-masa dahulu desaku ini desa yang hijau berseri, hutan-hutan masih lebat sehingga, setiap pagi masih kedengarkan burung-burng bernyanyi bersahut-sahutan, Sungai watuloh sangat banyak airnya, banyak anak-anak sepulang sekolah setelah pulang makan lalu bermain dan mandi disungai. Kubayangkan aku jadi malu sendiri waktu itu Anwar, Hanbali, Indra, aku sedang mandi disungai ini, kami semua telanjang hanya mengenakan celana dalam karena keasikan bermain kami semua lupa tidak mengurusi baju kami.
Saat itu angina lumayan cukup kencang dan saat angina berhembus tiba-tiba semua baju kami tertiup angina dan parahnya celanaku tertiup samapi jauh akhirnya jatuh ke sungai dan semua tidak menyadari, celanaku pun terbawa arus air. Kami semua juga tidak menyadari.
Ketika saat mandi di sungai ini sudah merasa kedinginan maka diputuskan untuk menyudahi bermain di sungai ini. Saat semua mau mengambil baju untuk dipakai pulang ternyata sudah berserakan kemana-mana. Semua menemukan baju dan celananya masing-masing kecuali aku yang hanya menemukan baju tanpa celana. Aku kebingungan sendiri mencari-cari dan juga kutemukan. Anwar yang sudah memakai baju duluan mengetahui kalau lagi bingung mencari celanaku.
“Agung, celanamu kemana?” Tanya Anwar
“Aku gak tahu tadi kan juga tak taruh jadi satu dengan baju kalian” Jawabku
“Eh..bentar ini tadi aneh. kan tadi baju kita tadi ditaruh jadi satu tapi mengapa kok bias berserakan. Jangan….jangan…..sungai ini ada penunggunya?” perkataan indra yang dari tadi sibuk mencarikan celanaku di semak-semak dekat sungai.
“Kalian ini ngacau saja. Ini kan siang masak siang-siang begini gendruwo berani keluar” Hanbali yang mulai angkat bicara.
“Ini terus gimana masak aku gak pakai celana?” Tanya Agung yang mulai bingung.
“kamu jangan sedih gitu dong gung, kita cari dulu barangkali terbangnya gak jauh dari sini” Kata Anwar.
Semuanya mencari mondar-mandir kesana kemari tapi tak kunjung kelihatan juga celanaku. Hanbali mencoba menelusuri sungai sampai jarak kira-kira 100 m dari tempat kami mandi. Anwar melanjutkan pencarianya ke semak-semak, sedangkan aku hanya bingung bagaimana caranya pulang karena celanaku hilang. Sedangkan Indra menemani aku.
Setelah beberapa waktu tak juga temukan. Akhirnya kami meutuskan untuk pulang. Dan terpaksa aku pulang tidak pakai celana sambil menangis.
Setelah tiba dirumah aku hanya diam-diam takut ketahuan ibu. Aku tidak keluar dari kamar, ternyata ibu sudah mengetahui bahwa celanaku hilang, waktu sudah sore perutku terasa lapar. Akhirnya kuberanikan diri untuk ke dapur makan. “Tadi main kemana saja” Tanya ibu yang sedang di dapur membuat lauk untukku.
Dengan rasa takut aku menjawab ”E…..tadi aku main ke sungai”
“Lain kali kalau bermain tetap waspada harus sering memperhatikan apa yang kamu bawa karena kebiasaan orang kalau sudah keasyikan itu selalu lupa segalanya” Jawab ibu sambil menasehatiku.
Dulu tidak pernah ada pengaruhnya baik Indonesia saat ada lalina mapun saat elnino, Kebutuhan air selalu tersedia banyak, sungai-sungai terus mengalir, banyak sumber-sumber mata air bertebaran dimana-mana. Sawah selalu berwarna hijau.
Tapi itu hanya tinggal kenangan, kini sungai itu kering. Hutan-hutan pun gundul. Sawah-sawah menangis dalam kegersangan. Dan pada waktu musimnya seperti ini hanya kekurangan. Kekurangan air, kekurangan pangan, dan kebutuhan mendasar lainnya.