Sabtu, 07 Agustus 2010

Seandainya Aku Jadi...?

Malam itu hujan turun gerimis membuat suasana sedikit lebih dingin dari biasanya. Bintang tak nampak lagi. “Gimana kita jadi ngak pergi ke Gedung Serba Guna pusat kota untuk menghadiri undangan seminar itu” tanya Andi sambil mengambil sebatang rokok dari sakunya.

”Ngak usahlah kita tahu sendiri seminar itu hanya dimanfaatkan para elit politik untuk sosialisasi tentang pencalonanya pada PILKADAL atau pemilihan kepala daerah langsung dan yang pasti ada sedikit unsur kampanye” Sahut Inu yang menerima undangan itu setelah membaca TOR yang di berikan dari panitia kemarin.

Gerimis malam ini tak kunjung usai. Kami kebingungan mau ngapain.Tiba-tiba terbesit sebuah ide dari Joko, “Bagaimana kalau kita gunakan waktu ini untuk minum kopi saja katanya orang-orang warung kopi milik pak Parjo super kopinya”.

“Tumben kamu mau ngajak ke sana biasanya kamu paling males kalau pergi keluyuran mala-malam apalagi hujan begini” Jawabku kepada joko.

“Iya bagus juga idemu sekalian kita membicarakan masalah-masalah yang terus semrawut di negeri semrawut ini selain tempatnya dekat dengan kita sekarang suasananya juga lumayan nyaman” Sahut Anton.

Akhirnya kami berempat pergi ke warung kopi pak Parjo dengan jalan kaki. Karena tempatnya dekat lima menit kami sudah sampai dan disan ternyata ramai sekali tetapi untuk saja ada satu meja yang masih kosong, langsung saja kami menempatinya. Suasana yang masih hujan dan agak sedikit dingin membuat suasana semakin bersahabat. Dan langsung saja kami semua pesan sesuai dengan minuman kesukaan kami. Aku memesan jeruk hangat karena aku kurang menyukai kopi. Inu memesan teh susu hangat karena kegemaranya minum teh susu. Sedangkan Joko dan Anton memesan kopi. Kedua temanku ini dengan namanya kopi sampai jenisnya bisa membedakan.

Tiba-tiba aku melihat sesobek koran ysng dipotong kecil-kecil biasanya koran ini dipakai nyete. Aku baca sesobek koran itu karena aku penasaran dengan tulisan yang ada dalam potongan koran itu. Tiba-tiba aku langsung berkata “Andai aku punya koran aku akan larang iklan”.

“Gila kamu bagaimana koranmu bisa bertahan media massa termasuk koran untuk bisa survive butuh iklan” sahut joko yang ketika itu langsung menyahut saat sedang meniup kopinya agar dingin.

“Tapi tidak semua iklan akan ku pilih dulu iklan yang masuk apalagi kalau iklan itu iklan penjualan” Jawabku.

“Lalu iklan bagaimana yang kamu maksud” Anton mulai mengikuti pembicaraan kami.

“Begini lo,,, andai saya punya koran akan saya larang iklan yang begini. ‘Dijual murah, cepat, butuh uang, sebuah harga diri bangsa’. Barang itu sakral tak kan harus di jual oleh siapapun, walau sekarat sekalipun, apalagi hanya untuk sepaket sembako dan ada lagi yaitu akan saya larang untuk berita-berita pesanan”

“Kalau iklan seperti itu semua pasti sepakat dan harusnya pemimpin bangsa ini juga begitu tidak meminta-minta atau mengemis kepada negara lain agar tidak menjual harga diri bangsa ini. Harusnya kita malu selalu mengemis kita sebenarnya mampu tinggal pemimpinya saja berani nggak untuk bekerja keras dan benar-benar tegas terhadap intervensi dari negara lain. Dan yang penting adalah harus dipahami katanya sekarang ini eranya, era reformasi. Pada era reformasi ini semuanya perlu jelas, kejelasan akan kesepakatan kita, sepakat untuk sepakat atau sepakat untuk tidak sepakat. Yang jelas kita harus sepakat pada satu bingkai persatuan dan kesatuan bangsa. Dan ada satu lagi ini ini era kebebasan tapi bukan kebebasan yang permisif, bisa bilang telunjuk itu kelingking atau jempol dan selalu bilang sah-sah saja, boleh beda dong” Kata Inu yang ternyata dari tadi mendengarkan dengan serius.

Kami semua melihat inu tertawa terbaha-bahak bersama-sama. Inu nampak kebingung dengan tertawa kami rupanya dia tidak sadar kalau yang kami tertawain dia. Ada sisa makanan kecil yang masih menempel di bibir karena dari tadi Inu keenakan makan jadi makanya jadi cepat-cepat sampai ada sisa yang menempel tidak sadar.

Tiba-tiba Inu langsung membersihkanya “ah......sialan kalian gak mau memeberi tahu malah di tertawaain lihat tu semua orang melihat kan aku jadi malu”.

“Hu...........dasar dari tadi Cuma makan saja!!!” Kami semua bertiga dengan kompak meledeknya.

“Seandainya aku jadi sopir pasti aku senang sekali” Kata Joko

“Namamu memang ndeso jadi wajar saja kalau punya cita-cita Cuma jadi sopir” Sahut anton.

“Jangan dikira sopir itu pekerjaan yang rendah dengar dulu penjelasanku, sopir itu punya tanggung jawab yang besar, kalau ada sopir yang tidak tanggung jawab berarti sopir edan, sopir edan edan pastinya arogan, semaunya sendiri karena punya kuasa terhadap penumpang dan dianggapnya arung gonitak bernyawa, dan tak punya rasa mual dan pusing. Perasaan manusia butuh jaminan keselamatan.” Komentar joko menanggapi pernyataan Anton.

“Kalau sopir edan pasti selalu bilang ‘penumpang di bawah kekuasaanku’ tapi ketika bos besar menjadi penumpang maka akan berbalik. Sekarang giliran bos besar yang berbicara sopir di bawah kekuasaanku. Dan sopir edan pun akan berbicara memberi tahu bos besar, tempat itu tidak aman bos, bensin kita mau habis bos, dan saya harus menjamin kekuasaan bos” tambahku setelah mendengar penjelasan dari joko.

Inu pun juga tak mau ketinggalan untuk menambahkan analisanya “Pemimpin sebuah bangsa ibarat seorang sopir, pemimpin itulah yang akan membawa perubahan bangsa ini, Jangan sampai kita memilih pemimpin-pemimpin yang edan yang bisa dengan seenaknya menyatakan semua rakyat di bawah kekuasaanku, rakyat bukanlah karung goni itu tetapi rakyat adalah raja yang harus diperjuangkan hak-haknya, mereka puny rasa muak, punya rasa sedih, juga punya rasa gelisah. Tetapi fakta hari ini berkata lain pemimpin sekarang ketika ada intervensi dari negeri lain yang berlagak big bos yang lebih punya kuasa pasti takut dan tunduk”.

“Wah...wah ternya inu hebat juga, sampai segitu besarnya kepedulian terhadap negeri yang terancam bubar ini” Sahut lagi joko.

“Kalau kamu mau jadi apa nu?” tanyaku

“Seandainya ada permintaan jadi apa yan aku pilih jadi polisi. Seandainya aku diangkat jadi polisi pastilah singa menggaum kencang selamat datang pahlawan, telah lama kurindukan kamu, begitu akan sering kedengar alun suara lisan. Dalam hatiku akan berbisik akulah orang pilihan, akulah pemimpin, dan yang terpenting tak akan kulupakan bahwa pistol, seragam adalah milik rakyat dan uang saku yang diberikan juga uang rakyat karenanya pelayanan masyarakat haruslah sungguh-sungguh, kejujuran di utamakan, seorang putra bangsa nan perwira” Jawab Inu.

“Kalau aku sih jadi atlit lari saja yang bikin badan sehat. Bisa ikut olimpiade ke luar negeri. Bukan lari ke luar negeri. Bukan lari dari kejaran massa yang habis nyolong ayam, bukan pula berebut lari dari kenyataan, berebut lari dari tanggung jawab setelah menghabiskan uang rakayat yang kemudian lari ke luar negeri” Tiba-tiba anton menyela omongan karena juga ingin mengungkapan angan-anganya.

“Mengapa kok nggak jadi penggembala saja? Tiap hari menunggang punggung kerbau. Bukan menunggangi atau di tunggangi, kan pas dissuaikan dengan wajahmu yang mirip kerbau. He...he.....” Sahutku

Tiba-tiba semua tertawa dengan terbahak-bahak, hujan pun semakin reda dan ternyata sudah malam, salah satu dari kami membayar semua ang kami habiskan. Langsung semua kembali ke rumah masing-masing. Sebelum tidur pun masih terbayang-bayang. Negeri ini semakin banyak Inteleknya tapi sayangnya In-nya hilang jadi semakin banyak teleknya yang berwujud manusia.