Judul : Lebih Baik Tidak Sekolah
Penulis : Sujono Samba
Penerbit : LKiS, Jogjakarta
Th. Terbit : 2007
Cetakan : Pertama
Tebal Buku : xviii + 94 halaman; 12 x 18 cm
Resensor : Moh. Asrofi
Ada sebuah pameo unik yang berkembang di masyarakat “kalau mau bagus dan bermutu maka pendidikan harus mahal”. Lalu bagaimana dengan anak-anak yang tidak mampu? Ada pameo lain yang serupa tapi tak sama “mutu pendidikan itu berbanding lurus dengan biaya yang musti dikeluarkan”. Lalu bagaimana dengan nasib anak pintar dan berbakat yang kurang mampu. Apakah sudah terbukti dan benar kedua pameo itu?
Pendidikan yang seharusnya menjawab persoalan riil yang ada di masyarakat, tetapi justru menimbulkan maslah baru yaitu diskriminasi dan semakin mempertajam kesenjangan sosial yang ada di masyarakat. Lembaga-lembaga pendidikan yang mengklaim diri berkualitas dan modern telah berubah menjadi lembaga jasa pendidikan elitis dan eksklusif karena hanya terjangkau oleh kelompok masyarakat tertentu. (hal. 2)
“Ada apa dengan sekolah?” adalah pertanyaan yang akan muncul ketika kita melihat buku tulisan Sujono Samba. Akan terlihat tulisan besar judul buku “lebih baik tidak sekolah”. Sujono Samba yang lebih akrab dikenal dengan pak Jon adalah sosok yang unik, seorang guru sekolah yang pikiranya mengalami pergolakan saat melihat kondisi pendidikan di Indonesia. Pak jon adalah seorang lulusan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Dan sekarang kesibukan sehari-harinya adalah seorang guru Pendidikan Agama Islam di sebuah sekolah negeri di Salatiga. Selain itu ia juga mengajar Seni Musik dan Teater di Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga. Pada lembaga pendidikan alternatif inilah yang menjadi inspirasi buku ini.
Prestasi pendidikan Indonesia sangat mencengangkan dan mengejutkan. Bukan karena prestasi tetapi kebobrokanya. Penelitian yang telah dilakukan oleh lembaga luar negeri dan juga lembaga dalam negeri sendiri akan menambah prihatin betapa buruknya prestasi pendidikan Indonesia saat ini. Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, tetapi belum mampu mencari format pendidikan yang ideal untuk negeri ini. Identitas yang semakin tidak jelas sampai adanya kasus-kasus dalam pendidikan lebih memalukan dan menyakitkan.
Dari penelitian yang telah dilakukan Asian South Pacific Bearau of Adult Education(ASPBAE) dan Global Campaign for Education yang dilakukan di 14 negara pasifik bulan Maret- Juni 2005 telah diumumkan hasilnya serentak di seluruh dunia dan untuk Indonesia mendapat nilai 42 dari 100 serta memiliki nilai rata-rata E. Untuk aspek penyediaan pendidikan dasar lengkap, Indonesia mendapat nilai C (peringkat ke-7). Pada aspek aksi Negara, Indonesia memperoleh mutu huruf D (peringkat ke-11). Pada aspek input/ pengajar, Negara kita diberi nilai E (peringkat ke-14) alias paling buncit. Kita patut belajar pada Thailand, yang juga sama-sama mengalami krisis ternyata bisa menempatkan diri menjadi peringkat pertama dalam membangun sumber daya manusia. (hal. 8)
Sistem pendidikan negeri ini hanya menghasilkan orang-orang yang lemah karena semakin tinggi pendidikan seseorang semakin besar bergantung pada orang lain dan kebanyakan akan mengandalkan pada pekerjaan menjadi buruh di perusahaan atau juga PNS. Sistem pendidikan kita yang mengutamakan aspek kepintarasn teoritis verbalis dengan mengesampingkan kreativitas.
Di sisi lain masyarakat (orang tua) mengeluh dengan mahalnya biaya sekolah. Karena memandang sekolah itu penting dan menganggap sekolah sebagai satu-satunya tempat untuk membekali dan menyiapkan anak menghadapi masa depan yang lebih baik, maka dengan segala daya dan upaya apapun dipertaruhkan agar bisa menyekolahkan anaknya dengan harapan setelah lulus mendapat ijasah dengan nilai yang baik untuk modal memperoleh pekerjaan (menjadi karyawan/ buruh/ pegawai) dengan mendapat gaji yang besar. Akan tetapi, yang terjadi malah sebaliknya, Setelah lulus sekolah, bagian terbesar menjadi cemas dan bingung, Yang punya ijasah bingung menawarkan ijasahnya untuk mendapatkan pekerjaan, orang tuapun bingung, bagaimana agar anaknya telah menghabiskan biaya yang tidak sedikit itu cepat bekerja. Demi “pekerjaan yang baik” akhirnya cara apapun ditempuhnya. (hal. 22)
Dalam sekolah tidak memberikan yang cukup untuk berkembang, siswa dibentuk menurut selera pasar. Adanya dikotomi yang tegas antara guru dan siswa, orientasi sekolah yang melenceng dari tujuanya karena hanya untuk memperoleh selembar kertas yang bertuliskan ijasah dan angka yang baik, sekolah telah berubah menjadi industri perusahaan jasa bukan pembangunan kesadaran kritis, sentralisasi, penyeragaman, system top-down yang membelenggu dan bukan berdasarkan kebutuhan. Semua itu beberapa kondisi sekolah yang ada di Indonesia saat ini. Jika sudah seperti ini lebih baik tidak sekolah.
“Lebih baik tidak sekolah” merupakan buku kecil yang isinya bisa dijadikan evaluasi terhadap system pendidikan Indonesia. Buku ini bisa dikatakan buku yang berani karena memaparkan kebobrokan system pendidikan kita. Dalam buku ini tidak hanya memaparkan keboborokanya saja tetapi juga memberikan solusi. Sujono Samba menyampaikan dalam buku ini diperlukan sebuah pendidikan alternatif untuk menjawab persoalan pendidikan saat ini?
Pendidikan alternatif Qaryah Thayyibah merupakan salah satu format pendidikan yang bisa menjawab persoalan pendidikan yang ada di negeri ini. Buku ini memaparkan mulai dari latar belakang berdirinya Qaryah Thayyibah, konsep mengajar, sampai bentuk-bentuk evaluasi yang ada pada lembaga pendidikan alternatif Qaryah Thayyibah. Hal ini bisa dimaklumi, karena memang Sujono Samba salah satu pengajar yang ada di lembaga pendidikan ini.
Begitu luas dan komplek, itulah yang coba disampaikan buku ini tentang keadaan pendidikan kita. Membaca buku ini akan membuka pikiran kita karena pembaca tidak akan disuguhi tentang wacana pendidikan yang begitu semrawut tetapi bagaimana juga solusi untuk masalah ini. Solusi yang diberikan tidak hanya pada tataran konsep ideal yang berada jauh di awang-awang tetapi konsep yang berangkat dari realitas pada pendidikan alternatif Qaryah Thayyibah. Dan solusi yang berangkat dari fakta yang terbukti bisa menjawab problem pendidikan kita, tinggal mengembangkan ke seluruh bumi Indonesia.