Mbah Gapur, nama sebenarnya adalah Abdul Ghafur. Di mata warga adalah seorang yang sangat tak kenal lelah. Meskipun usianya sudah 78 tahun --- ia tidak pernah mengeluh --- mengerjakan segala sesuatu dengan sendiri. Meskipun sebenarnya anak-anaknya sudah melarangnya tetap saja orang tua ini masih mengerjakanya sendiri. Kegiatanya juga lazimnya seperti orang biasa. Kalau siang bekerja di sawah, kalau pulang sambil membawa rumput untuk ternaknya. Yang membuat orang-orang begitu menghormatinya adalah setelah bangun pagi ia akan langsung mandi dan langsung menuju masjid untuk menjadi imam shalat shubuh berjamaah. Ia adalah seorang kiai Masjid Baitur Rahman.
Setelah selesei shalat shubuh Mbah Gapur selalu memebersihkan masjid, mulai dari dalam masjid sampai sekitar masjid. Meskipun masjid ini adalah bangunan yang sangat tua tetapi kelihatan sangat terawat. Dindingnya sedikit ada yang rusak karena dimakan usia. Atapnya pun tidak seperti masjid-masjid sekarang yang kebanyakan berbentuk kubah. Tetapi masjid tua ini masih beratap berbentuk seperti limas bertingkat. Walapun banyak orang yang mengusulkan agar masjid ini direnovasi --- tetapi dalam musyawarah yang dilaksanakan ta’mir masjid hasil keputusanya --- lebih baik membangun jamaah dulu daripada membangun bangunan megah tetapi tidak ada jamaahnya.
Satu hal yang membuat orang hafal dengan gerak Mbah Gapur ketika membersihkan sekitar masjid adalah suara sapu lidinya, dengan suara “krek, krek, krek”. Ketika ada orang lewat yang mendengar suara itu sudah pasti Mbah Gapur sedang membersihkan sekitar masjid. Tempat dibersihkan yang biasanya dipakai orang untuk parkir bagi jamaah yang membawa kendaraan.
Pernah suatu saat Kang Maksum ingin meminta sapu Mbah Gapur untuk menggantinya, “Sini mbah, Mbah Gapur istirahat saja biar ini saya yang membersihkan” tukas Kang Maksum waktu itu. Tetapi Mbah Gapur tidak memberikanya, bahkan malah memberinya sapu yang lain. “Ndak usah, sampean ambil sapu itu saja saya ingin membersihkan masjid ini, kalau sampean juga mau membersihkan masjid ini kita bersihkan sama-sama”.
“Mengapa Mbah Gapur tidak istirahat saja” tugas Kang Maksum sambil mengambil sapu lidi yang lain yang ada di depan gudang.
“Sampean tahu nggak, sebenarnya saya menyapu ini hanya ingin mencari saksi suatu saat kelak” jawab Mbah Gapur.
“Saksi apa mbah?” sahut Pak Rojak yang datang untuk membantu juga.
“Saksi atas sholawat yang saya ucapkan, bukti kecintaan saya kepada rasullulah saya ucapkan melalui shalawat untuknya, sambil menyapu saya ucapkan berharap sampah-sampah ini ketika mendengar ucapan saya kelak akan menjadi saksi atas shalawat yang saya ucapkan” sambil menghela nafas Mbah Gapur tampak kelelahan dan meneruskan bicaranya kepada Pak Rojak “La Pak rojak tidak mengajar di sekolahan, kok sudah mulai siang tidak bersiap-siap mengajar”.
“Tidak mbah, hari ini libur sekolahan tanggal merah kan hari minggu mbah?”
“Astghfirullah, ternyata mbah sudah benar-benar tua dan pikun sampai lupa kalau ini hari minggu”.
Beginilahlah rutinitas setiap hari Mbah Gapur, setelah selesei menjadi imam sholat shubuh langsung memebersihkan masjid, setelah itu pulang dan pergi ke sawah. Masjid menjadi tampak bersih dan setiap hari minggu selalu tiga orang yang membersihkan, Mbah Gapur, kang Maksum, dan Pak Guru Rojak. Tetapi kalau hari-hari biasa, maksudnya hari senin sampai sabtu Mbah Gapur selalu mengerjakan sendirian. Karena Kang Maksum harus bekerja sebagai sales Jamu sebuah perusahaan dan Pak Guru Rozak harus mengajar di Madrasah Ibtidaiyah Al-Huda I.
*****
Pernah suatu saat Mbah Gapur berbicara hal-hal yang tidak seperti biasanya. Pembicaraan itu terjadi saat berangkat ke sawah. Dalam perjalanan bertemu dengan Kang Rojali. Kang Rojali kebetulan juga berangkat ke sawah. Karena memang sawah Kang Rojali bersebelahan dengan sawah yang digarap Mbah Gapur. Saat itu tepatnya di proliman dekat pohon beringin dekat kantor desa. Pada saat keduanya lewat jalan makadam menuju sawah. Keduanya kebetulan berpapasan dan bersama berangkat sambil menaiki sepeda ontelnya. Setelah mereka bercakap-cakap.
“Mbah Gapur mau sawah yang di Mbaran[i] ya?”
“Iya Kang Rojali, sampean juga mau ke sana?” jawab Mbah Gapur
“Iya mbah, kemarin saya lihat padinya sudah mulai berisi dan banyak belalang sangitnya, makanya ini saya bawakan semprot dan obat untuk mengurangi belalang agar bisa berisi semua padinya”
“Sudah beberapa hari kelihatanya sudah nggak hujan ya kang, padahal sawah kita kan sawah tadah hujan hanya mengandalkan air hujan untuk airnya. Sekarang sawah-sawah tadah hujan banyak yang mulai kering dan butuh air”
“Mungkin belum jatahnya mbah, sudah beberapa orang juga mulai mengeluh mbah” sambil menghela nafas Kang Rojali meneruskan bicaranya “Kemarin banyak warga juga mau pergi ke rumah caleg yang waktu kampanye ke sini minta dukungan dan memberikan janji akan membangun saluran irigasi dari Sungai Dam. Tetapi sesudah terpilih sudah tiga tahun menjabat sebagai anggota dewan tidak kunjung juga dibangun”.
“Halah kang, sudah lagaknya juga seperti itu. Kayak nggak tahu saja orang-orang seperti itu”
Ketika mereka berdua asyik ngbrol tiba-tiba Mbah Gapur berbicara aneh. Mungkin tidak aneh bagi orang lain tapi menurut Kang Rojali sangat aneh karena tidak nyambung dari yang sebelumnya. Dan biasanya Mbah Gapur dikenal orang yang lebih suka ngomong tentang masa mudanya yang seorang aktivis di daerahnya yang sangat disegani. Mbah Gapur selalu di barisan depan dalam menegakan amar ma’ruf nahi munkar. Dan yang sangat membanggakan dirinya adalah saat menjadi ketua salah satu organisasi keagamaan di desanya. Kalau tidak ngomong soal masa mudanya pasti ngomong soal problematika dalam penggarapan sawah dan cara mengatasinya.
“Bagaimana ya kang rasanya di Padang Masyar, semua orang dikumpulkan menunggu datangnya hisab, sedangkan kita tahu manusia sangat bermacam-macam, ada yang shaleh dan ada yang kurang shaleh, ada yang adil ada juga yang dhalim, dan banyak tingkah polah manusia yang sulit untuk dipahami”
Kang Rojali dengan terheran-heran dan bingung dalam hatinya berbisik tumben Mbah Gapur berbicara hal-hal demikian.
“Kalau menurut pengajian yang pernah saya ikuti semua akan mempertanggung jawabkan apa yang sudah diperbuat selama hidupnya” jawab Kang Rojali sambil bingung.
“Kalau di Alam Kubur kang?” tanya Mbah Gapur lagi
“La Mbah Gapur ini bagai mana tho? Biasanyakan Mbah Gapur yang mengisi pengajian kami setiap malam minggu di masjid” jawab Kang Rojali tambah bingung lagi dengan perkataan Mbah Gapur.
*****
Kejadian yang sama juga terjadi ketika keesokan harinya yang dialami oleh Sidiq, cucu Mbah Gapur. Waktu itu ketika sore hari sesudah sholat ashar tiba-tiba Sidiq dipanggil Mbah Gapur. Kebetulan rumah Sidiq dekat dengan rumah Mbah Gapur. Memang anak Mbah Gapur yang juga ayah Sidiq, Jaelani. Sengaja setelah rumah tangga membuat rumah yang dekat dengan orang tuanya agar bisa mengurusi orang tuanya.
“Gus, sampeankan mengerti dan juga sudah belajar banyak dari pesantren, gimana ya suasananya alam kubur?” tanya Mbah Gapur.
“Mbah-mbah panjenengan itu ada-ada saja tanyanya”.
“Kalau dalam pujian-pujian sesudah adzan sebelum shalat itu diceritakan suaranya munkar nakir itu sangat menyeramkan”
“Itu juga penafsiran manusia mbah, kalau benar tidaknya itu ya wallahu a’lam” jawab Sidiq. Sambil agak bingung Sidiq balik bertanya karena biasanya Mbah Gapur lebih suka menasehati Sidiq agar hidup sebagai manusia sewajarnya.
“Tumben mbah bicara hal-hal yang begini, biasanya saja selalu memberi wejangan kepada saya agar saya menjadi manusia sewajarnya, kalau manusia ya berlaku seperti manusia bukan binatang atau yang lainya”.
“Ya sepertinya minggu depan saya akan ditanya Munkar dan Nakir gus”
“Mbah ini ngawur bicaranya” Sahut Sidiq.
*****
Sekarang tak terasa sudah tujuh hari Mbah Gapur meninggal dunia. Sejak perbincangan dengan Sidiq tiga hari terus-menerus Mbah Gapur selalu berbicara tentang kehidupan sesudah kematian. Dan bagi orang-orang dekat Mbah Gapur ini dianggap aneh. Dan setelah tiga hari tiba-tiba Mbah Gapur meninggal. Kini masjid Baitur Rahman tidak sebersih biasanya. Ada rencana ta’mir masjid untuk mengadakan kerja bakti seminggu sekali untuk membersihkanya. Dulu pasti setelah shalat shubuh ada suara “krek, krek, krek” suara sapu Mbah Gapur.
Pagi itu waktunya shalat shubuh dan biasanya yang menjadi imam adalah Mbah Gapur, tapi sekarang yang menjadi imam menggantikan Mbah Gapur adalah Kang Maksum. Ketika selesei shalat jamaah shubuh, dan para jamaah mau pulang, tiba-tiba terdengar suara aneh.
Suara itu “krek, krek, krek” dari sekitar masjid. Tiba-tiba Kang Maksum nyletup “Seperti suaranya Mbah Gapur sedang nyapu”. Dan saat itu juga semua jamaah keluar ke halaman masjid. Ketika semua jamaah melihat sekitar masjid sungguh aneh semua sudah bersih.
Blitar, 18 Mei 2011
[i] Nama lokasi salah satu persawahan di desa