Rabu, 30 Agustus 2017

ASONGAN; The Jongos Ways




Suara air mendidih yang kumasak mulai terdengar dari ruang tempatku bercengkrama dengan anakku. Suara itu membuatku langsung dengan sigap menyiapan cangkir dan segera saja kubuka satu sachet @#$&% coffe (di sensor merk kopinya akan saya tulis merknya sesuai pesanan yang mau sponsor merk kopi yang mau promosi produknya di coretan ini). Langsung ku buka kopi dalam gelas dan air yang mendidih kuangkat dan kutuang dalam seduhan kopi.
Kuambil sendok dan kuaduk dengan berputar searah jarum jam. Uap yang menusuk lubang hidungku membuat lidah semakin mau ngeces. Entah ada pengaruh apa saya tidak bisa menjelaskan lubang hidung yang tertusuk uap kopi tapi yang terkena dampak adalah lidah.

Hari ini saya agak heran, setan atau malaikat yang membisikku sekian lama saya tidak membuat coretan-coretan tiba-tiba saya rasanya ingin sekali membuka lepi dan menggoyang-goyangkan jariku. Rasanya jariku mulai kaku, maklum sudah kurang lebih setahun yang lalu terakhir kali jari-jariku berjoged dengan lepi. Kalaupun jariku memegang lepi mungkin hanya buat laporan bulanan, atau hanya tugas-tugas rutinitasku sebagai asongan.

Kata ‘Asongan’ ini dipopulerkan oleh Mahbub Al Farabi atau akrab di sapa dengan Kang Boby. Ia seorang dirigen di UPPKH Kabupaten Blitar. Karena dipopulerkan seorang dirigen jadi kata ini cepat populer di kalangan jongos seperti saya dan temen-temen yang lain. Bagi kami yang pernah di wilayah Kecamatan Sutojayan istilah asongan lebih populer dengan The Jongos asongan, itu bagi Farida Masrurin (Asongan sejati yang sering masuk the best profil Asongan). Jadi bagi kami “Pendamping is asongan. Pendamping is The Jongos. The Jongos is Asongan”.

*****

Kopiku sudah mulai agak dingin. “Sruput…..” entah kekuatan apa yang ada dalam kopi bisa membuat tubuh lebih fresh. Cuma setahuku caffeine yang bercampur dengan rasa pahit dan manis membuat lidah serasa ketagihan, perpaduan antara pahit dan manis membuat rasa nikmat yang luar biasa. Begitu juga dengan pengalamanku menjadi asongan, pengalaman pahit dan manis membuat diri semakin banyak belajar tentang hidup. Eh.. kagak nyambung, ini memang sengaja saya sambung-sambungin. Kalau mau protes silahkan! Pasti saya biarkan.

Asongan dan Pemberdayaan

“Pergi dan temui masyarakatmu. Hidup dan tinggalah bersama mereka. Cintai dan berkaryalah bersama. Mulai dari apa yang mereka miliki dan dari apa yang ada. Buat rencana lalu bangunlah rencana itu dari apa yang mereka ketahui. Sampai akhirnya, ketika pekerjaan usai, mereka akan berkata: Kamilah yang telah mengerjakannya” Lao Tze

Saya tahu ada syair sebagus itu kalau tidak salah sekitar tahun 2008. Kiranya saya harus banyak berterima kasih sama senior saya Putut Dairobi. Sebab dialah yang memperkenalkan saya pada syair itu. Syair dari Lao Tze itu cukup menginspirasi saya sebagai asongan dalam melakukan kegiatan. Syair Lao Tze bukanlah sebuah kutipan dari ayat-ayat kitab suci, bukan pula hadist yang bisa di jadikan dasar hukum. Tapi isinya tidak ada yang bertentangan dengan keduanya. Eits… saya jangan dituduh liberal, bid’ah, dan syirik karena syair itu cukup meninspirasi bagi saya. Kalaupun masih menuduh saya dengan itu ya saya biarkan untuk kedua kalinya.

Terima kasih lagi saya ucapkan kepada senior Putut Dairobi, berkat bimbingan dulu di Sekolah Rakyat metode Live In untuk mempelajari Participatory Rural Appraisal (PRA) kini sangat berguna untuk pemberdayaan. Mungkin dalam konteks asongan dan PRA memang berbeda tetapi tools (alat) ini sebagian masih relevan untuk menggali informasi di wilayah saya menjadi asongan.
Saya kira kurang afdol rasanya ketika menjadi The Jongos hanya berdiam tanpa melakukan apapun untuk perubahan-perubahan kecil. Selanjutnya saya renungi saya sebagai the jongos, ihtiyar semaksimal mungkin sudah lakukan hasilnya saya pasrahkan saja.

Asongan dan Paulo Freire

Saya bukan hendak menggurui tentang teori pendidikan kritis ala Paulo Freire, tapi saya sambung-sambungin lagi antara Asongan dengan Paulo Freire walaupun mungkin kagak nyambung. Kalau ada yang mau mendebat saya angkat tangan saya nyerah dan menyatakan kalah kalau berdebat tentang teori Pendidikan Kritis Paulo Freire.

Ini hanya pendapat saya saja, barang kali yang perlu di bangun oleh seorang asongan yang pertama kali adalah kesadaran kritisnya, saya meminjam istilah dari Paulo Freire --- Kalau sudah selesei saya kembalikan lagi karena saya meminjam --- yang dibangun pertama kali adalah critical consciousness.
Miris rasanya ketika melihat asongan yang lain dalam hal melakukan pertemuan kelompok tanpa ada pembelajaran. Mungkin ada juga asongan yang sangat rajin melakukan pertemuan kelompok karena memang akhir-akhir ini di tuntut oleh dirigen untuk melakukan Family Development Session (FDS bukan Full Day School).

Yang paling banyak saya dengar informasi sang asongan dalam melakukan pertemuan kelompok selalu melakukan hal-hal yang monoton dalam hal memberikan pendidikan. Sang Asongan hanya melakukan transformasi sesuai dengan tuntutan kerja saja. Tugas hanya dilakukan tanpa memikirkan seberapa efektif penyerapan pengetahuan yang diberikan. Atau mungkin secara kasar mereka tetap dibiarkan dengan tidak ketidaktahuan dan ketidakmengertian mereka.

Bagi saya Asongan seharusnya mampu memfasilitasi mereka hingga mampu mengerti, memahami masalah sosial mereka dan juga menjadi bagian dari solusi. Jadi jika asongan mampu melakukan ini, merekalah Paulo Freire yang sebenarnya karena mampu membangun kesadaran kritis di wilayah tugasnya masing-masing.

Qoute dari saya pas nglindur dan nglantur “Asongan idealnya menjadi jembatan untuk menyeleseikan masalah, bukan malah menjadi bagian dari masalah”

Asongan dan Humanism

Memanusiakan manusia istilah bekennya humanisme. Setiap manusia itu tidak sama, setiap manusia itu punya pikiran. Pikiran antara orang satu dengan orang lainnya tidak sama. Menjadi asongan setidaknya akan berinteraksi dengan manusia lainnya paling sedikit dengan seratus manusia lainnya. Dari sekian banyak orang itu tentu semuanya punya permasalahan yang berbeda dan pikiran yang berbeda pula.

Apalagi dalam kehidupan mereka pendidikan, lingkungan, pemahaman, mereka semua berbeda. Tentu bukan hal yang mudah untuk berkomunikasi dengan semuanya. Ada yang sedikit berbeda dengan yang lain itu sudah sangat yang wajar. Sebagai asongan ya harus tetap memperlakukan mereka sebagai manusia.

Bingung menuliskanya, pokoknya Asongan rasa humanismenya harus tetap diasah karena ini modal dasar bagi seorang asongan. Sudah gitu aja.

Merdeka,,, merdeka,,, merdeka,,,

Kopiku sudah habis. Belanda sudah pergi dari bumi nusantara. Ternyata sudah malam. Kuangkat gelas ternyata kopiku habis, kan sudah saya tulis tadi kalau kopiku sudah habis.

Blitar, 16 Agustus 2017