Selasa, 19 April 2016

JUDULNYA MENARIK


“Ide tanpa praksis adalah awang-awang. Praksis tanpa ide adalah arogan”

Sepuluh tahun yang lalu saya lulus dari sekolah yang namanya Sekolah Menengah Atas (SMA), di SMA kata Crisye adalah masa-masa paling indah. Itu kata Crisye, tapi bagiku tidak juga. Malah SMA adalah masa yang paling menegangkan ada rasa takut seperti dikejar-kejar hantu. Bagaimana tidak, pikiranku terus dihantui dengan nilai standar Ujian Akhir Nasional, dan jika nilai UAN saya di bawah standar maka saya tidak lulus dan termasuk kategori anak bodoh.

Sepuluh tahun yang lalu juga bagiku adalah masa pertemuan pertama kali aku dengan PMII. Karena pasca lulus SMA, saya memasuki memasuki perguruan tinggi dan bertemulah saya dengan organisasi kader yang bernama PMII. Kesan pertama menurutku tidak ada yang spesial sama sekali, saya hanya tertarik dengan sekomplotan orang berseragam yang ada logonya perisai dan di bagian belakang ada tulisan “Bongkar; diam tertindas atau bergerak melawan”. Mungkin saya belum ada chemistry jadi saya hanya cuek dan tak mau tahu tentang PMII. Saya orangnya tidak mudah untuk jatuh cinta jadi ya wajarlah.

Dalam acara kampus kegiatan pertama kali saya jalani adalah Orientasi Study Mahasiswa Baru (Osmaba). Di Osmaba ada materi khusus pengenalan PMII tapi sayapun juga belum bisa jatuh cinta pada PMII. Lagi-lagi perhatian saya hanya tertuju pada sekomplotan orang berseragam biru dan sebagian memakai jas berwarna biru laut.

Setelah kurang lebih satu bulan, saya di provokasi oleh sahabat saya, Chepto Rusdiyanto. Di awal perjumpaan ia mengklaim dirinya seorang seniman, pelukis, pemain teather. Ia mengajak saya untuk ikut Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA). Saya pun ikut kegiatan Mapaba. Kalau boleh jujur sebenarnya saya tertarik untuk mengikuti Mapaba karena saya membaca juklak di situ tertulis ada embel-embel NU. Maklumlah, saya yang waktu itu aktif di kegiatan ranting IPNU sebagai penggembira. Jadi kalau ada tulisan NU rasanya gimana gitu.

Masih terngiang di ingatan saya dalam acara Mapaba di Desa Bendelonje itu yang menjadi fasilitatornya adalah sahabat Putut Dairobi. Seorang yang teliti dan berpandangan luas, sampai-sampai teman saya yang namanya ***** (saya rahasiakan biar tambah greget dan penasaran) telah jatuh cinta kepada beliau. Katanya beberapa kali ia sms dan hasilnya not responded.

Pasca Mapaba ada yang beda dalam diri saya, tentu perbedaan yang saya alami adalah karena saya mulai jatuh cinta pada PMII. Sejak saat itu saya mulai ingin memahami PMII lebih dalam. Namanya juga jatuh cinta kalau saya penasaran dengan PMII ya saya cari tahu segala hal tentang PMII. Mulai dari bentuk organisasi, kegiatannya, pokoknya semuanya tentang PMII. Bahkan sampai sekarang makalah mulai dari Mapaba, Pelatihan Kader Dasar (PKD), Pelatihan Epistemologi, Pelatihan Sosiologi, Analisa Anggaran, dan semua pelatihan yang pernah saya ikuti di PMII masih saya simpan dan tertata rapi di lemari.

Kini sepuluh tahun sudah saya jatuh cinta pada PMII. Dan sampai sekarang juga masih cinta pada PMII. Bahkan semakin cinta. Mungkin tulisan ini adalah salah satu bukti cintaku. Tapi sebenarnya ini tidaklah cukup untuk membuktikan rasa cintaku, tapi tak apalah daripada tidak ada usaha sama sekali.

***

Ha… ha… ha… sebelum tulisan ini ditertawakan orang lain mendingan saya tertawakan dulu. Tulisan yang memang pantas untuk ditertawakan. Hanya tulisan esai, tulisan ini sangatlah tidak ilmiah, tanpa footnote, tanpa daftar rujukan, dan tanpa yang lain yang berbau ilmiah bahkan malah bercampur dengan curhat. Makanya tulisan ini ini tidak bisa diperdebatkan hanya bisa dibaca dan menjadi renungan. Tapi inilah saya, tulisan saya, dan hasilnya. Mau protes? Silahkan!

BUDAYA POP VS KADERISASI PMII

Yang perlu selalu diingat adalah PMII merupakan organisasi kader, bukan organisasi massa, organisasi profesional, ataupun juga organisasi hobi. jadi kaderisasi merupakan sesuatu yang sangat vital. Mau tidak mau, suka tidak suka, kaderisasi merupakah ruh organisasi ini. Saya yakin semua pasti sepakat organisasi ini harus lebih punya “taring”. Tentu semua itu tidak didapat secara gratis. Harus ada gerakan terutama kaderisasi. Ketika kaderisasi bisa berjalan dengan maksimal pasti taring itu akan muncul dengan sendirinya lewat ide, gagasan, dan pergerakan dari para kadernya.

Kalau boleh sedikit lebay, “Organisasi itu seperti api unggun, sedangkan kader itu seperti kayu bakar. Agar api itu terus menyala, tentu harus terus ada kayu bakar yang terus disiapkan” kata Fahri dalam film “Ayat-ayat Cinta” yang pernah terkenal pada waktu dulu.  Jadi kaderisasi haruslah tetap menjadi prioritas utama.

Setiap masa itu berbeda, begitu juga dengan situasi dan kondisi pola kaderisasi. Pola kaderisasi yang sukses dilakukan 20 tahun yang lalu belum tentu pas dan cocok jika diterapkan pada masa sekarang ini. Jangankan 20 tahun yang lalu 5 tahun yang lalu saja, pasti akan berbeda dengan sekarang.

Menurut saya yang sangat mempengaruhi dan menuntut adanya inovasi untuk sistem kaderisasi adalah Budaya Pop atau lebih mudahnya untuk mengenali yang menjadi cirinya adalah inginnya instan. Budaya pop selalu berubah dan muncul secara unik di berbagai tempat dan waktu. Budaya Pop membentuk arus dan pusaran, dan mewakili suatu perspektif interdependent-mutual yang komplek serta mempengaruhi nilai-nilai masyarakat dan lembaga-lembaga dengan berbagai cara.

Budaya Pop yang dicirikan dengan model gaya hidup trend serba instans berpotensi mengikis sistem kaderisasi PMII. Hal tersebut amat memungkinkan terjadi manakala tidak diantisipasi sejak dini. Layaknya sebuah musik pop, yang kemunculannya dan kemundurannya begitu cepat berlalu.

Bibit-bibit Budaya Pop di kalangan kader PMII bukan sesuatu yang mengada-ada. Salah satu indikasi tersebut adalah menguatnya ekspektasi menjadi kader PMII yang intelektual namun tanpa melalui proses berdiskusi, membaca, menulis bahkan berkarya. Ini harus menjadi peringatan dini (early warning) dan perhatian bersama bahwa untuk mengantisipasi merebaknya budaya Pop agar tidak semakin kronis menjangkiti kader PMII.

Ada sesuatu kata-kata yang menarik yang saya ingat tentang kaderisasi yaitu “Bagaimana kita masuk lewat pikiran mereka dan keluar melalui pikiran mereka”. Kata-kata ini patut kita renungkan bagaimana membuat pola atau sistem kaderisasi yang cocok untuk setiap masanya. Apa yang menjadi trend tidak harus dimusuhi, dicaci maki, dan dibenci habis-habisan tetapi itu dijadikan alat untuk “pintu masuk” di pikiran mereka. Apakah Anda bingung? Saya sendiri juga bingung.

Ketika ada yang bertanya “Lalu caranya bagaimana?” Maka jawaban saya “Mari kita pikirkan bersama-sama, karena kaderisasi adalah tanggung jawab bersama, baik pengurus maupun alumni”

Intinya adalah kembali ke awal tadi, Proses pengkaderan yang panjang dalam sebuah organisasi pergerakan bukanlah sebuah jalan panjang yang sia-sia. Justru proses pengkaderan yang dilalui dengan kesabaran dan ketelatenan akan membentuk citra diri kader PMII yang memiliki kepekaan sosial, sejarah, dan tentu saja intelektual.

Perkembangan teknologi, informasi, trend, gaya hidup, dan yang lainya yang ada hubungannya dengan prilaku budaya sehari-hari memang menjadi sebuah realitas yang tidak bisa dihindari. Namun satu hal yang menjadi catatan bersama, perkembangan dunia yang begitu cepat tidak lantas mengubah proses dan bertransformasi diri secara instans yang pada akhirnya setiap kegiatan keorganisasiaan seakan kehilangan nilai-nilai filosofis kelembagaannya.

Bahwa bergerak cepat dan berfikir matang memang menjadi kebutuhan diri setiap kader PMII untuk bisa beradaptasi dan berkembang di tengah kompetisi dunia. Ini menjadi sebuah keniscayaan. Tetapi, jangan sampai menggadaikan sifat kemanusiaan dan jati diri kader dengan mengembangkan sistem kaderisasi PMII yang minus kebermaknaan dan nilai-nilai filosofis.

PMII (ASWAJA) VS ISLAM “UNYU-UNYU”

Perlu diingat kembali lahirnya PMII, Bahwa PMII bukanlah organisasi yang berdiri tanpa ideologi. PMII lahir dari rahim NU, sedangkan NU mengusung paham Ahlu Sunah wal Jamaah. Begitu juga PMII dari kelahirannya sampai sekarang Aswaja merupakan salah satu materi wajib yang harusnya bisa tertanam dalam hati.

Dalam sejarah bangsa ini, juga tidak usah diragukan lagi baik NU maupun PMII yang lahirnya sebagai underbownya ini kontribusinya untuk bangsa ini sangatlah besar. Perubahan yang terjadi tak lepas dari peran PMII dalam lingkup yang lebih besar adalah NU.

Jadi teringat waktu mapaba dulu, materi Aswaja yang disampaikan mulai dari sejarah sampai pada pengertian dan beberapa mahdzab fiqih, tasawuf, dan teologi yang diikuti. Dan yang paling selalu ditekankan adalah tentang sikap tawasut, tawazun, i’tidal. Intinya tentang kemoderatan sikap.

Berbeda lagi saat Pelatihan Kader Dasar, materi Aswaja yang diberikan juga berbeda, kalau menurutku tidak berbeda tapi lebih ada penambahan tingkatan lagi, yang disampaikan bukan lagi aswaja sebagai madzhab qauly tetapi juga Aswaja sebagai manhajul fikr.

Waktu dulu, saat ada follow up yang dipandu sahabat Putut Dairobi, ia mengatakan bahwa posisi aswaja berada di tengah-tengah tidak ke kiri tidak juga ke kanan. Baik dalam bidang ideologi ekonomi, politik maupun keagamaan. Kalau saya boleh menyimpulkan Aswaja itu penyeimbang.

Saat itu saya jadi teringat beberapa makalah yang pernah saya baca, kalau dulu awal-awal PMII berdiri tantangannya adalah adanya dua ideologi yang bersebrangan yaitu ideologi kiri dan kanan dan itu sangat rawan bisa merasuki kader-kader PMII karena sikap kemoderatannya. Sayapun menemukan sebuah dokumen lama di mbah google yang menurut saya menarik. Yaitu tentang pernyataan sikap PMII di tahun 1961, yaitu isi dari deklarasi tawangmangu. Yang secara garis besar adalah tentang sikap PMII yaitu sosialisme Indonesia yang berbalut konsep aswaja. Perasaan saya meyakinkan kalau ini pasti ada juga pengaruh dari wacana-wacana kiri. Mungkin inilah salah satu yang dimaksud konsep istilah Al muhafadhatu 'ala al qadimi as-sholih wa alkhdu bi aljadidi al- ashlah.

Jadi terbayang dengan kondisi sekarang, lebih baik yang membaca tulisan ini tidak usah ikut membayangkan. Bisa cengar-cengir sendiri. Ini sudah terbukti dalam diri saya sendiri. Kini wacana-wacana kiri sudah tidak menarik lagi bagi kalangan anak-anak muda. Jangan-jangan ini juga menjangkiti kader PMII.

Saya usul saja, walaupun saya juga bingung usul kepada siapa. Kader PMII harusnya menguasai wacana kanan dan kiri terutama tokoh-tokohnya. Tetapi  jangan lupa juga menguasai wacana-wacana asli yang lahir dari tokoh-tokoh yang menjadi basis ideologi PMII yaitu Aswaja. Sebut saja pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun, Imam Nawawi, Imam Ghazali, KH. Hasyim Asy’ari, atau ulama-ulama lainnya.

Yang saya rasakan akhir-akhir ini, Aswaja yang menjadi dasar ideologi PMII mulai banyak tantangan terutama dari kalangan Islam “unyu-unyu”. Kalau kita fikir lagi, ancaman dan tantangan dari Islam “unyu-unyu” ini bukan hanya untuk kalangan Aswaja tetapi ini juga untuk bangsa ini. Mereka mulai merongrong negara ini. Kalau kader PMII ikut berperan aktif membentengi bangsa ini dari paham ideologi Islam “unyu-unyu” berarti kader PMII juga ikut menjaga negara dan bangsa ini dari ancaman.

Tidak usah muluk-muluk gerakannya untuk menangkal mereka cukup dengan gerakan “kembali ke masjid”. Sebenarnya ini gagasan lama tapi masih sangat relevan untuk dilakukan sampai sekarang. Gerakan Islam “unyu-unyu” yang paling banyak adalah penguasaan masjid-masjid kalau mau menghadangnya harus kembali ke masjid juga dong.

Kalau kader PMII sudah bisa kembali ke masjid barulah mengembalikan Islam yang sesuai dengan islam itu sendiri. Islam sebagai ‘agama intelek’ yang sangat inovatif dan menghargai kreativitas berfikir umatnya. Islam yang berbicara beragam isu dan tema: sejarah, kebudayaan, pendidikan, pengetahuan, teknologi, pluralitas suku-bangsa, kemajemukan agama, sosial-kemanusiaan, kemiskinan, kebodohan, lingkungan hidup, pelestarian alam, moralitas, perpolitikan, keadilan sosial, dan masih banyak lagi. Inikan gara-gara tingkah-polah sebagian kaum muslim yang “unyu-unyu”, Islam kemudian tampak seperti agama kaku yang seakan-akan Islam hanya mengurusi masalah remeh-temeh seperti pakaian, rambut, soal ritual, alam akhirat, siksa kubur, surga-neraka, bahkan sampai mengurusi “kafir”nya muslim lain seperti yang selama ini di gembar-gemborkan oleh kelompok Islam “unyu-unyu”. 

PMII DAN BUDAYA LITERASI DIALEKTIS

Banyak kata-kata yang menarik untuk diresapi misalkan dari Imam Ghazali “Sepudar-pudarnya tulisan, masih lebih baik daripada pikiran yang baik tapi tak terlestarikan”. Adalagi yang menarik dalam bukunya Pramoedya di tetralogi Pulau Buru. Dalam buku Semua Anak Bangsa Sang Mama mengatakan kepada Minke: “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari”. Atau dalam buku yang judulnya Rumah Kaca “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”

Ada juga bahasanya yang keren yaitu “Scripta manent verba volant” yang tertulis akan mengabadi yang yang tersuara akan berlalu bersama angin. Masih kurang? Ni ada lagi dari Stephen King “Menulis adalah mencipta, dalam suatu penciptaan seseorang mengarahkan tidak hanya semua pengetahuan, daya, dan kemampuannya saja, tetapi ia sertakan seluruh jiwa dan nafas hidupnya”. Menulis bukanlah suatu pekerjaan remeh yang dikesampingkan dan hanya meretas sebuah ide sesaat akan tetapi menghadirkan seluruh potensi yang ada kemudian dirangkai menjadi eksistensi diri, karena harus menyertakan seluruh jiwa dan nafas hidup. Menulis juga sebagai sebuah i’tikad untuk menembus ketidakmungkinan menuju kebisajadian, juga sebagai sebuah proses pembangunan artefak sejarah diri. 

Ada sebuah slentingan yang menarik saat waktu saya masih “unyu-unyu” kualitas seseorang itu bisa dilihat dari tulisanya. Saya rasa ada benarnya juga. Dulu senior kita semua, sahabat Mahbub Djunaedi terkenal sebagai pedekar pena, sekjendnya Said Budairi juga seorang yang aktif dalam menulis. Saya mengenal beliau, kalau Anda tidak mengenalnya, sungguh terlalu! Setidaknya ada tulisan-tulisan yang beliau tinggalkan, dari tulisan itu saya mengenal beliau. Tapi kini budaya literasi dialektis sepertinya sudah mulai hilang. 

Budaya menulis kini hanya dianggap sebagai kegiatan yang dilakukan oleh kalangan elit akademisi saja, bukan masuk dalam wilayah yang terjangkau oleh semua kalangan. Menulis dipandang ibarat memasuki sebuah hutan rimba yang belum jelas akan menemui apa, apakah akan jadi seorang yang berlimpah secara materi atau akan menjadi manusia dengan strata sosial yang tinggi, sehingga menjadikan seseorang enggan untuk menulis. Selain itu menulis juga menjadi ‘demit’ yang menakutkan karena harus melintasi kekramatan membaca buku.

Saya kasih tahu rahasia, tapi ini hanya rahasia kita saja. Kalau ada orang lain tanya jawabnya dengan berbisik saja. “Sekeren dan sekece apapun dirimu kalau tidak bisa menulis hilang itu semua”. Mari kita sepakati bersama. Menulis itu cerdas, menulis itu keren, menulis itu top pokoknya.

Siapapun dirimu, tapi masih merasa ada yang kurang. Kurang keren, kurang percaya diri, karena memang tampang pas-pasan. Saya sarankan menulislah, kembangkan budaya literasi dialektis. Ketika kamu sudah punya banyak tulisan, coba berdirilah di tengah-tengah keramaian pasar. Niscaya kamu akan kelihatan lebih kece dan percaya diri. Ngak percaya? Buktikan!


Blitar, 14 Maret 2016