“Ide tanpa praksis adalah
awang-awang. Praksis tanpa ide adalah arogan”
Sepuluh tahun
yang lalu saya lulus dari sekolah yang namanya Sekolah Menengah Atas (SMA), di
SMA kata Crisye adalah masa-masa paling indah. Itu kata Crisye, tapi bagiku
tidak juga. Malah SMA adalah masa yang paling menegangkan ada rasa takut
seperti dikejar-kejar hantu. Bagaimana tidak, pikiranku terus dihantui dengan
nilai standar Ujian Akhir Nasional, dan jika nilai UAN saya di bawah standar
maka saya tidak lulus dan termasuk kategori anak bodoh.
Sepuluh tahun yang lalu juga bagiku adalah masa pertemuan pertama
kali aku dengan PMII. Karena pasca lulus SMA, saya memasuki memasuki perguruan
tinggi dan bertemulah saya dengan organisasi kader yang bernama PMII. Kesan
pertama menurutku tidak ada yang spesial sama sekali, saya hanya tertarik
dengan sekomplotan orang berseragam yang ada logonya perisai dan di bagian
belakang ada tulisan “Bongkar; diam tertindas atau bergerak melawan”. Mungkin saya
belum ada chemistry jadi saya hanya
cuek dan tak mau tahu tentang PMII. Saya orangnya tidak mudah untuk jatuh cinta
jadi ya wajarlah.
Dalam acara kampus kegiatan pertama kali saya jalani adalah
Orientasi Study Mahasiswa Baru (Osmaba). Di Osmaba ada materi khusus pengenalan
PMII tapi sayapun juga belum bisa jatuh cinta pada PMII. Lagi-lagi perhatian
saya hanya tertuju pada sekomplotan orang berseragam biru dan sebagian memakai
jas berwarna biru laut.
Setelah kurang lebih satu bulan, saya di provokasi oleh sahabat saya,
Chepto Rusdiyanto. Di awal perjumpaan ia mengklaim dirinya seorang seniman,
pelukis, pemain teather. Ia mengajak saya untuk ikut Masa Penerimaan Anggota
Baru (MAPABA). Saya pun ikut kegiatan Mapaba. Kalau boleh jujur sebenarnya saya
tertarik untuk mengikuti Mapaba karena saya membaca juklak di situ tertulis ada
embel-embel NU. Maklumlah, saya yang waktu itu aktif di kegiatan ranting IPNU
sebagai penggembira. Jadi kalau ada tulisan NU rasanya gimana gitu.
Masih terngiang di ingatan saya dalam acara Mapaba di Desa
Bendelonje itu yang menjadi fasilitatornya adalah sahabat Putut Dairobi.
Seorang yang teliti dan berpandangan luas, sampai-sampai teman saya yang
namanya ***** (saya rahasiakan biar tambah greget dan penasaran) telah jatuh cinta
kepada beliau. Katanya beberapa kali ia sms dan hasilnya not responded.
Pasca Mapaba ada yang beda dalam diri saya, tentu perbedaan yang
saya alami adalah karena saya mulai jatuh cinta pada PMII. Sejak saat itu saya
mulai ingin memahami PMII lebih dalam. Namanya juga jatuh cinta kalau saya
penasaran dengan PMII ya saya cari tahu segala hal tentang PMII. Mulai dari bentuk
organisasi, kegiatannya, pokoknya semuanya tentang PMII. Bahkan sampai sekarang
makalah mulai dari Mapaba, Pelatihan Kader Dasar (PKD), Pelatihan Epistemologi,
Pelatihan Sosiologi, Analisa Anggaran, dan semua pelatihan yang pernah saya
ikuti di PMII masih saya simpan dan tertata rapi di lemari.
Kini sepuluh tahun sudah saya jatuh cinta pada PMII. Dan sampai
sekarang juga masih cinta pada PMII. Bahkan semakin cinta. Mungkin tulisan ini adalah
salah satu bukti cintaku. Tapi sebenarnya ini tidaklah cukup untuk membuktikan
rasa cintaku, tapi tak apalah daripada tidak ada usaha sama sekali.
***
Ha… ha… ha… sebelum tulisan ini ditertawakan orang lain mendingan
saya tertawakan dulu. Tulisan yang memang pantas untuk ditertawakan. Hanya
tulisan esai, tulisan ini sangatlah tidak ilmiah, tanpa footnote, tanpa daftar
rujukan, dan tanpa yang lain yang berbau ilmiah bahkan malah bercampur dengan
curhat. Makanya tulisan ini ini tidak bisa diperdebatkan hanya bisa dibaca dan
menjadi renungan. Tapi inilah saya, tulisan saya, dan hasilnya. Mau protes?
Silahkan!
BUDAYA POP VS KADERISASI PMII
Yang perlu
selalu diingat adalah PMII merupakan organisasi kader, bukan organisasi massa,
organisasi profesional, ataupun juga organisasi hobi. jadi kaderisasi merupakan
sesuatu yang sangat vital. Mau tidak mau, suka tidak suka, kaderisasi merupakah
ruh organisasi ini. Saya yakin semua pasti sepakat organisasi ini harus lebih
punya “taring”. Tentu semua itu tidak didapat secara gratis. Harus ada gerakan
terutama kaderisasi. Ketika kaderisasi bisa berjalan dengan maksimal pasti
taring itu akan muncul dengan sendirinya lewat ide, gagasan, dan pergerakan
dari para kadernya.
Kalau boleh sedikit lebay, “Organisasi itu seperti api unggun,
sedangkan kader itu seperti kayu bakar. Agar api itu terus menyala, tentu harus
terus ada kayu bakar yang terus disiapkan” kata Fahri dalam film “Ayat-ayat
Cinta” yang pernah terkenal pada waktu dulu. Jadi kaderisasi haruslah tetap menjadi
prioritas utama.
Setiap masa itu berbeda, begitu juga dengan situasi dan kondisi
pola kaderisasi. Pola kaderisasi yang sukses dilakukan 20 tahun yang lalu belum
tentu pas dan cocok jika diterapkan pada masa sekarang ini. Jangankan 20 tahun
yang lalu 5 tahun yang lalu saja, pasti akan berbeda dengan sekarang.
Menurut saya yang sangat mempengaruhi dan menuntut adanya inovasi
untuk sistem kaderisasi adalah Budaya Pop atau lebih mudahnya untuk mengenali
yang menjadi cirinya adalah inginnya instan. Budaya pop selalu berubah dan
muncul secara unik di berbagai tempat dan waktu. Budaya Pop membentuk arus dan
pusaran, dan mewakili suatu perspektif interdependent-mutual yang komplek serta
mempengaruhi nilai-nilai masyarakat dan lembaga-lembaga dengan berbagai cara.
Budaya Pop yang dicirikan dengan model gaya hidup trend serba instans berpotensi mengikis
sistem kaderisasi PMII. Hal tersebut amat memungkinkan terjadi manakala tidak
diantisipasi sejak dini. Layaknya sebuah musik pop, yang kemunculannya dan
kemundurannya begitu cepat berlalu.
Bibit-bibit Budaya Pop di kalangan kader PMII bukan sesuatu yang
mengada-ada. Salah satu indikasi tersebut adalah menguatnya ekspektasi menjadi
kader PMII yang intelektual namun tanpa melalui proses berdiskusi, membaca,
menulis bahkan berkarya. Ini harus menjadi peringatan dini (early warning) dan perhatian bersama bahwa untuk
mengantisipasi merebaknya budaya Pop agar tidak semakin kronis menjangkiti
kader PMII.
Ada sesuatu kata-kata yang menarik yang saya ingat tentang
kaderisasi yaitu “Bagaimana kita masuk lewat pikiran mereka dan keluar melalui
pikiran mereka”. Kata-kata ini patut kita renungkan bagaimana membuat pola atau
sistem kaderisasi yang cocok untuk setiap masanya. Apa yang menjadi trend tidak harus dimusuhi, dicaci
maki, dan dibenci habis-habisan tetapi itu dijadikan alat untuk “pintu masuk”
di pikiran mereka. Apakah Anda bingung? Saya sendiri juga bingung.
Ketika ada yang bertanya “Lalu caranya bagaimana?” Maka jawaban
saya “Mari kita pikirkan bersama-sama, karena kaderisasi adalah tanggung jawab bersama,
baik pengurus maupun alumni”
Intinya adalah kembali ke awal tadi, Proses pengkaderan yang
panjang dalam sebuah organisasi pergerakan bukanlah sebuah jalan panjang yang
sia-sia. Justru proses pengkaderan yang dilalui dengan kesabaran dan
ketelatenan akan membentuk citra diri kader PMII yang memiliki kepekaan sosial,
sejarah, dan tentu saja intelektual.
Perkembangan teknologi, informasi, trend, gaya hidup, dan yang lainya yang ada hubungannya dengan
prilaku budaya sehari-hari memang menjadi sebuah realitas yang tidak bisa
dihindari. Namun satu hal yang menjadi catatan bersama, perkembangan dunia yang
begitu cepat tidak lantas mengubah proses dan bertransformasi diri secara
instans yang pada akhirnya setiap kegiatan keorganisasiaan seakan kehilangan
nilai-nilai filosofis kelembagaannya.
Bahwa bergerak cepat dan berfikir matang memang menjadi kebutuhan
diri setiap kader PMII untuk bisa beradaptasi dan berkembang di tengah
kompetisi dunia. Ini menjadi sebuah keniscayaan. Tetapi, jangan sampai
menggadaikan sifat kemanusiaan dan jati diri kader dengan mengembangkan sistem
kaderisasi PMII yang minus kebermaknaan dan nilai-nilai filosofis.
PMII (ASWAJA) VS ISLAM “UNYU-UNYU”
Perlu diingat
kembali lahirnya PMII, Bahwa PMII bukanlah organisasi yang berdiri tanpa
ideologi. PMII lahir dari rahim NU, sedangkan NU mengusung paham Ahlu Sunah wal
Jamaah. Begitu juga PMII dari kelahirannya sampai sekarang Aswaja merupakan
salah satu materi wajib yang harusnya bisa tertanam dalam hati.
Dalam sejarah
bangsa ini, juga tidak usah diragukan lagi baik NU maupun PMII yang lahirnya
sebagai underbownya ini kontribusinya untuk bangsa ini sangatlah besar.
Perubahan yang terjadi tak lepas dari peran PMII dalam lingkup yang lebih besar
adalah NU.
Jadi teringat
waktu mapaba dulu, materi Aswaja yang disampaikan mulai dari sejarah sampai
pada pengertian dan beberapa mahdzab fiqih, tasawuf, dan teologi yang diikuti.
Dan yang paling selalu ditekankan adalah tentang sikap tawasut, tawazun, i’tidal.
Intinya tentang kemoderatan sikap.
Berbeda lagi
saat Pelatihan Kader Dasar, materi Aswaja yang diberikan juga berbeda, kalau
menurutku tidak berbeda tapi lebih ada penambahan tingkatan lagi, yang
disampaikan bukan lagi aswaja sebagai madzhab qauly tetapi juga Aswaja sebagai manhajul fikr.
Waktu dulu,
saat ada follow up yang dipandu sahabat Putut Dairobi, ia mengatakan bahwa
posisi aswaja berada di tengah-tengah tidak ke kiri tidak juga ke kanan. Baik
dalam bidang ideologi ekonomi, politik maupun keagamaan. Kalau saya boleh menyimpulkan
Aswaja itu penyeimbang.
Saat itu saya
jadi teringat beberapa makalah yang pernah saya baca, kalau dulu awal-awal PMII
berdiri tantangannya adalah adanya dua ideologi yang bersebrangan yaitu
ideologi kiri dan kanan dan itu sangat rawan bisa merasuki kader-kader PMII karena
sikap kemoderatannya. Sayapun menemukan sebuah
dokumen lama di mbah google yang
menurut saya menarik. Yaitu tentang pernyataan sikap PMII di tahun 1961, yaitu
isi dari deklarasi tawangmangu. Yang secara garis besar adalah tentang sikap
PMII yaitu sosialisme Indonesia yang berbalut konsep aswaja. Perasaan saya
meyakinkan kalau ini pasti ada juga pengaruh dari wacana-wacana kiri. Mungkin
inilah salah satu yang dimaksud konsep istilah Al muhafadhatu 'ala al
qadimi as-sholih wa alkhdu bi aljadidi al- ashlah.
Jadi
terbayang dengan kondisi sekarang, lebih baik yang membaca tulisan ini tidak
usah ikut membayangkan. Bisa cengar-cengir
sendiri. Ini sudah terbukti dalam diri saya sendiri. Kini wacana-wacana kiri
sudah tidak menarik lagi bagi kalangan anak-anak muda. Jangan-jangan ini juga
menjangkiti kader PMII.
Saya usul saja, walaupun saya juga bingung usul kepada
siapa. Kader PMII harusnya menguasai wacana kanan dan kiri terutama
tokoh-tokohnya. Tetapi jangan lupa juga
menguasai wacana-wacana asli yang lahir dari tokoh-tokoh yang menjadi basis
ideologi PMII yaitu Aswaja. Sebut saja pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun, Imam
Nawawi, Imam Ghazali, KH. Hasyim Asy’ari, atau ulama-ulama lainnya.
Yang saya
rasakan akhir-akhir ini, Aswaja yang menjadi dasar ideologi PMII mulai banyak
tantangan terutama dari kalangan Islam “unyu-unyu”. Kalau kita fikir lagi,
ancaman dan tantangan dari Islam “unyu-unyu” ini bukan hanya untuk kalangan
Aswaja tetapi ini juga untuk bangsa ini. Mereka mulai merongrong negara ini.
Kalau kader PMII ikut berperan aktif membentengi bangsa ini dari paham ideologi
Islam “unyu-unyu” berarti kader PMII juga ikut menjaga negara dan bangsa ini
dari ancaman.
Tidak usah
muluk-muluk gerakannya untuk menangkal mereka cukup dengan gerakan “kembali ke
masjid”. Sebenarnya ini gagasan lama tapi masih sangat relevan untuk dilakukan
sampai sekarang. Gerakan Islam “unyu-unyu” yang paling banyak adalah penguasaan
masjid-masjid kalau mau menghadangnya harus kembali ke masjid juga dong.
Kalau
kader PMII sudah bisa kembali ke masjid barulah mengembalikan Islam yang sesuai
dengan islam itu sendiri. Islam sebagai ‘agama intelek’ yang sangat inovatif dan
menghargai kreativitas berfikir umatnya. Islam yang berbicara beragam isu dan
tema: sejarah, kebudayaan, pendidikan, pengetahuan, teknologi, pluralitas
suku-bangsa, kemajemukan agama, sosial-kemanusiaan, kemiskinan, kebodohan,
lingkungan hidup, pelestarian alam, moralitas, perpolitikan, keadilan sosial,
dan masih banyak lagi. Inikan gara-gara tingkah-polah sebagian kaum muslim yang
“unyu-unyu”, Islam kemudian tampak seperti agama kaku yang seakan-akan Islam hanya
mengurusi masalah remeh-temeh seperti pakaian, rambut, soal ritual, alam
akhirat, siksa kubur, surga-neraka, bahkan sampai mengurusi “kafir”nya muslim
lain seperti yang selama ini di gembar-gemborkan oleh kelompok Islam “unyu-unyu”.
PMII DAN BUDAYA LITERASI DIALEKTIS
Banyak
kata-kata yang menarik untuk diresapi misalkan dari Imam Ghazali
“Sepudar-pudarnya tulisan, masih lebih baik daripada pikiran yang baik tapi tak
terlestarikan”. Adalagi yang menarik dalam bukunya Pramoedya di tetralogi Pulau
Buru. Dalam buku Semua Anak Bangsa Sang Mama mengatakan kepada Minke: “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa
pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai
jauh, jauh di kemudian hari”. Atau dalam buku yang judulnya Rumah Kaca “Orang
boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di
dalam masyarakat dan dari sejarah.”
Ada juga bahasanya
yang keren yaitu “Scripta manent verba
volant” yang tertulis akan mengabadi yang yang tersuara akan berlalu
bersama angin. Masih kurang? Ni ada lagi dari Stephen King “Menulis adalah
mencipta, dalam suatu penciptaan seseorang mengarahkan tidak hanya semua
pengetahuan, daya, dan kemampuannya saja, tetapi ia sertakan seluruh jiwa dan
nafas hidupnya”. Menulis bukanlah suatu pekerjaan remeh yang
dikesampingkan dan hanya meretas sebuah ide sesaat akan tetapi menghadirkan
seluruh potensi yang ada kemudian dirangkai menjadi eksistensi diri, karena
harus menyertakan seluruh jiwa dan nafas hidup. Menulis juga sebagai sebuah
i’tikad untuk menembus ketidakmungkinan menuju kebisajadian, juga sebagai sebuah proses pembangunan artefak sejarah diri.
Ada sebuah slentingan yang menarik saat waktu
saya masih “unyu-unyu” kualitas seseorang itu bisa dilihat dari tulisanya. Saya
rasa ada benarnya juga. Dulu senior kita semua, sahabat Mahbub Djunaedi
terkenal sebagai pedekar pena, sekjendnya Said Budairi juga seorang yang aktif
dalam menulis. Saya mengenal beliau, kalau Anda tidak mengenalnya, sungguh
terlalu! Setidaknya ada tulisan-tulisan yang beliau tinggalkan, dari tulisan
itu saya mengenal beliau. Tapi kini budaya literasi dialektis sepertinya sudah
mulai hilang.
Budaya menulis kini hanya dianggap sebagai kegiatan yang
dilakukan oleh kalangan elit akademisi saja, bukan masuk dalam wilayah yang
terjangkau oleh semua kalangan. Menulis dipandang ibarat memasuki sebuah hutan rimba yang belum
jelas akan menemui apa, apakah akan jadi seorang yang berlimpah secara materi
atau akan menjadi manusia dengan strata sosial yang tinggi, sehingga menjadikan
seseorang enggan untuk menulis. Selain itu menulis juga menjadi ‘demit’ yang
menakutkan karena harus melintasi kekramatan membaca buku.
Saya kasih tahu
rahasia, tapi ini hanya rahasia kita saja. Kalau ada orang lain tanya jawabnya
dengan berbisik saja. “Sekeren dan sekece apapun dirimu kalau tidak bisa
menulis hilang itu semua”. Mari kita sepakati bersama. Menulis itu cerdas,
menulis itu keren, menulis itu top pokoknya.
Siapapun dirimu,
tapi masih merasa ada yang kurang. Kurang keren, kurang percaya diri, karena
memang tampang pas-pasan. Saya sarankan menulislah, kembangkan budaya literasi
dialektis. Ketika kamu sudah punya banyak tulisan, coba berdirilah di tengah-tengah
keramaian pasar. Niscaya kamu akan kelihatan lebih kece dan percaya diri. Ngak
percaya? Buktikan!
Blitar, 14 Maret
2016