Dalam pandemi covid-19 semua kegiatan dibatasi. Ini berdampak pada aktivitas di luar rumah. Kegiatan di luar rumah tentu hanya dilakukan jika memang mendesak saja dan benar-benar penting. Hal ini tentu bagi sebagian orang menjadi kebingungan aktivitas lain di rumah. Tak terkeculi juga saya. Tentu saja ada kegiatan yag mungkin bisa bermanfat, aktivitas merawat tanaman bisa jadi alternatif untuk aktivitas sambil berolahraga.
Banyak tanaman yang menurut saya bisa kita budidaya mulai dari bunga, sayuran, dn buah-buahan. Sawo salah satunya buah favorit saya.
Mitos Pohon Sawo Rumah Gendruwo
Bagi masyarakat banyak mitos bahwa Pohon Sawo adalah rumah Gendruwo. Jadi teringat waktu kecil, dulu salah satu rumah Simbah ada pohon sawo yang sangat besar saking besarnya bisa jadi usianya lebih dari satu abad, tetapi ini pohon itu sudah di potong. Seringkali setelah pulang sekolah selalu mencari sawo yang jatuh dan juga mencari kecik karena jatuh yang buahnya dimakan kelelawar, dan kecik itu untuk mainan. Mungkin masih ingat dengan permainan 'kecikan'.
Tak terkecuali kadang-kadang juga mencari pohon sawo pada malam hari. Karena dulu masih banyak anak-anak dan para remaja saat malam tidur di mushola karena pohon sawo dengan musola tidak jauh sebelum tidur 'nglitih' cari sawo yang jatuh. Dan Gendruwo tidak pernah mendekat menampakkan diri. hehehe mungkin enggan.
Tapi kini sekarang jadi tahu bahwa ternyata pohon sawo rumah Gendruwo hanya mitos. Tapi yang pasti adalah bahwa di sekitar pohon memang ada kekuatan besar yang siap bergerak dan digerakkan, bahkan bisa jadi menjadi penggerak.
Belajar dari Sawo Kecik
Sebagai orang jawa tentu kita tahu bahwa pada masyarakat jawa itu, tanpa kita sadari banyak prasasti yang menjadi simbol-simbol tentang kehidupan. Tak terkecuali Pohon Sawo.
Dari segi nama, “sawo kecik” berasal dari kata “sarwo becik” dimana “sarwo” bermakna “serba” dan “becik” bermakna “baik”. Sawo kecik mengajarkan bahwa dalam kehidupan ini kita hendaknya selalu menjadi manusia yang serba baik sejak dari pikiran hingga tindakan.
Ciri pohon sawo adalah batang tunggal yang tegak, besar, dan nampak gagah. Selain itu, bagian tajuknya lebar, teduh, dan mampu menaungi. Hal ini mengajarkan kita bahwa hendaknya dalam membawa atau memperjuangkan “becik” tadi itu kita harus tegar, kuat, gagah, terhadap apapun yang menghalangi terwujudnya “becik” tadi. Nilai “becik” harus selalu dibawa dalam kehidupan, namun demikian kita juga harus mampu menaungi, memberi kesejukan, menebar kebaikan, layaknya tajuk pohon sawo kecik yang senantiasa menyejukkan suhu udara sekitarnya, menebarkan kemanfaatan untuk kehidupan di sekitarnya.
Dari segi tajuk, sawo kecik memiliki bentuk berupa kubah membulat, dari bawah lebar, kemudian semakin ke atas semakin mengecil menuju satu titik di paling atas. Ini bermakna sebuah filosofi bahwa dalam kehidupan ini hendaknya kita senantiasa “melebarkan” kebermanfaatan kita pada sesama, namun kita juga harus seperti bagian atas tajuk yang menuju ke atas, maka kita juga harus berorientasi menuju Tuhan, yaitu berkaitan dengan ibadah kita agar mengantarkan pada tujuan akhir setelah kematian.
Permukaan helaian daun sawo kecik berbeda antara bagian atas dan bawahnya. Daun bagian atas berwarna hijau tua agak mengkilap, sedang bagian bawah berwarna abu-abu cerah hampir keperakan. Ini memberikan makna bahwa kebaikan itu tidak perlu selalu diumbar atau diberitakan. Layaknya warna terang daun sawo kecik yang ia sembunyikan di permukaan bawah helaian, memberikan makna akan sifat tulus ikhlas.
Sawo; Isyarat Untuk Bersatu
Pernah saya mebaca buku ada hal unik dalam simbol pohon sawo. Beberapa penjelasan yang saya ingat bahwa Belanda selalu kalah dalam melawan Pangeran Dipnegoro bahkan mengalami kebangkrutan yang luar biasa. Akhirnya, beberapa kali Belanda meminta berunding untuk damai. Tapi oleh Pangeran Diponegoro ditolaknya. Pihak Belanda melakukan segala cara untuk bertemu dan berunding dengan Diponegoro termasuk meminta bantuan kepada siapapun yang bisa membantu.
Akhirnya, di hari raya Idul Fitri Pangeran Diponegoro mau menerima tawaran Belanda, tapi bukan untuk berunding melainkan bersilaturrahim karena momen lebaran. Selain itu syarat yang diajukan Pangeran Diponegoro adalah pihak Belanda tidak boleh membawa senjata. Pihak Belanda menyetujuinya.
Tepat di hari raya kedua pertemuan itu berlangsung. Akan tetapi, Belanda mengingkari janjinya. Bahkan pihak Belanda juga membawa senjata lengkap juga pasukannya. Akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap. Karena Pangeran Diponegoro seorang yang waskita maka dihadapinya dengan tenang dan tidak melakukan perlawanan.
Dalam keadaan tenang itulah Pangeran Diponegoro membisikkan pesan terakhir kepada kiai Badrudin untuk segera menanam pohon sawo. Kemudian kiai Badrudin menyampaikannya kepada para kiai lainya. Para kiai tersebut merupakan para kiai yang mempunyai kelebihan, linuih, atau karomah. Kemudian para kiai menanamnya di depan pesantren dan masjid sebagai sandi bagi laskar Diponegoro untuk terus menghimpun kekuatan melakukan perlawanan kepada penjajah Belanda.
Mengapa Harus Sawo, Kok Bukan Pohon Lain?
Sawo berasal dari bahasa Arab, sawwu shufuufakum (luruskan/ rapatkan barisan). Hal ini sesuai dengan pepatah, sawwuu shufuufakum fainna tashwiyatashufuufi min tamaamil harakah (rapatkan barisan karena merapatkan barisan prasyarat bagi suksesnya perjuangan).
Perintah ini menyebar ke berbagai pelosok dan pesantren. Sehingga dalam waktu singkat pohon sawo telah ditanam di pesantren, masjid, musola mulai dari Banten, Magelang hingga Banyuwangi paling banyak wilayah Jawa bagian selatan. Bahkan di Sulawesi dan Lampung dan beberapa daerah lainnya terdapat pusat perlawanan yang sama.
Blitar, 28 Juli 2021