Selasa, 10 Agustus 2021

GABUT III; BARITAN DAN TAKIR




Tepat satu tahun dalam kalender hijriah saya merasakan munculnya kesadaran kolektif masyarakat dalam beragama. Saya melihat dan merasakan kini banyak orang lebih saleh, baik dalam hal saleh ritual maupun saleh sosial. Banyaknya acara-acara agama doa bersama seperti istighosah, doa untuk keselamatan bangsa agar bisa menang melawan covid 19 yang diikuti banyak orang walaupun dengan virtual.

Mulai kemarin sore sampai sore ini tadi tentu akan banyak kita temui orang berbondong-bondong membawa sedekah berupa makanan yang diwadahi daun pisang. kemudian mereka berkumpul di perempatan kemudian memanjatkan doa untuk menolak bala'. Dalam tradisi Jawa ini dikenal dengan nama baritan.

Baritan sepemahaman saya berasal dari dua istilah. Yang pertama adalah baritan berarti lebar rit-ritan. Dalam istilah ini sebenarnya baritan tidak hanya dilakukan pada bulan suro saja tetapi di beberapa tempat model baritan ini dilakukan untuk upacara adat setelah panen raya. Ini sebagai rasa syukur kepada Tuhan karena dilimpahkan rezeki yang berasal dari bumi berupa hasil bercocok tanam (wit-witan/ pohon). Dan berdoa supaya ke depan akan ditambah lagi rezekinya.

Baritan dalam arti lebar rit-ritan juga dikenal dengan nama sedekah bumi, biasanya yang dijadikan untuk tasyakuran adalah hasil panen yang bersumber dari bumi berupa makanan. baik itu makanan yang ditegorikan dalam tiga jenis tanaman yaitu kolo kependem, kolo kesampar, dan kolo gumantung. Kolo kependem contohnya umbi, singkong, kentang atau jenis yang terpendam dalam tanah. kolo kesampar contohnya waluh atau labu, dan sebagainya. Sedangkan kolo gumantung contohnya pisang, kelapa, dan lain-lain.

Untuk istilah baritan yang kedua adalan dari kata wiritan (wiridan). Kemudian mengalami adaptasi dengan lidah orang jawa menjadi baritan. Tentu dalam ajaran Islam setiap akhir tahun dan awal tahun dalam kalender hijriah yaitu akhir bulan dzuhijah dan awal bulan muharram. Kalau dalam istilah bulan jawa akhir "besar" awal suro, disunnahkan untuk membaca amalan doa akhir tahun dan awal tahun beserta wiridnya. Kemudian dari kata wiridan ini menjadi baritan.

Lalu Mengapa Orang-Orang Membawa Sedekah?

Bulan suro atau muharram adalah bulan sangat dihormati. Saking menghormatinya masyarakat Jawa tidak diperbolehkan untuk mengadakan kegiatan atau hajatan. Tentu kita tahu dalam Islam peistiwa-peristiwa penting bayak terjadi dibulan suro/ muharram diantaranya (1) Nabi Adam 'alaihissalam bertobat kepada Allah dari dosa-dosanya dan tobat tersebut diterima oleh-Nya. (2) Berlabuhnya kapal Nabi Nuh di bukit Zuhdi dengan selamat, setelah dunia dilanda banjir yang menghanyutkan dan membinasakan. (3) Selamatnya Nabi Ibrahim 'alaihissalam dari siksa Namrud, berupa api yang membakar. (4) Nabi Yusuf 'alaihissalam dibebaskan dari penjara Mesir karena terkena fitnah. (5) Nabi Yunus 'alaihissalam selamat, keluar dari perut ikan hiu. (6) Nabi Ayyub 'alaihissalam disembuhkan Allah dari penyakitnya yang menjijikkan. (7) Nabi Musa 'alaihissalam dan umatnya kaum Bani Israil selamat dari pengejaran firaun di laut merah. Dan masih banyak lagi

Rata-rata kejadian-kejadian penting di bulan ini adalah berakhirnya ujian, cobaan, musibah, sehingga dalam baritan permohonan atau doa-doa yang dipanjatkan untuk tala' bala'. Sedangkan sedekah wujud pengejawentahan dari hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: “assodaqotu lidaf’il bala’ “. Jadi, sesungguhnya sedekah dapat memelihara kita dari bala atau kesusahan, karena kedatangan bala tidak pernah mendahului sedekah.

Takir, Mau Dong!!

Saat baritan digelar warga yang datang di tempat ini harus membawa 'takir', yaitu nasi yang sudah dilengkapi lauk pauk. Takir merupakan salah satu dari banyak bentuk/ kreasi wadah makanan yang dibuat dari daun pisang. Selain takir ada juga wadah atau bungkus makanan lain dari daun pisang seperti pincuk, sumpil, terpelang, tum, sudi, pasung, pinjung dll.

Jenis takir yang dibawa adalah jenis takir plontang, yaitu nasi kuning tersebut harus dibawa dengan wadah yang terbuat dari daun pisang yang dibentuk seperti panci, lalu di atasnya dibalut janur atau ada hiasan janurnya (daun muda dari tumbuhan kelapa). Acara baritan dilakukan di perempatan. Alasan dilaksanakan di perempatan karena untuk mengusir semua bahaya yang akan datang dari empat penjuru (barat, selatan, timur, dan utara).

Janur dari kata jaa a nuur yang berarti telah datang cahaya. Karena pada bulan muharaam dulu berakhirnya musibah, ujian, cobaan, maka cahaya itu telah datang. Jadi  cahaya itu harus jemput tidak ditunggu. Dengan apa? Ya dengan takir, masak denganmu.

Kata takir  singkatan dari "nata" karo "mikir" (menata dan berpikir) yang bermakna bahwa dalam kehidupan senantiasa harus mempertimbangkan dan menata setiap langkah yang diambil dengan pemikiran tenang, seksama, mendalam, dan berhati-hati agar mendapatkan hasil yang terbaik.

Dalam membuat takir juga diperlukan keseimbangan serta keselarasan antara kedua sisi agar takir bisa berdiri kokoh dan berguna. Artinya dalam kehidupan diperlukan keseimbangan, harmonisasi dan keselarasan/ keserasian dalam segala hal agar tidak "njomplang" karena berat sebelah terutama dalam bersikap.

Lidi yang tajam dan keras berfungsi mengunci takir agar tetap pada bentuknya dan kokoh. Lidi merupakan lambang dari niat, tekad, dan keteguhan hati agar tidak mudah jatuh, putus asa, serta gigih menjalani kehidupan

Tak terasa bumi berputar seakan lebih cepat dari biasanya. Rasanya masih kemarin lusa, ternyata sudah genap satu tahun lalu masih awal ramenya pandemi covid-19 dan sekarang juga masih keadaan yang sama. Tradisi yang dilakukan masyarakat Jawa terutama yang paling banyak di pedesaan upacara adat yang dilakukan pada bulan muharram atau lebih di kenal dengan bulan suro ini.

Dalam bingkai doa semua masyarakat mudah-mudahan pandemi ini segera berlalu. Amiin..


Blitar, 10 Agustus 2021