Selasa, 17 Agustus 2021

We Are Sarungan & Kemerdekaan Indonesia

 



Apakah Anda suka memakai sarung, kalau iya berarti kita sama. Jadi, toss dulu... Bagi saya sarung masuk kategori kebutuhan primer, karena memakai sarung lebih sering dibandingkan pakai celana panjang apalagi pakai jin. Eh salah jeans maksud saya. Di dalam almari pakaian saya jika dibuka dan dihitung sarung jumlahnya lebih banyak daripada celana saya. Maklum hidup di desa aktivitas sehari-hari kalau di rumah lebih enak pakai sarung.

Sore setelah mandi sudah pakai sarung, sholat pakai sarung, slametan pakai sarung, ke warung pakai sarung, ngopi pakai sarung, ke masjid pakai sarung. Kalau pakai sarung bisa sat set wat wet sudah beres. Bahkan sering saya lihat memakai sarung sambil jalan. Selain cepat pakai sarung juga esis. Ada hal lain lagi yaitu juga gaul.

Bagi saya yang hidup di pedesaan lebih sering melihat pebedaan pemakaian sarung saat sholat jum'at. Saya amati para mukimin (makmum sholat jum'at warga lokal, bingung cari bahasanya) sholat jumat paling banyak adalah penduduk asli desa, dan yang tidak pakai sarung adalah alias pakai celana biasanya adalah tamu atau pendatang. Hal yang sama saya alami ketika sholat jumat tidak di masjid dekat rumah juga pakai celana.

Sarung mempunyai dua makna filosofi. Filosofi serius dan filosofi guyon. Sarung dalam makna filosofi yang serius mempunyai filosofi tinggi, saya mengartikan sarung ialah “sarune dikurung” (sarung). Artinya, sarung merupakan instruksi kehidupan, agar manusia mengedepankan rasa malu, tidak sombong, tidak arogan, apalagi sembrono. Karena itu, dalam masyarakat saling menghormati diutamakan, serta saling tolong-menolong, bukan totong-mentotong. Manusia mempunyai lima dimensi yang harus dikendalikan; pikiran (akal), perasaan (hati), ucapan, tindakan, dan hawa nafsu. Dan “sarung (sarune dikurung)” mempunyai makna agar manusia mampu mengendalikan hawa nafsunya.

Sarung dalam makna filosofi guyon adalah Sangkar Burung (Sarung). Karena selain berfungsi biar kelihatan kece dan gaul fungsi lainnya adalah sebagai sangkar burung. Yang jadi pertanyaan burung yang mana? Maka saya jawab "Burung yang itu tu. Masak gak paham. Kalau masih belum paham juga jika memakai sarung, masuklah ke kamar yang ada cerminya, kemudian lepaslah sarungnya maka akan kelihatan burungnya.

*********

Jauh sebelum negeri ini merdeka, tepatnya pada masa kolonialisme, sarung menjadi simbol perlawanan. Sebuah simbol untuk melawan kemapanan jas, dasi, dan celana panjang yang diperkenalkan oleh penjajah.
من تشبه بقوم فهو منهم menjadi semangat tersendiri dalam bersarung.

Masih pada zaman bangsa ini belum merdeka, orang-orang bersarung telah membentuk pasukan khusus dalam rangka merebut kemerdekaan Indonesia. Pasukan itu adalah Laskar Sabilillah, KH. Maskjur sebagai komandanya, kemudian laskar hizbullah ada KH. Zainul Arifin sebagai sang pimpinan, dan ada juga barisan kyai yang dipimpin langsung oleh KH. Wahab Hasbullah. Tiga pasukan bersarung ini juga yang mati-matian dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia ketika sekutu datang lagi ke Indonesia. Dengan resolusi jihad yang difatwakan oleh Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy'ari tentu menjadi semangat dalam pertempuran 10 November 1945.

Identitas bersarung terbawa sampai masa kemerdekaan dan kemudian menjadi identitas kaum santri. Sampai-sampai, dalam sebuah kisah yang telah beredar luas diceritakan, KH Abdul Wahab Chasbullah datang memakai sarung, ketika memenuhi undangan Presiden Sukarno ke Istana Negara. Padahal pada zaman itu, 'bergaya' haruslah pakai celana, jas, dan dasi. Tapi rumus itu tidak berlaku pada diri Kiai Wahab. Kiai Wahab bilang, dengan sarung juga bisa bergaya

Teringat obrolan menarik dari orang pendiri bangsa ini yaitu KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Presiden Soekarno. “Pak Kyai, apakah itu Islam?” Kemudian Kyai Wahab menjawab tegas, “Nasionalisme ditambah bismillah, itulah Islam. Kalau Islam dilaksanakan dengan benar, pasti umat Islam akan nasionalis”

Selain Mbah Hasyim, Mbah Wahab, Mbah Bisri, masih banyak lagi peran dan jasa yang gemar bersarung dalam membuat pondasi negeri ini. Misalnya Habib Husein Muthohar pencipta lagu kebangsaan seperti Syukur dan padamu negeri, Habib Ali Alhabsy (Kwitang) penentu waktu dan hari proklamasi kemerdekaan, Habib Idrus Al Jufri penggagas bendera merah putih, Habib Sultan Abdul Hamid II perancang lambang Garuda. Ada KH. Wahid Hasyim, KH. Maskjur, dan banyak lagi kyai-kyai lainnya yang tergabung dalam BPUPKI dan PPKI. Maka tak heran jika bersarung adalah bagain dari kemerdekaan. Kini tak terasa 76 tahun sudah Indonesia merdeka. Dan tentunya makin bangga bersarung.

Dr. Douwes Dekker mengatakan "Kalau tidak ada semangat Islam di Indonesia, sudah lama nasionalisme (kebangsaan) yang seenarnya lenyap dari negeri ini"

Dr. Soetomo pendiri Budi Oetomo juga pernah mengatakan, “Lihatlah buah dari perguruan asli kita (pesantren) itu, coba bercakap dengan kyai-kyai itu, sungguh megherankan pada siapa yang berdekatan dengan mereka, logic mereka, pengetahuan mereka yang didapati dari buku-buku yang dipelajari mereka, pengetahuan yang sungguh hidup”.


Blitar, 17 Agustus 2021