Jumat, 24 September 2021

Nyarkub; Ulama Penyebar Patembayatan di Lodoyo







Sunan Bayat, nama ini memang tidak masuk dalam sejarah salah satu walisongo yang mashur di Jawa. Tapi nama Sunan Bayat juga sama mashurnya dengan para Sunan Walisongo sebagai salah satu waliyullah penyebar agama Islam di Jawa. Konon, Sunan Bayat adalah salah satu murid Sunan Kalijogo. Nama Sunan Bayat walaupun bukan salah satu walisongo tetapi namanya masuk dalam kitab-kitab Babad Tanah Jawa dan juga cerita-cerita lisan orang jawa.

Sebelum dikenal sebagai Sunan Bayat beliau adalah Pangeran Mangkubumi atau Sunan Pandanaran, dan sebelum berdakwah adalah seorang Bupati Semarang, yang kemudian meletakkan jabatannya dan pergi ke Selatan untuk berdakwah dan menetap di Daerah bukit Jabalkat Desa Paseban Kecamatan Bayat Klaten Jawa Tengah. Tepatnya perbatasan Klaten dan Gunungkidul Jogjakarta.

Sejak saat itu bayat menjadi salah satu pusat islam di Jawa. Perkembangan Islam dan kekuatan dalam mengorganisir masyarakat. menjadi kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh. Bahkan sampai anak turunnya yang meneruskan di daerah ini dari sisi politik juga ikut mewarnai kondisi Jawa saat itu.  

Dikabarkan Bayat menjadi pusat perlawanan melawan Amangkurat I dan Belanda. Perlawanan ini dihubungkan dengan Perang Trunojoyo. Dalam bukunya de Graaf yang berjudul “Masalah Kajoran” dan buku-buku de Graaf selalu menyebutkan bahwa Bayatlah hakikat dari Perang Trunojoyo.

Panembahan Kajoran (atau yang oleh Amangkurat II disebut Rama) merupakan mertua dari Trunojoyo. Panembahan Kajoran bersama Panembahan Giri menjadi Sesepuh Trunojoyo, dibantu Kraeng Galengsong untuk melawan Amangkurat I yang dibantu Belanda.

Tidak sampai di sana, Bayat masih melibatkan dalam membantu Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Konon, pasca inilah Trah-trah Bayat tercerai-berai ke berbagai wilayah setelah pangeran Diponegoro di tipu Belanda. Dan Bayat menjadi “kota mati” dari kegiatan keislaman. Kalaupun ada sangat berbeda jauh dari sebelumnya.

Dari sekian banyak peninggalan Sunan Bayat salah satunya berupa “wejangan” secara turun-temurun dan juga diajarkan kepada semua santri-santrinya. Wejangan akan musyawarah dan gotong-royong menjadi ajaran Sunan Pandanaran atau Sunan Bayat yang terabdikan dalam sebuah nama yaitu Bayat. Bayat berasal dari kata Tembayat atau Petembayatan yang ini dikaitkan dengan Syahadat Tembayat.

Inti dari syahadat patembayatan adalah: “Saya bersaksi bahwa tiada hidup yang lebih indah dan membawa kedamaian sesama manusia kecuali dengan mengadakan patembayatan (pirukunan/ gotong-royong/ musyawarah) dalam hal apapun dan dengan siapapun di kolong dunia ini, tanpa memandang suku, agama, ras, golongan, budaya, dan semacamnya.” 

Sunan Bayat mengajarkan kepada santri-santrinya untuk selalu rukun, gotong-royong dan bermusyawarah tanpa membeda-bedakan. Makanya tak heran ajaran Sunan Bayat diterima oleh semua kalangan.

Warisan Sunan Bayat di Lodoyo (Blitar)

Saat pangeran Diponegoro mengangkat senjata melawan Belanda, Bayat (Ulama Dzuriyah Sunan Bayat) ikut membantu Sang pangeran. Perang yang berlangsung selama lima tahun itu membuat kerugian Belanda yang sangat besar, bahkan bisa dikatakan membuat belanda pailit dan dilanda hutang yang sangat luarbiasa banyaknya. Maka Belanda membuat strategi yang sangat licik untuk menangkap Pangeran Diponegoro.

Sjak pangeran Diponegoro dijebak Belanda kemudian ditangkap. Lewat Kyai Badrudin, beliau menyerukan kepada semua pasukan dan pengikutnya agar menyebar ke seluruh Nusantara dan menyusun kekuatan lewat sandi Pohon Sawo. Raden Setro Manggolo atau Syekh Abu Naim Fatchillah dan juga Kakaknya Raden Ragil Siddik adalah keturunan ketujuh Dzuriyah Sunan Bayat yang ikut melawan Belanda. Kemudian beliau lari ke timur sampai di Lodoyo kemudian menetap dan berdakwah serta mengajarkan patembayatan hingga menyusun kekuatan di sini.

Berikut silsilah Syekh Abu Na'im Fatchillah (Raden Setro Manggolo):

1.      Sunan Tembayat, berputra:

2.      Panembahan Jiwo, berputra:

3.      Panembahan Minangkabo, berputra:

4.      Panembahan Masjid Wetan, berputra:

5.      Pangeran Wuragil, berputra:

6.      Raden Ragil Sedo Komuk, berputra:

7.      Raden Setro Manggolo dan Raden Ragil Siddik



Syekh Abu Naim Fatchillah wafat pada hari jumat kliwon tahun 1836 dan dimakamkan di barat sungai Kelurahan Kedungbunder Kecamatan Sutojayan. Sedangkan makam kakaknya dimakamkan di komplek pemakaman Sentono Kelurahan Sutojayan. Makamnya kedua ulama ini sebenarnya dekat hanya terpisah oleh sungai.


Blitar, 23 September 2021