Jumat, 30 Agustus 2024

REFLEKSI (DI) BULAN AGUSTUS

 


Tak terasa bulan agustus sudah berada di penghujung. Tentu kalau berbicara bulan agustus yang teringat bagi kita semua adalah hari kemerdekaan Indonesia. Tentu saja acara peringatan hari kemerdekaan bangsa ini akan berfokus dan akan selalu di adakan semeriah mungkin. Ini salahsatu rasa hormat dan rasa nasionalisme untuk negeri tercinta ini. Walaupun saya bersama sahabat-sahabat saya berencana akan mengadakan kegiatan peringatan di hari kemerdekaan di bulan September karena semua berfokus pada kegiatan yang sudah diadakan oleh instansi dan lembaga lain di bulan agustus

Kita semua tidak merasakan panahnya timah panas menembus tubuh kita, sakitnya tusukan pedang mengenai dada kita. Dan kita tidak merasakan betapa hati rasa ketakutan setengah mati hanya dengan semangat jihat berada digaris terdepan dengan bambu runcing melawan melawan Kolonial Belanda dengan senjata meriamnya. Tapi komitmen sebagai anak bangsa ikut menjaga dan memeriahkan kemerdekaan tentu salahsatu wujud dari rasa cinta kita.

Dari semua acara peringatan kemerdekaan mulai dari panjat pinang, Tarik tambang, voli terpal, sepakbola daster dan juga sarung, dan segala jenis kegiatan saya merasakan dan mengamati hanya pawai kebudayaan yang paling ramai dan banyak penontonnya.

Saya bukanlah pecinta pawai kebudayaan yang setiap ada even pawai kebudayaan akan selalu menghadiri untuk melihatnya. Tapi hanya yang yang terjangkau dan ada waktu dan yang terpenting bagi saya menarik, baru saya akan meluangkan waktu untuk menonton. Kadang saya tidak sengaja saat perjalanan ada pawai sering saya berhenti sebentar menikmati suasana keramaian pawai. Kalau menarik saya menonton lebih lama. Kalau menurut saya hanya monoton ya saya teruskan perjalanan. Tapi yang terakhir ini yang sering saya alami. hihihi

Acara pawai kemerdekaan, tentu acara ini panitia berbeda-beda sebagai pelaksana, ada yang tingkat kabupaten, kecamatan, bahkan desa. Untuk di desa tentu pesertanya adalah di tingkatan rukun tetangga (RT) Saya mencoba untuk mengobrol setiap bertemu dengan orang yang saya temui ketika mereka antusias ngomong tentang ini. Hasil kesimpulan saya ternyata banyak anggapan masyarakat bahwa rasa nasionalisme hanya ditentukan partisipasi keikutsertaan di pawai kebudayaan. Pernah saya ngobrol dengan salahsatu orang, pas pelaksanaan pawai orang tersebut tidak bisa ikut karena sesuatu hal tidak bisa di tinggal, akhirnya tetangga mengucilkannya dan menuduhnya tidak punya rasa nasionalisme

Tapi pandangan pribadi saya untuk mengisi kemerdekaan yang paling utama dimulai dari kita sendiri untuk menjadi lebih baik. Itu pandangan pribadi saya lo ya…

Sound Horeg dan Pargoy

Sound Horeg dan pargoy ibaratnya dua sisi mata uang, jika ada pawai keduanya selalu melekat. Sebelum berbicara lebih lanjut kita simak dulu ulasan sound horeg dan pargoy. Pertama sound horeg, Menurut Kamus Bahasa Jawa-Indonesia (KBJI) oleh Kemendikbud, kata horeg memiliki arti bergerak atau bergetar. horeg merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Jawa kuno. Istilah horeg memiliki arti gempa atau berguncang. sound horeg merupakan sebuah fenomena yang berkembang di kalangan masyarakat dengan memanfaatkan alat penghasil suara dengan volume yang cenderung tinggi.

Kedua pargoy, Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pargoy tidak dapat ditemukan. Istilah ini muncul dari bahasa gaul yang dipakai dalam obrolan di masyarakat dan media sosial. Tapi berdasarkan ilmu otak-atik-gatok dan meneurut teman pargoy singkatan dari Party goyang. joget pargoy ini ditandai dengan goyangan menonjolkan kelenturan tubuh yang diiringi musik remix DJ.

Pawai dengan dengan penampilan ini tentu saja menjadi pro dan kontra di tengah masyarakat. Bahkan beberapa ada yang mengatakan perlu ada aturan jam dan spesifikasinya agar tidak membuat kegaduhan atau minimal tidak menggagu yang kurang menyukai tentang hal ini.

Bukan saya anti dengan sound hereg dan juga pargoy dalam setiap pawai kebudayaan. Tapi saya lebih sepakat dengan yang di atur tadi. Agar semua tidak ada yang merasa dirugikan dan tetap terwadahi. Apalagi kalau dalam pawai hanya menampilkan sound horeg dengan jogetannya tanpa tema. Dan untuk tahun ini yang saya lihat hamper 90% jenis pawai yang seperti ini. Adapun yang bertema hanya sedikit itupun dari lembaga pendidikan.

Tapi harus seperti itu karena membawa nama lembaga pendidikan. Yang menurut saya unuik adalah ketika walau tetap memakai sound horeg tapi kapasitasnya di atur sedemikian rupa agar tidak membuat dada sesak ketika dekat. Dalam pakaian juga lebih bertema misalnya kerajaan Indonesia dahulu, adajuga para pejuang. Lagu juga tidak melulu music DJ. Ada juga walapun tanpa menghilangkan jedug-jedug juga memutar lagu-lagu daerah, perjuangan, dan juga lagu budaya asli Indonesia. Kadang masih diselingi tearikal tentang perjuangan para pahlawan, ada juga yang memberikan tetrikal sumpah palapa Gajah Mada. Tentu dengan seperti ini saya mengapresiasi yang sangat dalam.

Ada juga yang kadang bikin jengkel, bukan saya menganggap diri ini sok suci. Naluri kelelakian, tentu mata akan dimanjakan mungkin dengan model pargoy yang ada dancer dengan pakaian seksi. Tapi saya sendiri kadang juga bingung, pernah saat buka facebook ada video yang menampilkan Pawai dengan sound horeg, tentu dengan pargoy yang ada dancernya memakai baju kebaya, tapi bawahan pakai celana pendek dan dibalut kain batik yang sama pendeknya dengan celana.

Bahkan yang meprihatinkan ketika ada yang nyawer dengan cara memasukan uang di dalam celana bagian paha. Dan yang bikin bingung sang dancer sangat senang dan malah tertawa. Saya tidak tahu ini masuk kategori pelecehan terhadap perempuan atau bukan? Dan yang lebih membingungkan adalah banyak anak-anak kecil yang melihat itu semua.

Pemahaman Islam dan Budaya Arab

Untuk sub bab ini lebih detai dari yang awal. Ini lebih mengerucut pada pawai kebudayaan yang di lingkup lembaga pendidikan. Yang meneurt hemat saya lebih menarik dan lebih edukatif karena tidak hanya sekedar hiburan. Inipun masih ada beberapa catatan, dan catatan ini bisa dikatakan sebagai bahan evaluasi dan kritik terhadap pemahaman agama terutama Islam.

Sebenarnya pemahaman Islam dalam lembaga pendidikan bisa dilihat jika ada pawai yang menampilkan tema agama. Yang saya amati dari pawai tahun ini, jika ada lembaga pendidikan jika bertema tentang Islam, ada juga busana berjubah untuk laki-laki, dan memakai pakaian gamis yang serba hitam dengan di ikat sorban di kepala. Kalau mengamati lebih pasnya bukan budaya ala Islam tetapi budaya timur tengah.

Tentu beda antara ajaran Islam dan Budaya timur tengah. Masih banyak persepsi Islam berarti timur tengah, padahal memakai sarung dan baju surjan serta blangkon itu bagian dari Islam. Bahkan dulu orang-orang islam di Nusantara ya tidak lepas dari itu semua. Tentu tidak semua berpemahaman seperti ini. Untuk sekolah-sekolah yang berbasis agama (Islam) dalam hal pawai sudah bisa memahami antara Islam dan budaya sehingga dalam menampilkan dalam pawai sudah bisa mengakulturasi ketika dengan budaya Indonesia dan menyesuaikan.

Dan rata-rata penampilan dengan tema Islam sama dengan budaya arab berada pada sekolah-sekolah umum. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah bersama.

 

Blitar, 30 Agustus 2024