Tak terasa bulan agustus sudah
berada di penghujung. Tentu kalau berbicara bulan agustus yang teringat bagi
kita semua adalah hari kemerdekaan Indonesia. Tentu saja acara peringatan hari
kemerdekaan bangsa ini akan berfokus dan akan selalu di adakan semeriah
mungkin. Ini salahsatu rasa hormat dan rasa nasionalisme untuk negeri tercinta
ini. Walaupun saya bersama sahabat-sahabat saya berencana akan mengadakan
kegiatan peringatan di hari kemerdekaan di bulan September karena semua
berfokus pada kegiatan yang sudah diadakan oleh instansi dan lembaga lain di
bulan agustus
Kita semua tidak merasakan
panahnya timah panas menembus tubuh kita, sakitnya tusukan pedang mengenai dada
kita. Dan kita tidak merasakan betapa hati rasa ketakutan setengah mati hanya dengan semangat jihat berada
digaris terdepan dengan bambu runcing melawan melawan Kolonial Belanda dengan
senjata meriamnya. Tapi komitmen sebagai anak bangsa ikut menjaga dan
memeriahkan kemerdekaan tentu salahsatu wujud dari rasa cinta kita.
Dari semua acara peringatan
kemerdekaan mulai dari panjat pinang, Tarik tambang, voli terpal, sepakbola
daster dan juga sarung, dan segala jenis kegiatan saya merasakan dan mengamati
hanya pawai kebudayaan yang paling ramai dan banyak penontonnya.
Saya bukanlah pecinta pawai
kebudayaan yang setiap ada even pawai kebudayaan akan selalu menghadiri untuk
melihatnya. Tapi hanya yang yang terjangkau dan ada waktu dan yang terpenting
bagi saya menarik, baru saya akan meluangkan waktu untuk menonton. Kadang saya
tidak sengaja saat perjalanan ada pawai sering saya berhenti sebentar menikmati
suasana keramaian pawai. Kalau menarik saya menonton lebih lama. Kalau menurut
saya hanya monoton ya saya teruskan perjalanan. Tapi yang terakhir ini yang
sering saya alami. hihihi
Acara pawai kemerdekaan, tentu
acara ini panitia berbeda-beda sebagai pelaksana, ada yang tingkat kabupaten,
kecamatan, bahkan desa. Untuk di desa tentu pesertanya adalah di tingkatan
rukun tetangga (RT) Saya mencoba untuk mengobrol setiap bertemu dengan orang
yang saya temui ketika mereka antusias ngomong tentang ini. Hasil kesimpulan
saya ternyata banyak anggapan masyarakat bahwa rasa nasionalisme hanya
ditentukan partisipasi keikutsertaan di pawai kebudayaan. Pernah saya ngobrol
dengan salahsatu orang, pas pelaksanaan pawai orang tersebut tidak bisa ikut
karena sesuatu hal tidak bisa di tinggal, akhirnya tetangga mengucilkannya dan
menuduhnya tidak punya rasa nasionalisme
Tapi pandangan pribadi saya untuk
mengisi kemerdekaan yang paling utama dimulai dari kita sendiri untuk menjadi
lebih baik. Itu pandangan pribadi saya lo ya…
Sound Horeg dan Pargoy
Sound Horeg dan pargoy ibaratnya
dua sisi mata uang, jika ada pawai keduanya selalu melekat. Sebelum berbicara
lebih lanjut kita simak dulu ulasan sound horeg dan pargoy. Pertama
sound horeg, Menurut Kamus
Bahasa Jawa-Indonesia (KBJI) oleh Kemendikbud, kata horeg memiliki arti
bergerak atau bergetar. horeg merupakan
sebuah istilah yang berasal dari bahasa Jawa kuno. Istilah horeg memiliki arti
gempa atau berguncang. sound horeg merupakan sebuah fenomena yang berkembang di
kalangan masyarakat dengan memanfaatkan alat penghasil suara dengan volume yang
cenderung tinggi.
Kedua pargoy, Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
kata pargoy tidak dapat ditemukan. Istilah ini muncul dari bahasa gaul yang
dipakai dalam obrolan di masyarakat dan media sosial. Tapi berdasarkan ilmu otak-atik-gatok
dan meneurut teman pargoy singkatan dari Party goyang. joget pargoy
ini ditandai dengan goyangan menonjolkan kelenturan tubuh yang diiringi musik
remix DJ.
Pawai dengan dengan penampilan ini tentu
saja menjadi pro dan kontra di tengah masyarakat. Bahkan beberapa ada yang
mengatakan perlu ada aturan jam dan spesifikasinya agar tidak membuat kegaduhan
atau minimal tidak menggagu yang kurang menyukai tentang hal ini.
Bukan saya anti dengan sound hereg dan juga
pargoy dalam setiap pawai kebudayaan. Tapi saya lebih sepakat dengan yang di
atur tadi. Agar semua tidak ada yang merasa dirugikan dan tetap terwadahi. Apalagi
kalau dalam pawai hanya menampilkan sound horeg dengan jogetannya tanpa tema. Dan
untuk tahun ini yang saya lihat hamper 90% jenis pawai yang seperti ini. Adapun
yang bertema hanya sedikit itupun dari lembaga pendidikan.
Tapi harus seperti itu karena membawa nama
lembaga pendidikan. Yang menurut saya unuik adalah ketika walau tetap memakai
sound horeg tapi kapasitasnya di atur sedemikian rupa agar tidak membuat dada
sesak ketika dekat. Dalam pakaian juga lebih bertema misalnya kerajaan
Indonesia dahulu, adajuga para pejuang. Lagu juga tidak melulu music DJ. Ada
juga walapun tanpa menghilangkan jedug-jedug juga memutar lagu-lagu daerah,
perjuangan, dan juga lagu budaya asli Indonesia. Kadang masih diselingi
tearikal tentang perjuangan para pahlawan, ada juga yang memberikan tetrikal
sumpah palapa Gajah Mada. Tentu dengan seperti ini saya mengapresiasi yang
sangat dalam.
Ada juga yang kadang bikin
jengkel, bukan saya menganggap diri ini sok suci. Naluri kelelakian, tentu mata
akan dimanjakan mungkin dengan model pargoy yang ada dancer dengan pakaian
seksi. Tapi saya sendiri kadang juga bingung, pernah saat buka facebook ada
video yang menampilkan Pawai dengan sound horeg, tentu dengan pargoy yang ada dancernya
memakai baju kebaya, tapi bawahan pakai celana pendek dan dibalut kain batik
yang sama pendeknya dengan celana.
Bahkan yang meprihatinkan ketika
ada yang nyawer dengan cara memasukan uang di dalam celana bagian paha. Dan yang
bikin bingung sang dancer sangat senang dan malah tertawa. Saya tidak
tahu ini masuk kategori pelecehan terhadap perempuan atau bukan? Dan yang lebih
membingungkan adalah banyak anak-anak kecil yang melihat itu semua.
Pemahaman Islam dan Budaya
Arab
Untuk sub bab ini lebih detai
dari yang awal. Ini lebih mengerucut pada pawai kebudayaan yang di lingkup
lembaga pendidikan. Yang meneurt hemat saya lebih menarik dan lebih edukatif
karena tidak hanya sekedar hiburan. Inipun masih ada beberapa catatan, dan
catatan ini bisa dikatakan sebagai bahan evaluasi dan kritik terhadap pemahaman
agama terutama Islam.
Sebenarnya pemahaman Islam dalam
lembaga pendidikan bisa dilihat jika ada pawai yang menampilkan tema agama.
Yang saya amati dari pawai tahun ini, jika ada lembaga pendidikan jika bertema
tentang Islam, ada juga busana berjubah untuk laki-laki, dan memakai pakaian
gamis yang serba hitam dengan di ikat sorban di kepala. Kalau mengamati lebih
pasnya bukan budaya ala Islam tetapi budaya timur tengah.
Tentu beda antara ajaran Islam
dan Budaya timur tengah. Masih banyak persepsi Islam berarti timur tengah,
padahal memakai sarung dan baju surjan serta blangkon itu bagian dari Islam.
Bahkan dulu orang-orang islam di Nusantara ya tidak lepas dari itu semua. Tentu
tidak semua berpemahaman seperti ini. Untuk sekolah-sekolah yang berbasis agama
(Islam) dalam hal pawai sudah bisa memahami antara Islam dan budaya sehingga
dalam menampilkan dalam pawai sudah bisa mengakulturasi ketika dengan budaya
Indonesia dan menyesuaikan.
Dan rata-rata penampilan dengan
tema Islam sama dengan budaya arab berada pada sekolah-sekolah umum. Tentu ini
menjadi pekerjaan rumah bersama.
Blitar, 30 Agustus 2024