Sabtu, 07 Agustus 2010

Pemimpin Bangsaku

“Dalam kepemimpinan, rakyat membayar kepercayaan, dengan harapan dapat menjadikan mereka orang hebat, dengan umur mereka. Besar dosanya bagi seorang pemimpin yang menyia-nyiakan umur anak buahnya ”


Dari Pilkadal sampai Pilpres selalu saja menyisakan masalah yang rumit. Tahun 2008 merupakan pemilihan gubernur jawa timur secara langsung, ini pun menyisakan permasalahan yang rumit. Dari adanya indikasi tentang kecurangan-kecurangan yang dilakukan untuk menang ampai gugatan di Mahkamah konstitusi. Dan sudah menjadi tontonan publik sehari-hari pernyataan yang saling menjatuhkan diantar kedua pasangan cagub dn cawagub, seakan-akan dirinyalah yang mampu untuk memimpin jawa timur.

Tahun 2008 yang menyisakan teka-teki yang sulit terjawab sambut tahun baru 2009 dengan kemeriahan kemeriahan yang luar biasa. Ada beberapa agenda yang akan dilalui dan ini merupakan peristiwa yang akan ditulis sejarah. Karena pada tahun ini pula akan diadakan sebuah agenda besar yaitu memilih pemimpin bangsa yang akan membawa ke arah mana Indonesia akan dibawa.

“Pesta rakyat” begitu para politisi, para kaum intelektual, para aktivis, para wartawan, dan para-para yang lainya menyebutnya. Tapi aneh yang namanya pesta seharusnya semua senang dan dapat menikmati acaranya. Tapi di sini kok malah rawan konflik di masyrakat. Dan inilah yang namanya demokrasi menurut media massa yang sering ditulis dan disiarkan dan disajikan kepada masyarakat. Walaupun setiap orang memahai demokrasi yang bermacam-macam bahkan menjadi debat kusir yang menarik.

Pada tahun dinamakan tahun politik, hal ini dikarenakan pada tahun akan diselenggarakan PILEG dan PILPRES secara langsung dari pemilihan DPRD tingkat II sampai DPR pusat, DPD, dan juga presiden dan wakilnya.Mulai saat ini pula dari semua BALON (bakal calon) sudah mempersiapkan janji-janji untu menari massa agar dalam pemilu memilihnya. Entah janji itu bisa terpenuhi atau tidak yang penting janji selau diucapakan. Jalan-jalan raya dari jalan di kota samapai jalan di pedesaan sudah mulai kehilangan keindahanya karena di sana-sini sudah di pasang spanduk-spanduk para balon.

Yang MASLON (merasa calon) presiden juga tak mau kalah. Semua sudah mempersiapakan jurus jitu dan jurus-jurus spekulatif yang menjadi andalanya. Dari jurus musang berbulu domba, jurus kambing hitam, jurus kancil mencuru timun, bahkan sampai jurus dewa mabuk siap dipakai untuk memenangkan nanti jika sudah menjadi calon.
Parpol-parpol juga getol melakukan pendekatan kepada msyarakat di tingkat grass root. Maklum, untuk Vooters (pemilih) pemilu di Indonesia rata-rata masyarakat tingkat bawah bukan kalangan atas. Yang biasanya duduk-duduk di belakang meja kini lebih sering melakukan aksi-aksi yang bisa membanggakan masyarakat. Contohnya bisa kita lihat pemberian sembako, pendirian pos-pos peristirahatan jarak jauh. Aksi-ini lebih baik walau hanya dilakukan jika mendekati pemilu saja, daripada uang rakyat hanya dipakai untuk beberapa elit saja.

Ada juga sedikit keanehan juga dalam pemilu kali ini. Untuk pemilihan presiden tahap pencalonanya hanya bisa dilakukan jika partai mempunyai perwakilan di parlemen minimal 20%, jadi presiden bisa ditentukan jika PILEG sudah dapat diketahui hasilnya, secara tidak langsung pada saat PILEG berarti kita juga ikut menentukan Capres dan Cawapres. Tapi parpol belum juga mendeklarasikan siapa capres dan cawapresnya, walau beberapa parpol sudah mendeklarasikan ini jauh lebih baik karena sudah ada kepastian untuk masyrakat. Kok seperti membeli sesuatau tetapi barangnya belum ada alias gak jelas.

Para pemikir-pemikir juga tak mau kalah terkait masalah siapa yang pantas memimpin sebuah bangsa. Plato merupakan salah satu di antaranya. Ia berpendapat bahewa yang pantas memimpin sebuah negeri itu adalah dari kalangan aristokrat. Karena otaknya sudah teruji dan ini lebih familiar dikenal dengan Philoshoper King. Lain lagi dengan pendapat Karl Marx, menurut marx yang lebih pantas memimpin sebuah negeri itu dari kalangan kaum proletar. Ayatullah khumaeni juga punya pendapat lain lagi, beliau juga punya persepsi sendiri tentang siapa yang pantas memimpin yaitu dari kalangan ’ulama.

Lain halnya dengan pendapat masyarakat Indonesia. Ada dikotomi pemikiran masyrakat yang ada di Indonesia tentang pemimpin nusantara yaitu antara dari kalangan sipil atau militer. Hal ini sangat wajar karena luka sejarah masa lalu. Yang sebagaian lebih setuju jika yang menjadi presiden dari kalangan militer. Tetapi yang sebagian menolak dari kalangan militer dan menekankan yang lebih baik menjadi presiden adalah dari kalangan sipil karena dikhawatirkan jika dari militer akan mengulang sejarah masa lalu yang dilukai oleh pemimpin dari kalangan militer (Orde Baru).

Sebenarnya perdebatan semcam in kurang begitu signifikan, yang paling penting adalah siapapun yang akan menjadi orang nomor satu di Indonesia adalah pemimpin yang bisa Adil. Karena yang paling utama dan yang terpenting adalah keadilan, bukan kedamaian, bukan kesejahteraan, bukan pula kemakmuran, tetapi keadilan, keadilan, dan keadilan. Karena kedamaian, kesejahteraan, dan kemakmuran akan tercipta jika keadilan telah tercipta.

Pemimpin yang adilah yang pantas memimpin sebuah negara dimanapun dan kapanpun. Kepada semuanya yuk kita memilih pemimpin yang adil, entah berasal dari manapun baik itu dari kalangan aristokrat, proletar, ulama, sipil, militer, tak begitu masalah yang terpenting adalah bisa berlaku adil. 

Blitar, 13 Januari 2009