”Jika kamu memikirkan suatu pikiran, kamu juga menarik pikiran-pikiran serupa ke diri kamu”
Jika merenungkan kondisi sosio-culture di negara Indonesia yang numpang di bumi Nusantara sangat menarik dan lucu. Karena kita akan merasakan hal-hal yang membuat kita bangga dengan nusantara ini, tertawa karena ada hal-hal yang membuat pikiran kita tergelitik, bersedih jika mengetahui sebenarnya apa yang terjadi dengan Indonesia, dan menangis karena perasaan iba terhadap bangsa ini.
Bagaimana tidak bangga dengan Indonesia. Di Indonesia wilayahnya sangat strategis yang diapit dua benua yaitu Australia dan Asia. Juga diapit dua samudra, samudra hindia dan pasifik. Belum lagi yang wilayahnya sangat luas, sulit dibayangkan luasnya yang dari sabang sampai merauke entah butuh waktu berapa lama jika diukur dengan penggaris. Belum lagi dengan pulau yang paling utara pulau We dan pulaunya yang selatan Pulau Roti dan juga yang paling membanggakan adalah pulaunya yang berjajar-jajar dan sambung-menyambung menjadi satu, itulah Indonesia. Pulau borneo yang dulu diakui sebagai paru-parunya dunia. Tanahnya yang subur yang cocok untuk pertanian yangkemudian disebut dengan negara agraris, sepotong tongkat saja ditancapkan bisa tumbuh. Kebudayaan yang bermacam-macam, laut yang luas yang dikenal dengan negara maritim, dan konon katanya bangsa ini punya karakter suka gotong-royong dan tolenrasi, turut menjadi kebanggaan tersendiri.
Bagaimana tidak tertawa dengan kondisi Indonesia sekarang. Katanya Indonesia negara miskin tetapi jika didaftar 100 orang terkaya didunia ada beberapa orang Indonesia yang masuk daftar itu, yang katanya negara miskin tetapi didepan mal-mal semakin banyak mobl Built Up berderet-deret. Yang paling menggelitik pikiran adalah maling ayam dengan maling duit rakyat hukumanya kok berat yang maling ayam, malah maling duit rakyat masih enak di mana-mana ditemani body guard berpakaian necis dan diberlakukan istimewa seperti seorang pahlawan. Padahal jika dinominalkan antara ayam dan duit rakyat jelas tidak sebanding.
Bagaimana tidak bersedih jika membayangkan kondisi sebenarnya Indonesia. Dengan segala kelebihanya yang seharusnya masyarakat bisa makmur, dengan gemah ripah loh jinawinya tetapi kalaparan masih terjadi dimana-mana, masih banyak anak-anak kekurangan gizi, konflik SARA yang selalu membayangi, Banyak hasil alam di bumi nusantara ini yang tidak bisa dinikmati rakyat, secara fisik memang tidak dijajah tetapi masih saja secara ekonomi masih terjajah, masak negara yang minyaknya melimpah tetapi minyak kok mahal. Dan sesama bangsa sendiri yang saling menindas.
Bagaimana tidak menangis bila melihat bangsa ini. Fakir miskin dan anak-anak terlantar yang menurut Undang-Undang Dasar ’45 dipelihara oleh negara ternyata masih saja mereka tidur dibawah kolong jembatan. UUD hanya sebagai simbol semata. Yang mau berusaha untuk berjuang hidup dengan memulai usaha kecil di pinggir jalan bukanya difasilitasi tetapi malah digusur dan tak ada solusi yang pasti. Bumi persadapun tak lagi hijau berseri, suara kicauan burung setiap hari tak lagi bisa didengar, mungkin semua mengungsi karena habitatnya telah rusak. Banjir, longsor, gempa bumi, dan musibah lainya datang silih berganti. Wacana-wacana tentang perubahan ternyata hanya slogan belaka. Kedamaian seakan-akan hanya mimpi belaka. Di tambah dengan pasca reformasi yang orientasi telah melenceng dari tujuan dan semakin takjelas.
Sudahlah cukup Indonesia mengalami masa dekonstruksi, sudah saatnya kita harus menyongsong masa rekonstruksi. Jika Prof. (Ris) Hermawan sulistya melihat kondisi Indonesia yang perekonomianya sangat efektif di malam hari karena para pejabat birokrasi lagi tidur, maka tidak ada pungutan liar yang merugikan rakyat sehingga rakyat lebih tenang jika aktivitasnya di malam hari, menamakannya dengan Republik Burung Hantu. Kemudian ketika dilihat dari sudut pandang yang berbeda melihat Indonesia ketika sepeda motor merajai jalanan ketika musim mudik telah datang dan dapat digunakan berboncengan tiga atau empat penumpang maka menamakanya dengan republik Sepeda Motor. Effendi Ghazali, Phd ketika melihat kadamaian di Indonesia hanyalah impian belaka maka untuk melihat negeri yang damai memunculkan parodi republik Mimpi. Berbeda lagi dengan Franky Sahilatua, seorang penyanyi ini ketika melihat negeri ini yang semuanya pedagang. Politikusnya pedagang, pemerintahanya pedagang, pengadilanya pedagang, aparatnya pedagang, semuanya menjadi pedagang. Sedangkan yang diperdagangkan adalah rakyat. Maka disebutnya dengan Republik Hanky Panky.
Saya pun tak mau ketinggalan, dengan mereka. Kondisi sosio-culture nusantara ini yang semakin carut marut dan semrawut dan peradabanya pun juga semakin amburadul. Dan juga perpolitikan negeri ini meminjam istilah Clifford geertz seperti Theatre State (baca: panggung sandiwara). Maka saya pun menamakanya dengan Republik Bolah Ruwet. Sepakat ngak......?
Walau kondisi negeri yang demikian ini tidak membuat saya malu atau menyesal telah lahir dan besar serta tinggal di Indonesia. Jika dada saya dibelah dalamnya masih berwarna merah putih walau bagaimanapun kondisi negeri tercinta ini, bangsa dan tanah air ini. Kepada semuanya saya ucapkan selamat berkarya dan berjuang walau kadang bangga, kadang bersedih, kadang tertawa, kadang juga menangis di Repulik Bolah Ruwet. Hidup Republik Bolah Ruwet.