Minggu, 10 Juni 2012

Salah Kaprah

Bulan sabit seakan tersenyum kepadaku, tapi dalam senyumnya ada yang aneh, senyumnya sinis kepadaku. Dalam panasnya cuaca aku mencari kesejukan lewat kipas angin yang ada di kamarku. Anginpun yang menerpa tubuhku dan tepat mengenai wajahku juga ingin mengutukku. Aku merasakan semua benda yang ada di sekitarku menunjukkan ketidaksukaan terhadapku. Aku merasa tidak berbuat salah. Tapi mengapa semua seperti ingin memusuhiku.

Dalam kesendirian di tengah malam yang panas dengan bertelanjang dada kurebahkan tubuh dalam kasurku. Tak tahu mengapa udara hari ini pengap sekali. Apalagi hatiku semakin gelisah semenjak aku bertengkar adu mulut dengan orang tuaku kemarin, membuat kepenatan semakin menjadi-jadi.

“Apa mungkin aku salah terhadap mereka” gumamku lirih.

Kini kucoba pejamkan mata sambil mengingat kembali kejadian kemarin. Mungkin benar apa yang dikatakan Ridwan, temanku. Aku sudah keterlaluan dengan mereka. Mereka sudah banyak merasakan asinnya garam kehidupan. Mereka tentunya sudah bisa mengerti dan merasakan mana baik dan mana yang buruk. Sedangkan aku ini apa? Hanya anak ingusan kemarin sore. Bahkan sampai sekarang segala sesuatu aku masih bergantung pada mereka.

Ah... tidak mungkin aku salah. Aku benar, aku mempertahankan prinsipku. Bapak dan ibuku saja yang pikirannya masih kolot. Tidak bisa berfikir realistis sesuai dengan perkembangan zaman. Zaman sekarang zaman modern zaman globalisasi, zaman milenium ketiga pula. Sudah bukan jamannya untuk menempuh pendidikan di pesantren. Pesantren itu pola pendidikanya tradisional, mana mungkin bisa meningkatkan sumber daya manusia. Setiap hari yang dikaji hanya kitab kuning. Sesuatu hal yang mustahil hanya mempelajari kitab-kitab kuning bisa menjamin masa depanku. Paling-paling setelah lulus pesantren hanya jadi orang biasa, tidak bisa menjanjikan untuk bersaing memperoleh materi yang lebih untuk menjalani hidup ini. Tahu apa mereka tentang hidup di zaman sekarang ini.

Aku hanya membolak-balik bantal. Ku lihat jam yang berdetak dengan teratur di dinding kamarku. “Astaga... sudah pukul dua belas malam, tapi mengapa aku belum merasakan kantuk”. Kulihat cicak yang sedang hinggap mencari makan tepat di atas dinding yang sedang berdiam. “Cicak kaulah temanku malam ini, katakan padaku apa yang harus kulakukan?”.

Dalam keheningan malam aku hanya bisa merenungi semua ini. Kumatikan lampu yang menerangi kamarku. Setelah itu kurebahkan kembali tubuhku dan kucoba pejamkan mata. Berharap aku akan terlelap sampai pagi.

*****

Malam itu, saat aku pulang dari rumah Ridwan, ternyata bapak dan ibu sudah menunggu aku di ruang tamu. Saat aku masuk rumah tiba-tiba bapak dan ibu memanggilku. “Habib, tolong ke sini sebentar. Kami berdua mau ngomong sama kamu. Ini penting untuk masa depanmu”

Enggeh pak!” Jawabku

“Begini Bib, kami, saya dan ibumu bersepakat untuk memasukanmu ke pesantren. Bagaimana menurutmu?”

“Kalau menurut saya, apa tidak ada pilihan lain selain masuk ke pesantren pak?”

“Tidak ada Bib, keputusan kami sudah bulat, bahwa kamu harus masuk ke pesantren”

“Maaf pak, saya tidak mau”

Tiba-tiba ibu menyela: “Apakah kamu benar-benar tidak mau? Coba di pikirkan lagi dengan pikiran jernih.”

“Sekali lagi saya minta maaf, keputusan saya juga sudah bulat. Saya tidak mau masuk pesantren” jawabku dengan nada kesal.

“Begini saja, sekarang kamu pikirkan lagi dengan jawabanmu itu Bib, besok aku akan menunggu lagi jawabanmu. Tentunya kami berharap kamu berubah pikiran”.

Aku melihat wajah kedua orang tuaku, sangat terlihat jelas kekecewaan mereka terhadapku. Tapi aku memang tidak mau masuk pesantren. Apapun kata mereka aku tidak akan masuk pesantren.

Teringat olehku beberapa kata yang diucapkan bapakku tadi. Bahwa ini tentang masa depanku. Dalam benakku sangat bertentangan dengan kata-kata itu. Masa depan yang mana. Tidak mungkin belajar di pesantren bisa membuat masa depanku cerah. Kolot sekali pikiran bapak ibuku, pesantren tidak bisa menjamin masa depanku. Memangnya apa yang sudah dilakukan pesantren hingga orang tuaku berpikir demikian.

*****

Tak terasa fajar sudah menyingsing dengan tersipu. Embun menetes melalui daun-daun. Sesekali ayam berkokok bersahut-sahutan. Semua manusia mulai bangun dari tidurnya. Tak terkecuali aku, yang juga harus bangun dan melakukan kewajiban rutin, Shalat. Dan inilah yang dari kecil bapak dan ibuku selalu mengajarkan dan selalu memberikan nasehatnya tentang ini berulang kali.

Tak lama berselang matahari menampakan senyumnya. Semua akan memulai aktivitasnya. Aku berencana hari ini akan keluar bersama Ridwan, pergi ke rumah pak Solihin untuk belajar tentang usaha ekonomi mikro.

Bapak dan Ibu sudah duduk di kursi depan rumah. Mereka sengaja duduk di situ untuk menungguku. “Habib... mau kemana?” tanya bapakku.

“Mau ke rumah Ridwan pak”

“Bagaimana dengan keputusanya. Bapak sangat berharap kamu mau untuk belajar di pesantren, untuk masa depanmu kelak”.

“Maaf pak, keputusan saya sudah bulat, saya tidak mau masuk pesantren”

“Kalau boleh saya tahu, mengapa kamu tidak mau masuk pesantren?” sahut ibuku.

“Saya ingin bertanya dulu sama bapak dan ibu, mengapa saya harus masuk pesantren, bukankah banyak lembaga pendidikan. Pendidikan tidak hanya di pesantren” Jawabku yang sudah mulai membrontak dengan paksaan orang tuaku.

“Kamu nanti juga bisa melanjutkan pendidikan formalmu selain kamu belajar di pesantren. Ini semua demi kebaikanmu”

“Kebaikan mana yang kalian maksudkan? Ini zamannya sudah modern pak, apakah bisa pesantren menjamin masa depanku” suaraku semakin mengeras menanggapi perkataan bapakku.

“Percayalah Bib, ini semua demi kebaikanmu” jawab ibuku yang juga mulai ikut bicara.

“Ah... ibu ini. Mengapa sih kalian tidak bisa peka dengan perubahan zaman ini. Berfikirnya yang realistis aja” aku dengan emosi tanpa sadar mulai menguliahi mereka.

“Habib... apa-apaan kamu ini. Apa itu yang kami ajarkan kepadamu. Apakah di sekolah-sekolah juga diajari seperti itu, bahwa pendidikan harus bisa memberikan jaminan masa depan. Dan kamu pasti berfikir masa depan yang baik adalah masa depan yang berlimpahan materi” tukas bapakku dengan nada marah. “Apakah dengan materi yang berlimpah berarti tujuan pendidikan sudah tercapai dan berhasil. Mungkin semua orang sekarang berpikirnya seperti ini. Dan mereka menganggap dirinya orang-orang modern. Tapi tidak untuk bapakmu ini, pendidikan tidaklah seperti itu. Pendidikan itu menjadikan orang dari yang tidak mengerti menjadi mengerti, bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, bertanggung jawab atas semua tidakannya, dan ini yang penting yaitu menjadikan manusia lebih berbudaya” tambah bapak dengan nada kesal kepadaku.

“Sudahlah pak, jangan bentak-bentak anakmu seperti itu. Malu sama tetangga” ibu melerai pembicaraan kami yang mulai dipenuhi dengan emosi.

“Anakmu ini tidak usah dibela bu, biarkan semua orang tahu karena memang pikiran anakmu ini sudah keblinger. Pikiran yang salah kaprah diikuti”

Aku hanya tertunduk dan terus menjawab apa yang dikatakan orang tuaku. “Tapi ini zamanya sudah berbeda pak dengan zaman dulu. Memangnya apa yang diberikan pesantren sih pak, hingga kalian berpikir seperti itu?”

“Kamu masih saja berpikir seperti itu, tidak menyadari juga. Asal kamu tahu saja pesantren sudah banyak memberikan kontribusinya untuk negeri ini. Apa kamu tidak belajar dari sejarah. Sebelum penjajah Belanda memberlakukan politik etisnya, pesantrenlah yang telah memberikan pendidikan kepada orang-orang di negeri ini. Pesantren sudah ada berabad-abad yang lalu dan telah mendidik orang-orang negeri ini. Dan orang-orang negeri ini dulu menyadari bahwa keberhasilan pendidikan itu tidak diukur dengan keberhasilan materi yang diperoleh tetapi akhlaq, prilaku yang baik, sopan santun yang lebih diutamakan. Makanya ada pepatah ‘hiduplah seperti padi makin berisi makin merunduk’ semakin pandai semakin rendah hati” Jawab bapakku dengan nada yang makin kesal denganku.

Aku melihat ibuku. Ia sudah tidak bisa berkata-apa. Ibu hanya menangis melihat percekcokan aku dengan bapakku.

“Sudahlah nak, kamu nurut saja kata bapakmu” suara ibu dengan menangis terisak-isak.

“Sekarang kamu cari dimanapun, mana tujuan pendidikan yang ada di negeri ini yang menjelaskan tujuan pendidikan seperti kamu ucapkan tadi?” tanya bapakku.

“Tapi mengapa harus pesantren pak, sedangkan lembaga pendidikan tidak hanya pesantren?” tanyaku lagi dengan suara yang lebih membentak.

“Kamu itu, kamu akan merasakan sendiri kalau kamu masuk pesantren. Silahkan kalau kamu mau ingin juga melanjutkan pendidikan formalmu tapi kamu harus masuk pesantren”.

“Maaf pak, keputusan saya sudah bulat saya tidak mau masuk pesantren”

“Kamu itu bagaimana? Setan mana yang merasuki pikiranmu. Hingga kamu seperti itu”

“Tidak ada setan yang masuk di pikiraku, ini hanya prinsip saya. Saya tidak mau mengenyam pendidikan kolot yang setiap hari hanya mempelajari kitab-kitab kuning”

“Kamu memang keterlaluan, sudah begini saja. Kamu akan saya antar masuk pesantren sekalian saya akan atur pasrah ke kiainya” paksa bapakku.

“Maaf pak saya tidak mau”

“Kalau begitu kamu pergi saja dan jangan menemui kami sebelum kamu berubah pikiran”

Dengan langkah gamang dan tanpa rasa berdosa sedikitpun aku meninggalkan mereka. Kulihat ibu masih menangis terisak-isak. Sedangkah bapak masih marah kepadaku. Mengapa ini terjadi kepadaku, hidup di keluarga yang berpikiran kolot dan kaku.

*****

Sekarang aku hanya tertawa sendiri jika teringat kejadian waktu itu. Betapa besar kasih sayang tua kepadaku. Mereka melakukan itu demi kebaikanku. Aku yang keras kepala telah membikin orang tuaku begitu marah kepadaku. Ternyata benar apa yang dikatakan bapakku dulu. Kini aku sudah tamat di pesantren dan seminggu yang lalu aku sudah boyong . Dan ternyata anggapanku tentang pesantren yang kolot salah kaprah. Dan kitab kuning adalah cuma sebagian dari ilmu yang kuperoleh. Internalisasi nilai-nilai kehidupan telah ditanamkan di sini. Dan yang paling mengesankan adalah tentang pemaknaan pendidikan yang ditanamkan tentang manusia yang berbudaya, beretika, dan nilai sosial yang tanamkan. Dan kini aku sudah memahaminya tentang pendidikan yang sebenarnya.

Teringat pesan dari Abah saat aku boyong. “Habib... anakku! Orang menjadi pintar itu penting, tapi akhlaq yang baik itu jauh lebih penting. Tentu peradaban akan kacau balau jika manusia kehilangan akhlaqnya”


Blitar, 14 April 2012