Selasa, 19 April 2016

PMII; TEMPO DULU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN



Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) kehadiranya tidak bisa dilepaskan dengan organisasi terbesar di negeri ini yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Karena PMII memang lahir dari organisasi NU. Walaupun dalam perjalananya hubunganya dengan NU mengalami pasang surut.

Organisasi anak-anak muda NU yang berada di kampus ini lahir tidak dengan mulus begitu saja. Tetapi, memiliki sejarah yang panjang. Sebelum munculnya PMII anak-anak muda NU yang ada di perguruan tinggi terpecah-pecah dalam organisasi yang bermacam-macam. Sebenarnya pada waktu itu sudah ada beberapa organisasi yang mengatasnamakan anak-anak muda NU. Misalnya pada tahun 1955 di Jakarta ada Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) tetapi keberadaanya tidak mendapat restu dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Hal ini bisa dimaklumi karena alasan NU saat itu adalah IPNU masih satu tahun berdiri dan tidak mungkin untuk membentuk oragnisasi lagi karena dikhawatirkan tidak terurus. (Fatihul Faizun, 2011)

Tidak hanya di Jakarta di daerah-daerah lain juga muncul organisasi-organisasi yang mangatasnamakan mahasiswa NU seperti di Bandung muncul PMNU, di semarang muncul KMNU. Akhirnya pada saat Konferensi Besar IPNU di Kaliurang Jogjakarta pada tanggal 14-17 Maret 1960 terbentuk tim khusus yang terdiri dari 13 orang yang memperoleh mandat untuk merumuskan organisasi anak-anak muda NU yang berada di perguruan tinggi. Tim 13 itu adalah Chalid Mawardi (Jakarta), Said Budairy (Jakarta), M. Shobic Ubaid (Jakarta), M. Makmun Syukri (Bandung), Hilman (Bandung), Ismail Makki (Jogjakarta), Munsif Nahrawi (Jogjakarta), Nuril Huda Suady (Jogjakarta), Laili Mansur (Surakarta), Abdul Wahab Jaelani (Semarang), Hisbullah Huda (Surabaya), dan Ahmad Husain (Makasar).

Pada tanggal 14-16 April 1960 tim 13 ini berkumpul di Taman Pendidikan Putri Khadijah Surabaya. Hasil rumusanya adalah membentuk organisasi dengan nama PMII serta kelengkapan organisasi lainya. Dan saat itu juga hasil dari tim 13 ini dimusyawarah dengan KH. Idham Chalid selaku Ketua PBNU. Dan KH. Idham Chalid memberikan lampu hijau untuk mendirikan organisasi yang diidam-idamkan selama ini. Pada tanggal 17 April 1960, tim 13 mendeklarasikan organisasi di bawah NU yaitu Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dengan ketua pertama kali Mahbub Junaidi.

Sedangkan hasil rumusan tim 13 tujuan dalam membentuk organisasi ini adalah ‘terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, cakap, dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia’. Tujuan ini termaktub dalam Anggaran Dasar PMII Bab IV.

Latar belakang berdirinya PMII juga tidak lepas dengan situasi sosial politik pada saat itu. Beberapa di antaranya adalah, pertama banyaknya partai yang memiliki underbow di wilayah organisasi mahasiswa. Hal ini membuat keresahan di kalangan NU. Karena pada saat itu, NU merupakan partai politik dan perlu untuk melakukan pengkaderan untuk mendukung kinerja partai.

Kedua, mengembangkan paham Aswaja. Penguatan tradisi Islam Aswaja sangat relevan jika melihat perkembangan Islam. Di abad modern muncul kelompok-kelompok ekstrimisme Islam yang menjadi ancaman bangsa ini. Hal ini dapat membuat citra Islam sebagai agama yang damai dan juga rahmatan lil alaminin menjadi hancur. Islam Aswaja menjadi jawaban atas wajah umat Islam tanpa menghilangkan pilar utama dalam Islam yaitu tauhid.

Sejak saat itu NU memiliki organisasi underbow di wilayah mahasiswa yang akan menjadi sumber pengelola jam’iyah di masa datang. Romantika NU-PMII ini pun terus berproses dalam periode sekitar tahun 60-an. PMII banyak terlibat dalam percaturan politik nasional yang sangat menonjol. Dalam konteks sosio-politik memang memungkinkan, karena memang PMII harus terlibat aktif dalam persoalan-persoalan kebangsaan. Sebagai organisasi yang berada di bawah naungan NU, dan NU saat itu tidak hanya sebagai ormas Islam tetapi juga sebagai partai politik.

Keterlibatan PMII dalam politik praktis berakhir ketika PMII menyatakan independensi. Dan pernyataan PMII sebagai organisasi independen ditandai dengan deklarasi Munarjati pada tahun 1972. Dalam dokumen Deklarasi Munarjati menyebut dalam bahasa umum ‘tidak terikat dalam sikap dan tindakanya kepada siapapun’. Dengan kata lain tidak mencantumkan secara eksplisit bahwa PMII keluar dari NU. Tetapi, pernyataan itu dapat dengan mudah diterjemahkan ‘PMII bukanlah NU’. (Muhammad Khusen Yusuf, 2011)

Implikasi dari indepedensi adalah mengharuskan untuk menggali jadi diri dan menentukan karakteristik serta pola perjuangan. Pada perjalanan selanjutnya PMII harus merumuskan perjalanan pilihan gerakan. Setidaknya ada tiga dalam hal ini yang menjadi pilihan gerakanya. Pertama, memberikan prioritas kepada upaya pengembangan intelektualitas. Kedua, menghindari keterlibatnya dengan politik praktis. Ketiga, memilih mengembangkan paradigma kritis terhadap Negara. (Mohammad Afifuddin, 2011)

Indepedensi yang menjadi pilihan organisasi ini malah menjadikan leluasa dalam berinteraksi. Karena, PMII harus bergumul dengan dinamika yang ada di pergurun tinggi. Beberapa persoalan seperti dinamika di dalam kampus dalam kompetisi sesama ormas mahasiswa, derasnya pemikiran kritis saat itu, dan mulai hadirnya kelompok aksi mahasiswa.
Harus diakui bahwa PMII tidak bisa melepaskan diri dari NU. Yang menjadi bukti  adalah pada Kongres X yang bertempat di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta tepatnya pada tanggal 29 Oktober 1991 PMII menyatakan interdepedensi PMII-NU.

Meski sudah terlepas banyak sekali kaum santri tetap tertarik bergabung dengan organisasi ini, karena hanya ormas inilah yang menyediakan sambungan kultural dan latar belakang kaum santri. Hal ini tercermin dengan dipertahakanya ajaran ahlussunnah wal jamaah sebagai nafas organisasi PMII. Pada dasarnya PMII tidak bisa melepaskan diri dari khasanah NU, karena indepedensi sesungguhnya interdepedensi yang ditegaskan dalam Kongres PMII tahun 1991. (As’ad Said Ali, 2008)

Seiring berjalanya waktu, PMII merasakan bahwa PMII dan NU tidak bisa dipisahkan karena adanya akar hitoris yang kuat. Selain itu juga adanya kesamaan paham keagamaan dan kebangsaan, kesamaan kerangka berfikir, perwatakan, dan sikap sosial yang dibungkus dalam pemahaman Islam ahlussunnah wal jamaah. Dan wujud dari indepedensi itu masih sangat terasa sekarang. Terbukti bahwa PMII sampai sekarang tetap menjadi sayap kutural NU.

Sekarang sudah setengah abad lebih PMII telah, sedang, dan akan masih berkiprah dalam mengembangkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sudah banyak capaian dan juga tantangan yang telah terlewati. Sebanyak itu pula kontribusi PMII kepada bangsa dan Negara Indonesia. Tetapi banyak pula cita-cita dan harapan yang belum tercapai. Sekarang memasuki usianya yang setengah abad lebih ini, sudah sepantasnya melakukan refleksi untuk menatap masa depan yang lebih baik. Bukan hanya bagi PMII itu sendiri atau juga pada pengurus dan juga anggotanya. Tetapi terlebih lagi sumbanganya bagi bangsa dan negara.

Pekerjaan Rumah Yang Belum Selesei
Lahir dari rahim organisasi sosial keagamaan Nahdlatul Ulama (NU), PMII telah melalui jalan terjal dan berliku untuk mempertahankan eksistensinya. Keberlangsungan PMII hingga kini merupakan pelajaran berharga tentang sebuah organisasi mahasiswa yang bisa bertahan dalam mendayung bahtera di tengah hentakan gelombang dan badai.

Tetapi keberhasilan itu bukanlah digunakan untuk berbangga diri dan terlena dengan sejarah kebesaran dan keberhasilan PMII dalam menghadapi semua ini. Pasalnya, banyak sekali pekerjaan-pekerjaan yang masih menunggu untuk diseleseikan, baik yang bersifat internal maupun eskternal.

Problem internal yang dihadapi PMII adalah menurunnya tingkat kualitas kader. Belakangan ini banyak sekali kader-kader PMII yang kurang menguasai dan memahami isu-isu yang yang berkembang. Kurang peka terhadap kondisi sosial yang ada di sekitarnya dan juga lemahnya kajian-kajian diskusi yang ada dalam anggota. Ini merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kualitas kader. Sehingga seharusnya kader yang menstransformasikan gagasanya untuk dikonsumsi khalayak umum, malah sebaliknya kader menjadi konsumen wacana yang gencar disuarakan oleh kelompok-kelompok lain yang justru bertentangan secara ideologis. (Dwi Winarno, 2011) Tantangan ke depan seharusnya kondisi ini harus dibalik 180 derajat untuk menjaga keutuhan bangsa yang besar ini.

Hal lain yang menyebabkan kualitas kader PMII mengalami penurunan adalah orientasi PMII yang mendominasi saat ini. Banyak kader-kader yang lebih mengedepankan political oriented dan Project Oriented. Akibatnya tugas pengawalan PMII terhadap anggota dalam mencapai integritas intelektual terabaikan. (Abdul Muiz Syaerozie, 2011).

Problem internal lainya adalah internalisasi terhadap ideologi PMII baik itu Nilai Dasar Pergerakan (NDP) maupun Aswaja sangat lemah. Sering kali kajian-kajian ideologi ini kurang diminati oleh kader-kader, karena kajian ideologi seperti Nilai Dasar Pergerakan (NDP) dan juga Aswaja kurang mendapat perhatian yang khusus. Para kader mayoritas lebih menyukai diskusi-diskusi yang dianggap lebih bergengsi seperti filsafat dan wacana pemikiran Islam modern. Tetapi sebenarnya ideologi (NDP dan Aswaja) inilah yang menjadi penyaring paham-paham yang bertentangan dengan ideologi itu sendiri.

Tantangan Eksternal
Organisasi PMII merupakan organisasi yang menjadi basis massanya berada di kampus-kampus. Setidaknya ada dua gelombang pemikiran yang harus direspon. Pertama, derasnya pemikiran-pemikiran kiri. Gagasan ini merebak dan mendapat tempat di kalangan para aktivis mahasiswa, baik dalam kerangka menjelaskan sistem represi politik dan juga sebagai semangat perlawanan. Kedua, merebaknya pemikiran-pemikiran Islam yang bercorak ideologis maupun neomodernis, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar.

Kader-kader PMII bukanya dilarang untuk mempelajari kedua pemikiran itu. Namun, hal ini perlu dikuatkan dulu penyaring (filter) dari kedua pemikiran yang tidak berpreseden sama sekali yaitu ideologi PMII itu sendiri dalam hal ini NDP dan Aswaja. Sehingga terjadi filter mana yang bisa dipakai dan mana yang hanya dijadikan wacana. Dalam hal ini biasanya dikenal dengan al-mufahazat ‘ala qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).

Sebenarnya sebuah harapan berada di PMII untuk membentengi anak-anak muda NU yang berada di perguruan tinggi dari pemikiran-pemikiran yang berseberangan dengan paham Aswaja. Anak dari santri tradisonalis yang masuk universitas umum berkenalan di sana dengan ajaran Islam yang jauh berbeda dari pemikiran politik kaum tradisionalis. Menurut seorang wanita aktivis NU: “Kita takut anak-anak kita terpengaruh oleh bacaan-bacaan mereka, namun organisasi mahasiswa kita, PMII, bertugas melindungi anak-anak kita”. (Andree Feillard, 1999)

Selain tantangan dari pemikiran yang berseberangan terhadap ideologi PMII ada juga tantangan lain. Pertama, setting situasi politik saat ini berbeda dengan situasi masa lalu. Pada awal masa berdirinya PMII yang menjadi penguasa adalah orde lama. Menjelang tahun 70-an beralih menajdi orde baru sampai ’98. Dan sekarang lebih dikenal dengan reformasi. Ketiga masa yang berbeda sudah tentu setting situasi yang berbeda pula. Misalnya orde baru lebih dikenal dengan otoriternya.

Kedua, setting gerakan sosial. Gerakan-gerakan mahasiswa saat ini sudah tidak mempunyai daya tarik lagi di mata mahasiswa. Karena organisasi yang lebih diminati sekarang adalah organisasi-organisasi berbasis profesi atau kepentingan. Gerakan seperti turun jalan sambil membawa pamflet dan selebaran kini kurang mendapat simpati dari kalangan masyarakat. Perlu pembacaan ulang lagi dengan strategi gerakan yang lebih membumi. Hal ini harus segera dipahami bahwa konteks sekarang sudah berbeda dengan konteks dulu.

Eksistensi Pada Masa Depan
Eksistensi dalam sebuah organisasi adalah sebuah kebutuhan. Jika harapan ke depan adalah mewujudkan cita-cita dan terus memberikan sumbangan pemikiran ide gagasan untuk kemajuan bangsa dan negara maka, tidak ada pilihan lain selain menjaga eksistensi organisasi ini.

PMII adalah organisasi kader, bukan organisasi massa ataupun juga organisasi profesional atau voluntarian (relawan sosial). Maka untuk itu PMII harus berani memilih karakteristik yang jelas tentang gerakan-gerakan ke depan yang akan dilakukan .

Setidaknya ada dua ciri khas yang melekat di dalam organisasi kader yaitu disiplin terhadap nilai dan disiplin terhadap institusi kepemimpinan. Kedisiplinan ini tidak bisa ditawar. Menegasikan salah satunya hanya akan membuat institusi menjadi pincang, menciptakan ketidakteraturan (disorder), dan menimbulkan kerapuhan. (Dwi Winarno, 2011)

Setelah setengah abad eksistensi PMII masih berada di persimpangan jalan. Karena sampai saat ini banyak sekali pekerjaan rumah dan tantangan eksternal yang harus segera untuk disikapi. Untuk itu, ketika sekarang PMII berada dipersimpangan jalan, harus segera memilih salah satu jalan agar semua mendapat kejelasan dan karakteristik organisasi ini terbangun. Jalan yang harus dipilih haruslah jalan yang benar-benar yang sudah menjadi karakter di masa lalu dan sampai sekarang.

Jika NU pada tahun 1984 kembali ke khittah, maka PMII harus mulai hari ini juga harus kembali ke khittah. Mungkin jika ada sebuah gagasan PMII harus kembali ke khittah. Akan memuncul sebuah pertanyaan kembali ke khittah yang mana? Yang dimaksud kembali ke khittah adalah kembali kepada gagasan-gagasan yang ada di PMII itu sendiri yang bisa dijadikan rujukan adalah ada sekian banyak pokok-pokok pikiran yang ada di PMII, mulai Deklarasi Tawangmangu, Deklarasi Interdependensi PMII dengan NU, dan lain-lain. Semuanya sudah jelas dimana PMII harus memposisikan diri di semua lini.

Ke depan ada beberapa serangkaian gerakan yang harus segera ditindak lanjuti yaitu, gerakan intelektual, internalisasi ideologi, dan reposisi sebagai organisasi kader NU. Pertama, gerakan intelektual.  Saat ini gerakan-gerakan mahasiswa sudah mulai latah. Semua lebih terjebak pada gerakan-gerakan artis jalanan, ketika ada satu isu yang mencuat di permukaan semua beramai-ramai turun jalan. Sehingga semua terkesan seragam dan seringkali gerakan-gerakan itu tidak mempunyai dampak apapun. Padahal jika perhatikan lagi banyak sekali garapan yang lain yang itu juga lebih punya dampak ke depan.

Ketika kita memahami sejarah pergerakan di negeri ini tentu yang paling berperan sangat penting dalam gerakan adalah gerakan intelektual. Para pemuda saat itu mulai merubah bentuk perjuangan dari perlawanan dengan senjata ke bentuk perjuangan organisasi di mulai dengan adanya gerakan-gerakan intelektual. Gerakan intelektual menyodorkan ide-ide baru yang merangsang masyarakat untuk mempertebal rasa sosial.

PMII sejak awal berdiri sudah berkomitmen dengan gerakan intelektual. Pada saat itu para aktivis PMII di era 80an banyak sekali yang menawarkan kegiatan baik wacana maupun praksis yang sarat dengan intelektualitas dan kecendekiawanan. Kita bisa melihat produk-produk pada tahun itu, mulai dari Slamet Effendi Yusuf, Masdar Farid Mas’udi, dan lain-lainya adalah cerminan wajah dari PMII saat itu. Lalu bagaimana dengan sekarang?

Penguatan tradisi intelektual menjadi kebutuhan mutlak bagi PMII. Sebagai organisasi kemahasiswaan, organisasi yang berbasis perguruan tinggi, penguatan intelektualitas layak menjadi fokus utama dalam proses kaderisasi di PMII. Tanpa itu, PMII akan kehilangan modal dasarnya sebagai organisasi kader. (Mohammada Khusen Yusuf, 2011)
Kedua, internalisasi ideologi. Seringkali kita melihat kajian-kajian tentang ideologi dalam hal ini Nilai Dasar Pergerakan (NDP) dan Aswaja hanya menjadi pemanis bibir. Seorang pengurus bisa berbicara berbusa-busa tentang ideologi PMII tetapi dalam aplikasinya masih jauh dari NDP dan aswaja itu sendiri.

Cerminan lain yang menunjukan dari lemahnya ideologi itu sendiri adalah misalnya dalam tradisi intelektual adalah jarang sekali bahkan gagap dalam mengutip pemikiran-pemikiran cemerlangnya Ibn Rusd, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Miskawaih, dan tokoh-tokoh lainya. Tetapi ketika bericara tentang pemikiran “kiri” seperti Karl Marx, Freire, Gramsci, Habermas, Arkoun, Hasan Hanafi, Asghar Ali, dan lainya lebih fasih. Walaupun dalam konteks perebutan wacana ideologi dan bangunan epistemologis tawaran dari pemikiran kiri masih relevan.

Hal lain yang sangat mendesak perlunya internalisasi ideologi PMII (Aswaja dan NDP) adalah telah kita ketahui bahwa pertarungan dua ideologi terpetakan menjadi dua yaitu “kanan” dan “kiri” sedangkan PMII memposisikan diri di tengah-tengah sehingga dalam konteks pertarungan ini, konsep Aswaja sebagai Manhajul Fikr selain itu juga NDP perlu segera dikontekstualisasikan.

Ketiga, reposisi PMII sebagai kader NU. Yang menjadi modal ideologi PMII sudah jelas yaitu sebagai pengembang dari ideologi NU. Dalam bidang teologi berkiblat pada Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi, di bidang tasawuf sufistik adalah Al-Ghazali dan Abu Junaid Al-Bughdudi, sedangkan sebagai sandaranya dalam bidang fiqih, urusan sosial, muamalah menganut empat madzhab yaitu Maliki, Hanafi, Hanbali, dan Syafi’i sebagai domainya. Ajaran yang kita yakini yaitu ahlussunnah wal jamaah adalah sebagai ideologi yang final.

Gerakan-gerakan PMII di kalangan mahasiswa harus dilakukan berbasis ideologi ke-NU-an, sehingga ada kejelasan identitas, pemahaman keagamaan yang utuh, fondasi agama jelas, dan prilaku keagamaanya mendasar. Sinkronisasi antara PMII dengan lembaga kaderisasi ke-NU-an lainya mutlak diperlukan. Sebab organisasi PMII merupakan organisasi yang memang lahir dari NU dan tidak bisa dipisahkan dari NU.

Jika dulu ada anggapan bahwa PMII adalah anak nakal dari NU karena memisahkan diri dari orang tuanya, maka sudah saatnya PMII kembali ke orang tuanya. Kini PMII sudah berusia setengah abad lebih dan usia itu adalah usia yang bisa dikatakan usia yang cukup dewasa. Maka, sudah saat nakal itu sedikit berkurang.

Di setiap muktamar NU juga selalu muncul wacana tentang ide penarikan kembali PMII menjadi banom NU. Kalau berfikir jernih, ini bukanlah solusi yang tepat sebab PMII dan NU sudah terpisah sejak tahun 1972. Walaupun begitu juga tidak diragukan lagi sepanjang sejarah sejak terpisah dengan NU sampai sekarang PMII tetap berkomitmen terhadap NU. Kiranya deklarasi interdepensi PMII-NU merupakan bukti bahwa PMII masih komitmen terhadap NU. Dan dalam deklarasi inrterdepedensi itu juga sudah jelas hubungan kuturalnya.

Kiranya, ke depan PMII harus tetap menjaga komitmen sesuai dengan apa yang direncanakan sejak awal berdirinya organisasi ini. Dan yang juga tak kalah penting adalah menjaga eksistensi serta membuat gerakan-gerakan untuk  ikut membangun bangsa dan negara ini.

Wallahu a’lam

Blitar, 20 Rabi’ul Tsani 1432/ 25 Maret 2011

Bahan Bacaan

A.    Buku
Afifudin, Mochammad. 2011. Menggerakan Pergerakan, Kaderisasi, Kemandirian, Sinergi. Jakarta:
Visi Indonesia

Ali, As’ad Said. 2008. Pergolakan Di Jantung Tradisi; NU yang Saya Amati. Jakarta: LP3ES

Feillard, Andree. 1999. NU vis-à-vis Negara. Jogjakarta: LKiS

Syaerozie, Abdul Muiz. 2011. PMII Di Tengah Pusaran Arus Islam Ekstrim. Cirebon: KSS Press

Winarno, Dwi. 2011. Catatan Pergerakan. Jakarta: Lembaga Riset dan Kajian Stratejik PKC PMII Jakarta

Yusuf, Muhammad Khusen. 2011. Kembali Pada Tradisi; Menyiapkan Wajah NU Masa Depan. Jakarta:
m-Library

Faizun, Fatihul. 2008. Ulul Albab; Pembelaan Terhadap Kaum Tertindas. Sidoarjo: PC. PMII Sidoarjo

B.    Dokumen
Hasil-hasil Kongres XIII PMII dan Mukernas PB PMII. 2001. PB PMII

C.    Tapak Maya

Refleksi Setengah Abad PMII (Saatnya Mereformulasi Arah Gerakan). http://pmiisyariah-sunanampel.blogspot.com/2010/04/refleksi-setengah-abad-pmii-saatnya.html diunduh 25 Maret 2011